Mengingat Memori Teman Kelas 1.5: SMA 1 Pemalang 1991


Saya mencoba merangkai memori dengan terseok, membayangkan masa-masa sekolah di kelas 1.5 SMA 1 Pemalang. Sekarang tahun 2024, berarti sudah 33 tahun telah lewat. Saya harus menulis storyline kenangan sekolah masa itu. Tentu dalam perspektif subyektifitas saya.

Kelas 1.5 adalah kelas Medioker. Kelas tengah dari total 9 kelas di tahun 1991 dulu. Lokasinya ada di lekok huruf L sisi sebelah kiri. Di depan kelas ada Toren air, dan di belakan kelas adalah tempat parkir siswa.

Memakai seragam putih abu butuh adaptasi, setelah selama 3 tahun kami sekolah di SMP. Masa SMA adalah masa permagangan kita menjadi dewasa. Demikian juga ketika awal awal kami berkumpul sebagai siswa baru SMA Pemalang. Bermacam latar geografis siswa ngeblend menyaru. Tahun 1991, penerimaan siswa memang tak ada istilah Zonasi seperti sekarang. Latar geografis siswa lebih heterogen. Smansa saat itu jadi magtitute orang daerah untuk kumpul menggapai ilmu. Nah kelas 1.5 dihuni oleh beberapa ‘jagoan kampung” dari beberapa daerah di luar Pemalang yang bergabung ngeblend. Siapa yang tak kenal Slamet Riyadi (SR), siswa berbadan paling besar se angkatan 91. Teman2 seringcerita kalau SR ini anaknya yang jual sate di Prapatan Beji. Tapi Rojek sering menambah kesereman si SR. Katanya SR gak mau meneruskan bisnis bokapnya. SR kemudian bisnis sate Badak di Cilegon. Makanya SR ini sakti, ditembak gak mempan, begitu Rojek cerita ke teman2. Kabarnya SR pernah jadi penyiar radio…ini yang cerita Helmi.

Ada juga Ali Fakuri preman Pasar Dongkal yang rambutnya selembut Landak. Tapi meskipun menyimpan passion kepremanan, Ali bisa membawa diri, dalam artian tidak tertalu konfrontatif. Karakter lain adalah Rojek (Alm). Siapa alumni SMP 2 Pemalang yang gak kenal Rojek. Ya soal kesaktiannya 11 – 12 sama si Hendrik. Rojek di masa tuanya jadi Preman sungguhan pengusa terminal Sirandu Pemalang. “Notorious” kalau ingat tembang hits dari Duran Duran yang ngehits saat itu. Dedengkot lain yang petakilan ya Helmi Faesol (HF). Helmi adalah representasi bocah kemlitak. dan rame umbrus dari Pemalang Timur. Doski penguasa daerah Comal…

Dalam perspektif sosiokultural, proses asimilasi siswa jagoan yang dari luar kota Pemalang, terkadang kurang berjalan mulus. Secara bawah sadar, “jagoan” kandang, wong Mulyoharjo, almarhum Rozikin (biasa dipanggil Rojek). Rojek tak salah karena dia merasa punya “territorial”. Suka atau tidak, tersirat atau tersurat alm Rojek pernah berbisik padaku:

“Yog, kae HF “kemlitak” suwe suwe tak totok ndase nganti anjlok mengko.” Rojek berkata dengan logat ngapak Pemalang.

Setelah itu saya mendengar “gesekan” antara Rojek dan HF yang akhirnya HF berdamai. HF sekarang jago politik. Sempat jadi Ketua PAN Pemalang, sebelum gagal jadi caleg Gerindra.

Tapi perdamaian dan konsolidasi para dedengkot ini kemudian menjadi masalah. Kelas 1.5 sering di Skorsing saking mbelernya.

Yang pertama Guru Sejarah yang sedang hamil berjalan mau ngajar ke kelas. Entah siapa oknumnya, tba2 ada paduan suara; “Dum ….Dum…Dum….” Ibu guru tersinggung dan lapor Kepala Sekolah, akhirnya kelas kami di skorsing.

