Semalam Di Cikendung Pass Pemalang


Cikendung Pass; Pemalang

 

Dibukit ini aku diam terpaku. Pekatnya malam mengaburkan kesedihan. Air mata bukan lagi pertanda kegundahan. Hanya suatu hempasan emosi yang biasa saja. Tetapi aku lain, wahai ilalang. Air mata ku berharga melebihi emas permata. Kusimpan ia untuk kuhujankan pada yang terkasih yang belum juga kunjung datang. Segenggam manisan buah memenuhi mulutmu, membasahi bibirmu yang bulat mungil. Aku mendamba sebuah singgasana di mana di dalamnya aku menemukan dia. Namun ia kini sudah mengabu, meninggalkan rona pada awan yang berarak banyak. Ada kisah yang mesti diakhiri. ada kitab lain yang mesti diisi.

 

Tapi dengan apa?…

 

Jika sampai waktuku mencinta seorang biasa. Kutahu aku akan bahagia sekaligus menderita. Jika tuan, dapat jabarkan cinta lewat kata dan kiranya menyentuh hati dan pikiran saya, maka sudilah tuan menjadi sang bijak yang menunjukkan kebenaran.

Dan jika

……ada surga, aku ingin surgaku bentuknya seperti tempat ini. Banyak pepohonan dan terdapat danau ditengahnya untuk kupandangi sepanjang hari. Aku bersedia duduk disampingnya, disebuah fondasi batu bata yang sengaja dibuat mirip agora. Akan kulantunkan sajak khas para pecinta di sore hari dimana kicauan burung menjadi orchestra yang mengiringi penjiwaanku saat menyampaikan sebaris kata. Akan kusampaikan dengan lantang pada Tuhan dan malaikat di surga bahwa aku telah bahagia.

 

 

ckd6

ckd1

ckd2

ckd3

ckd4

ckd5

ckd6

ckd7

ckd9

ckd10

ckd11

ckd12

ckd13

ckd14

 

 

 

4 thoughts on “Semalam Di Cikendung Pass Pemalang

Leave a comment