Kejadian kedua kena skorsing akibat oknum mencopot kayu meja bu Guru. Gak sopan nih siswa mau mengintip alih alih bilangnya kayu copot sendiri. . Saya tidak menyebut nama, tapi kreatif sekali si siswa. Terdakwanya siswa cowok yang duduk di depan…biar menjadi rahasia he he he

Kelas 1.5 setelah 33 Tahun

Saya sedang meeting ketika 2 tahun yang lalu seorang kawan sekelas di 1.5 minta bertemu. Ya akhirnya kami ngobrol di CofeeBean. Ini bukan pertemuan pertama, karena sebelumnya kami ngobrol dengan orang yang sama di Cilegon. Saya tanya perjalanan hidupnya. Saya kupas tuntas pengalamannya menjadi ketua Ikatan Arsitek Indonesia wilayah Banten saat itu. Ya dia adalah Candra Gunawan, si doglong yang dulu kuliah di Arsitektur UGM. Candra adalah teman keluyuran saya pas SMA dulu.

Sekitar 5 tahun lalu saya liburan nginep di Aston Bandung. Tiba tiba ada wa masuk dari seseorang yang berkabar dia sedang nginep berlibur di Bandung juga besama keluarga. Akhirnya kami bertemu dan makan bareng di restoran Sunda di Jalan Pasteur . Siapakah dia? Cismanto asli Kendal Doyong.

Saya masih menggunakan persepsi Cismanto yang saat itu masih kerempeng, pendiem memakai sepeda ontel ke sekolah. Cismanto setelah lulus SMA, diterima di STAN Pajak, dan meneruskan sekolah Master. Istri juga orang Pajak. Saya pernah diajak main ke rumah Cismanto di daerah Pondok Bambu. Sayangnya setelah itu kita tak berkabar, dan saya mendengar istri Cismanto meninggal dunia karena kanker. Alfatehah.

Amin Taufik Ardiyanto anak 1.5, ini anak Camat Ampel Gading saat itu. Dulu Opik penggemar Roger Tailor, karena saya inget buku tulisnya bercover drummer Duran Duran. Opik lumayan ganteng ketika SMA meskipun agak jerawatan. Di tulisan lain saya pernah menulis kalau Opik pernah berantem sama Agus Japrik, terkait gadis H yang saat saat itu menonton bersama saya…Karir Opik mentereng jadi orang Pajak di BalikPapan.

Heni? sekarang malah jadi sahabat istriku. Heni kisah orang sukses bisnis yang merintis dari bawah. Sekarang bisnis Heni maju dengan toko besarnya dan punya beberapa karyawan. Hebat Heni bisnisnya berkembang pesat 5 tahun terakhir. Heni salah satu sahabatku, alumni 1.5 yang pernah dikunjungi Candra, tapi Ban Motor di kempesi bocah Cokrah.

Kardinah pernah ketemu sekali, kebetulan dia lagi ada proyek di Kantor sebelah Trans TV. Kardinah ketemu dan kutraktir di Warung Pojok Markonah. Kardinah alumni 1.5 (Maaf kalau saya salah?). Setelah lulus SMA doski kuliah di STT Telkom. Suaminya juga kerja di Telkom dan punya bisnis mentereng.

Shita yang dulu pemain Band SMA 1 juga pernah main ke Trans TV. Saya kasih payung sebagai cindera mata teman mantan 1.5 SMA 1 angkatan 91.

Wisna? terakhir ketemu pas Reuni angkatan 91 di Aula SMA Pemalang. Wisna punya cirikah rambutnya mirip Indomie Rasa Ayam Bawang. Wisna hebat…dulu dia paling jajannya gorerang di Pak Dirman…eh tuwene bisa jualan mobil Traktor di UT. Wisna, Cismanto yang dulu termasuk bocah meneng dan alim kayaknya pernah jadi korban Bullying geng bangku belakang yang sering notoki ndas.

Yang lain sampai lulus SMA belum pernah ketemu..Hindah Anida, 1.5 lulus kuliah di Kedokteran Undip yang jadi dokter. Mulyadi 1,5 lulus kuliah di ITB jurusan Geologi tapi setelah dewasa jarang berintaksi. Gunawan Putra Jaya, saya masih bingung, apakah sahabat saya dulu ini kelas 1.5 atau bukan. Gunawan kuliah di ITB jurusan Geodesi. Bagus Suharsono, teman sebangku juga belum pernah ketemu…Edinur si tegak lurus juga belum pernah ketemu.

Titik Ariyani sudah almarhum. Abidin domba juga sudah tiada. Juga Rojekin putra Rembulan juga sudah meninggal.

Sekali lagi, tulisan ini bukan bermaksud riya atau apalah. Dengan segala kerendahan hati tulisan ini hanya sekedar dokumentasi, mengenang teman2 kelas 1.5 Alumni Smansa 91.

Penulis minta maaf jika ada yang terlewat, dan tulisan sekedar mengenang….

Eko dan Silahturahmi karo Konco



Warsito Eko Putro, saya memanggilnya Eko. Kami sama sama angkatan alumni 91 SMA 1 Pemalang. Selain di SMA, saya juga teman Eko waktu sekolah di SMP 2 Pemalang. Masa SMP dan SMA, saya mengenal Eko, meskipun saya bukan teman karib. Eko sekarang jadi pejabat karir. Dia adalah Kepala Dinas Perindustrian Kota Brebes. Meskipun demikian masih tetap low profil mengunjungi konconya di Jakarta.


Ya, maklum, masa muda kami beda genre. Yang kulihat Eko muda aktif di Pramuka dengan seragam coklat dan pernak perniknya. Entahlah, dari dulu aku kurang tertarik ikut ekstra kurikuler Pramuka. Bukan cuma Pramuka, tapi apapun kegiatan yang penuh keteraturan, penyeragaman, keterikatan yang sistemik, rada kuhindari. Meski kata orang, ikut Pramuka bermanfaat untuk melatif kepemimpinan, tapi tetap ada resistensi di jiwaku lebih suka kegiatan mandiri.


Aku? lebih suka diam dalam keramaian. Masa SMA, teman teman melepaskan katarsis kesumpekan bersekolah dengan pacaran, atau nongkrong bergerombol, bahkan kebut kebutan pake motor supercap, saya lebih suka membaca buku buku kontemporer. Ya, kebetulan waktu itu Kakak kuliah di Planologi ITB, so kalo pulang ke Pemalang membawa buku buku terbitan Mizan Bandung. Saya lebih sering tenggelam membaca buku bukunya terjemahan The Complete Works oleh William Shakespeare, The Canterbury Tales karya Geoffrey Chaucer, yang dibawa ke Pemalang. Menjelang UMPTN, saya gak terlelu terbebani dengan masa depan. So pertemanan dengan Eko saat SMA sekedar basa basi menyapa ngobrol tipis tipis saja.


Awalnya aku setahun kuliah di daerah Sekeloa Bandung di Kampus Fikom Unpad. Sekeloa itu terletak di daerah Dipati Ukur Bandung, so masih kota ramai banyak mojang nu geulis. Dan dari Sekeloa kita bisa merayap lewat jalan tikus padat merayap ke area Monumen Telkom Gasibu Bandung. Disitu tempat Hang Out ruang publik buat anak muda Bandung yang gak puya duit. Tempat nongkrong 3 M, Murah Meriah dan Mencret.
Apes, cuma setahun di Sekeloa, Fikom Unpad pindah ke pedesaan. Jatinangor namanya. Dan ndilalahnya saya kuliah bareng temanku Eko temanku yang kuceritakan diatas. Eko kuliah di STPDN, istilahnya saat itu kuliah pamong praja. Kuliah dengan seragam mirip Pramuka. Ya, artinya secara bawah sadarnya Eko mungkin passionnya sekolah kedinasan berseragam.


Jatinangor berjarak sekitar 2 jam perjalanan naik Damri. Istilah kami mahasiswa dulu, butuh 3 SKS perjalanan untuk kuliah, karena kebetulan saya kos di Bandung. Waktu itu Jatinangor masih senyap. Banyak kambing penduduk yang makan rumput di tempat parkir. kalo malem masih terdengar bunyi distorsi Gangsir yang memecah sunyi. Jarak STPDN dengan Unpad sekitar 200 Meter. Diantara keduanya ada kampus IKOPIN. Dan takjub, meski sama sama di Jatinangor, saya tak pernah bersua dengan Eko semasa kuliah.
Lulus kuliah saya kerja gonta ganti di Media (Metro, Trans TV, CNN). Saat itu tahun 1998, aku sering ketemu Bowo Priatno, teman SMA alumni STAN yang nekat resign dari Depkeu. Bareng Bowo kemudian kita ngumpul tipis tipis. Bowo ngumpulin anak 91 Smansa Pemalang jaringan STAN yang ternyata banyak. Aku coba ngumpulin anak 91 yang tersebar pating slebar.


Akhirnya sekitar tahun 2000 adalah Reuni Akbar Alumni 91 yang pertama di Aula Pemalang. Dan dasyat karena yang hadir ada 120 orang.


“Ngumpulke balung remuk dedes”….


Kemudian saya bentuk alat komunikasi Whatsap Grup.
Maka berkumpulah alumni 91 Smansa Pemalang dalam wadah grup besar. Awalnya lebih 100 orang yang bagung…


Ternyata menyatukan orang dengan latar belakang berbeda tidaklah mudah. Dulu waktu SMA kita dipersatukan dengan tujuan bersama sebagai siswa. Guyup rukun loh jinawi. Ayem tentrem rukun damai. Masa berlalu, waktu berganti.
Teman teman pun menebar, menyebar, karena mempunya kehendak yang bebas merdeka untuk memilih mau menjadi apa. Dan semua bebas menentukan afiliasi kepentingan termasuk politiknya dan pandangan hidupnya.
Grup mengalami turbulensi pasca pilihan presiden. Tapi manusiawi, terjadi dimana mana, agak terbelah. Beberapa membuat grup sendiri. Tidak apa apa, itu adalah dinamisasi dan konsekwensi logis dari perbedaan.


Setahun terakhir kita coba menyatukan grup, tanpa anasir beban dan bairkan komunikasi mengalir ringan. Kita tak ingin membahas hal hal sensitif.
Nah salah satu fungsi dibuatnya wag ini adalah sisi positif bisa silahturahmi dengan teman2 SMA yang sudah lama tak berjumpa. Dan hidup ini penuh misteri. Eko Warsito, yang waktu SMA jarang ngobrol, adalah Pejabat Publik yang paling sering bertemu di Jakarta. Eko yang sekarang enjadi Kepala DInas Perindustrian Kota Brebes pernah main ke Trans TV dan juga ngobrol lama di Pejaten Village Jakarta. Warsito Eko dalam obrolannya berseloroh:


“Tetap rendah hati dan low Profil ya Yog. Njuh ngobrol seporedte nganggo bahasa ngapak biar orang Jakarta bingung,”

Buat konco koncoku SMA, yup tetep guyup. Umur kita sudah 50 an, menjelang senja. Perluas silahturahmi dalam kebaikan karena kuburan itu sempit. Yuk lapangkan peristirahan kita dengan bersilahturahmi, meski via dunia maya.

Proposal Tuhan dan Konco Sekolah


Kalau tanya masa pergaulan nanggung. Jawabnya ya saat SMP. Badan sudah aqil dan bongsor, seragam pake celana pendek. Mau gaul ma anak SMA juga kagak diterima. Bocil, katanya.

Tapi ada kenangan ketika sekolah di kelas 3 D SMP 2 Pemalang tahun 1988 dulu. Meski samar sama saya masih inget beberapa kawan.

Ada Bidigio, Yusuf Bolang, Teguh Gunarso, Iing Winarso, Momo Lupus, Slamet Gampang, Arif Sukamto, Prapto ngantuk dan lain sebagainya.

Memang, masa SMP dulu kita sekolah tanpa terbebani dengan pertanyaan berat.

Kelak kalau sudah dewasa mau jadi apa ?

Dan akhirnya setelah 30 tahun saya dipertemukan secara pribadi konco konco kelas 3D SMP 2 Pemalang.

Iing Winarso secara mengejutkan ketemu di Hotel Bidakara Jakarta. Saat itu aku diundang Pak Bupati Pemalang ketemuan sebagai Diaspora Pemalang.

Dan lucunya Iing yang waktu SMP sering ngobrol, tidak mengenaliku.

“Yogi endi? Kok gak diundang sambil matanya celingukan,”

Iing tanya ke staf Bapeda Pemalang. Padahal aku ada di depannya. Ha ha ha

Iing sekarang karirnya melejit jadi Kepala Dinas Perkim di Pemalang.

Yusuf ? Dia kawanku yang sampai dewasa aktif di organisasi kepemalangan. Aku sama Yusuf dulu aktif di Forum Alumni, selain organisasi Action for Pemalang.
Saya sering ketemu Yusuf. Karirnya mentereng. Pernah jadi plt Direktur Inhutani V. Sekarang di Perhutani Pusat.

Teguh Gunarso salah satu teman main. Dia adik ipar guru Sejarah Alm Pak Sapto. Mungkin menuruni jiwa guru iparnya, Teguh jadi Guru di sekolah Negeri Pemalang.

Bagaimana denganku ?
Waktu TK ibu pingin aku jadi tentara. Waktu itu, ibu membelikan baju seragam tentara untuk anak anak dengan pangkat lengkap di toko Sukses Pemalang. Akupun ikut karnaval 17 agustusan yang cukup menyiksa untuk ukuran anak kecil. Si kecil terlihat gagah ikut karnaval meski tersiksa.

Apakah cita citaku terkabul?

Gak, tapi aku selalu bersyukur apapun profesiku.

Alloh tidak bisa kita atur dengan pikiran dan kehendak kita. Kita boleh saja punya sejuta alasan kenapa proposal kita kepadaNya harus diterima. Tapi, sebagai “Boss Kehidupan”, Alloh mungkin punya gambaran yang lebih besar yang tidak kita pahami sama sekali. Proposal kita pun bisa ditolakNya. Apa yang kita inginkan pun tidak terkabulkan. Tapi, kita tidak menyerah karena secara fair kita pun harus mengatakan ada banyak hal yang Alloh ijinkan terwujud yang diluar harapan kita, yang terjadi tapa saya harus membuatkan proposalnya.

Kita untuk mengajukan proposal doa dan harapan kepadaNya. Saat itulah kita melemparkan melalui doa dan harapan kita, apa yang kita inginkan terwujud.

Tapi, itulah proposal kita. Ada risiko diterima dan ditolak. Tapi, itulah yang menarik dari kehidupan ini. Gambaran besar ke depannya tetaplah sebuah misteri. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Tapi, kita akan terus berusaha.

Melalui tulisan ini semoga kita tetap berpikiran positif.Tetaplah berdoa, tetaplah berharap, tetaplah membayangkan yang positif, tetaplah percaya, tetaplah sabar. Tapi, di atas segalanya, ketika apa yang kita minta terjadi ataupun tidak terjadi, tetaplah bersyukur. Karena saya percaya orang paling berbahagia bukanlah orang yang selalu menerima apa yang diinginkannya.

Semangat konco SMP dan SMA ku..

Obet, UGM dan Diaspora Pemalang


Aku sekolah SD bareng Obet, Novi Fitriyani, Reni Febriani, Yani Inayah, Azmi Pipit, Thengsan, Anton, Heri Ristanto dll. Temen temenku tersebut kebetulan lanjut ke SD, SMP 2 dan SMA 1 Pemalang.

Di SMA pun aliran kami beda. Obet, Novi, Reni, Yani itu cah pinter sinau terus, sementara aku senenge dolan dan jarang sinau babar blas.
Lepas SMA, Obet kalau gak salah dapat pmdk di jurusan gacor Teknik Elektro UGM. Novi pmdk di jurusan komputer IPB, Reni masuk Pajak di Stan. Yani di teknik kimia UGM.

Setahuku para profesor di angkatan 91 (kami menyebut orang2 pinter di SMA dulu) pada ngambil kuliah di Bulak Sumur kampus UGM, kalo gak ya ITB. Kecuali Ali Surahman, profesor matematika yang rada Playboy, kuliah di ITS.

Iman Haryanto, yang sering disebut profesornya angkatan 91, alumni teknik Sipil. Dan on the track, Pak Iman ini sekarang pakar transportasi nasional. Doktornya diambil di Jepang, kota Nagasaki yang pernah kena bom. Ada Yani di TKimia, Silvi di Psikologi, Hasan di Sospol dll

Sementara aku..wkwkwk sing penting urip ora ngrepotin wong lah. Tapi beruntung bisa kuliah di Unpad dengan mahasiswa mojang priayang awewe nu gereulis tea

Tapi ndilalah perjalanan hidup manungse iku susah ditebak. Kok ya tiba2 mas profesor Imam Haryanto Kepala Sekolah Vikasi UGM, japri saya. Dan itu dilakukan setelah 30 tahun lepas SMA. Padahal selama sekolah dulu aku gak pernah ngobrol bareng Mas Imam.

Imam kirim whatsapps, “CV nya akan kami proses. Insya Alloh Mas Yogi bisa jadi dosen tidak tetap di Vokasi UGM.” Ya kebetulan saya berkarir di CNN dan UGM butuh kompetensi saya untuk berbagi di UGM.

Tapi tulisan ini tidak fokus dengan persuaan 30 tahun dengan profesor Iman Haryanto. Tapi justru persuaan 40 tahun dengan teman SD ku. Cholil Ubaidilah atau si Obet. Kakanya Gani…So seperti dejavu kok saya akhirnya banyak berhubungan dengan ekosistem UGM.

Okeh Saya cuma ingin cerita sedikit tentang circle ku dengan teman, Obet dan adiknya Ghani dan kawan Pemalang.

Jadi ceritanya gini..
Jurgen Habermas, itu munkin banyak yang kenal. Kalo baca buku bukunya tentang masyarakat madani.

Saya terpaksa harus mensitir teorinya Mbah Jenggot, tentang perlunya kemerdekaan dalam menuangkan ide ide dalam sebuah perkumpulan. Ketika dihadapkan pada pilihan berbuat sesuatu untuk kota kita (Pemalang) ini, ada baiknya lebih dulu mengamini Mbah Jurgen Habermas dengan paradigma “komunikasi nya” dibanding Mark dengan paradigma “kerja”.

Suatu saat simbah pernah berujar, bahwa: maka yg dibutuhkan “peoples” sebetulnya bukanlah kerja tapi media aktualisasi, karena kerja mengandaikan hubungan buruh-modal. Kalo Capito-liberal majikannya modal, klo komunal-sosialis penguasanya buruh.

PostMo dengan teori kritisnya membuka tabir bahwa aktualisasi memiliki energi yg berlipat dibanding interaksi kerja.

Komunikasi tanpa distorsi adalah kunci keberhasilan hubungan antar aktualitas yg disebut NETWORK dalam suatu komunitas. Jejaring partisipasif inilah yang coba dibangun untuk sekedar; ya minimal ngumpul dan ngariung dulu disini.

Adakalanya kita tidak hendak ngomongin sesuatu yang berat-berat seperti teorinya si mbah jenggot tersebut. Tapi ada sesuatu yang sederhana yang bisa kita tangkap secara awam dari teori mbah tersebut. Dimulai dari kemerdekaan berkomunikasi guyup berhimpun dalam grup kecil. Nah belajar dari teorinya eyang Habermas diatas…pendekatan komunikasinya adalah pada cara, prosesnya bukan output. Minimal dari kumpul kumpul ngariung ini muncul jejaring partisipasif…..kalopun dari sini muncul output yang positif, ya itu bonus, bukan target …

Akhirnya, kami (tanpa misi besar dan non politis) tiba pada satu tujuan.

Yuk kita bantu kota Pemalang dengan ide ide positif. Dari hal hal kecil, mensitir mbah Habermas tadi, jangan banyak wacana, tapi aksi lah. Ngumpul guyub.

Untuk mewadahi ini kita bentuk Diaspora Pemalang. Kumpulan para profesional yang peduli dengan Pemalang.

Tapi sekali lagi, karena ada frasa peduli ini sifatnya sukarela dan yang mau meluangkan waktu.

Karena banyak juga pengusaha asal Pemalang yang sukses, atau jendral, atau profesional dan direktur… Tapi apakah mau ngomongin kota kita, dan peduli, belum tentu juga. Diajak ngumpul kadang gak mau.. Butuh gerakan kecil seuprit karo ngopi. Istilahnya. 🙏

Nah saya dan teman2 awalnya bikin AfP, action for pemalang. Sepertinya Om Aji Harjono paham lah masalah ini. Pak Camat Mulyanto juga tau lah.

Terakhir kita bangun Diaspora Pemalang. Kebetulan beberapa alumni 91 yang sering ngopi bareng. Mantan Direktur Inhutani. Yusuf yang kelihatan suka guyon, ternyata punya idealis yang lumayan. Bowo Priatno, yang resign dari Depkeu juga punya idealisme.

Nah di Diaspora Pemalang, ada Roziana Ghani, adik kelas angkatan 93 pengusaha sukses. Ghani punya rumah sakit, lembaga pendidikan, usaha kuliner dll.

Dari Ghani inilah saya nge link ke Obet. Rozuana adiknya Obet. Cholil Ubaidilah, kawan SD, SMP dan SMA yang ceritakan di awal.

Hampir 40 tahun saya tak bersua Obet. Kalau komunikasi, sih pernah.
Setelah menyelesaikan kuliah di UGM, Obet bekerja sebagai profesionsl di Telkomsel dan Huawei.

Setelah secara finansial cukup, pindah kwadrant jadi bos buat dirinya sendiri. Obet lebih religius mendekatkan diri ke yang Maha Kuasa, selain mengelola lembaga pendidikan di daerah Cibubur.

Dan ceritera berakhir ketika semalem Obet yang mengenaliku, memanggilku. Setelah hampir 40 tahun tidak ketemu, ternyata Obet masih inget denganku. Yang syukur Obet masih terpatri kegantenganku.


Sebenarnya ada lagi jejak teman SD, SMA yang bertemu: Rosma Rahmawati, yang akan diceritakan di Part 2

Yogi Hartono
sang remahan rengginang

Tipping Point Kohar


Kohar

Sudah lama kami tak bersilahturahmi dengan teman masa lalu. Tetiba Ita Margaret bilang lagi ada di Indonesia. Ya Itol Suratol. panggilan Margaret tinggal di negeri Pizza, Italia. Yusuf berinisiatif untuk bersilahturahmi, sekalian merayakan ulang tahunnya. Jadilah kami bersepakat ngumpul di Tebet. Dan diluar ekspetasi, pertemuan kami membawa inspirasi, tentang tipping point, titik lenting untuk merubah keadaan.

Kami janjian di Soto Kudus Blok M, di daerah Tebet. Jangan bingung dan roaming ya bro, brands nya soto kudus blok M. Tapi lokasinya bukan di blok M tapi di Tebet. Di situ aku bertemu dengan 3 orang kawanku sewaktu remaja dulu. Yusuf, Alumni Smansa 91, Tengsan Smansa 91 dan Kohar 91. Nah nama yang terakhir yang ingin kunarasikan.


Yusuf asli bantarbolang. Waktu SMP Ucup sering dibully ketek mbolang ocol. Aku kenal dekat Ucup sebagai cowo yang lumayan pinter meski agak mblowak dikit waktu SMA. Lulus dari Fakultas Kehutanan IPB, dia on the track gawe di Perhutani. Karirnya moncer, sebagai penguasa rimba. Doski pernah jadi plt Direktur Inhutani 5, sekarang jadi Pejabat di Perhutani Pusat lah.

Tengsan ? Siapa orang Pemalang di era 90 an, gak kenal bapaknya Tengsan. Pak Tebok, bokap Tengsang, punya bengkel motor di sebelah rel pasar esuk pemalang. Pak Tebok adalah legenda karate. Beliau masih aktif sebagai guru besar Go Ju kai di Pemalang.

Beda dengan Yusuf, Tengsan sudah pindah kwadrant. Awalnya Tengsan kerja kantoran. Selama 20 tahun lebih doski bekerja di bidang Information Teknologi. Tiba saatnya dia merasa bosan, pindah kwadrant sambil jadi agent asuransi terbesar, Allianz. Kemarin Tengsan cerita kalo Nining alumni 93 sudah dapat Green Card bekerja di US Force di daerah Arizona. Yusuf yang denger cerita tersebut langsung lunglai ha ha ha

Tipping Point Kohar

Ketika masuk ke soto kudus, awalnya saya bingung. Yusuf datang bersama pria sepuh. Rambut putihnya kompak menghiasi kepalanya. Sementara cambang putih yang tak tercukur rapi, menambah rasa penasaranku. Siapa dia ?

Kohar, ya Fatihin Kohar!
Mendengar kehidupan Kohar yang paling menarik. Kohar pernah sekelas denganku dan Yusuf di kelas 1 A SMP 2 Pemalang. Pasang surut, serta kerasnya kehidupan di ibukota pernah dilalui Kohar.

Kohar pernah terpuruk. Masa lalunya menarasikan kehidupan yang sangat keras. Ya, kerasnya ibukota menawarkan 2 pilihan. Bertahan atau kalah ! Dan jika terik panas ibukota selalu membakar kulitnya, Kohar adalah salah satu yang sudah mati rasa, kebal tanpa tabir surya. Doski pernah kehilangan semuanya, termasuk istrinya yang berpisah. Kohar pernah kehilangan pekerjaannya. Tapi satu yang tidak hilang dari dirinya.

Harapan!

Malcomb Galdwell pernah nulis buku Tipping Point. Doski mengajari kepada kita, bahwa seseorang tidak harus kehilangan asa. Ada titik lenting agar kita mulai berubah.
Ya, yang bisa merubah nasib kita, ya kita sendiri! Ya, tentu saja, karena dia tidak bisa mengandalkan koneksitas atau warisan ortunya. Dia bukan saudara Ferdi Sambo atau Nikita Mirzani. Apakah Kohar akan pasrah, sementara dapurnya tak berasap.

Kohar memutuskan pindah kwadrant menjadi bos kecil bagi dirinya sendiri. Dia kemudian menemukan tipping point nya Malcomb Galdwell dalam diri berjualan Siomay. Meminjam motor temannya, Kohar berjualan Siomay dari kompleks di daerah Bekasi.

“Apa pengalanan menarik jualan Siomay Kohar?” tanyaku mancing dia agar mau cerita.

“Saya pernah keliling kompleks dan ketemu teman SMP. Tapi teman saya tidak mau menegur saya”, ceritanya sedih.

Dari awal yang kecil, usaha Kohar mulai membaik.

“Saya jualan Siomay, modal 100 ribu, bisa menghasilkan keuntungan bersih kisaran 300 ribu per hari. Jika Kohar berjualan selama 25 hari per bulan, keuntungan bersihnya bisa 7,5 juta per bulan. Nah sekarang Kohar sudah punya 3 – 4 anak buah yang menjalankan roda kehidupannya. Artinya, dia menginvestasikan energi dan mengurangi kerja kerasnya. Kohar sudah on the track mengubah nasibnya menjadi lebih baik.

Ya, hidup ini penuh misteri. Besok kita jadi apa dan mau kemana siapa yang tau?.


Ya, takdir itu ada setelah ikhtiar dan doa. Perbanyak bersyukur ke Tuhan, karena jika pintu rizki kita tertutup, percayalah ada jendela jendela rizki lain, di tempat kita yang akan terbuka.

Masih ada harapan.

Pertanyaannya, berani gak kita berubah seperti Kohar ? Nah ini yang susah. Kebanyakan kita memilih meratapi nasib ketimbang melakukan tipping point.

Yogi – Penulis
Yusuf

Semangat.

Tengsan
Tengsan – Yogi – Ucup – Kohar

Selamat Jalan Pardih


Pardi (aku memanggilnya Pardih, bukan Pardi) adalah sahabat sekaligus teman mainku masa masa kecil di Mulyoharjo Pemalang.

Pardi tetangga di Mulyoharjo. Rumahnya berjarak sekitar 100 meter sebelah Kulon (barat) rumahku. Makanya, kami biasa nyebut teman2 kami di wilayah iwakan Mulyoharjo dengan istilah Cah Kulonan. Kami siapa? Ya anak anak jln muria Mulyoharjo, seperti Gendut, Andar, Heru, Koko, Yani dll.

Pardi putra Pak Takyun yang berprofesi sebagai penarik becak. Ibunya namanya Yu Torih. Mak Pardi, Yu Gurih dulu pernah bekerja di rumahku Ya membantu cuci piring atau baju keluargaku. Tapi gak tinggal dirumah, sore pulang.

Usia Pardi sebaya denganku. Yang membedakan badannya lebih sterek bin kekar dan gerakannya lebih lincah bak bola bekel. Larinya lebih kenceng dibanding aku. Kalah adoh, adalah istilah cah Iwakan untuk menggambarkan perbandingan fisik kami.

Demikian juga dalam urusan permainan masa kecil kami. Ibarat kata, dalam urusan perdolanan di kampungku, Pardi ini hebat, selalu menang untuk kelompok usianya.

Waktu kecil saya pernah adu kelereng dengan Pardi. Hasilnya selalu saya kalah. Kadang saya merelakan 12 sampai 15 kelereng “terampas” berpindah tangan ke Pardi. Ya doski punya skill dewa, membidik kelereng (bahasa jawanya nekeran) dari jarak jauh. Knock Out saya dibuatnya. Mungkin salahnya saya juga sih, berani mencoba menjajal si raja “nekeran” Mulyoharjo. Padahal, saya tergolong tidak berbakat dengan skill pas pasan. Kelebihanku cuma sering dikasih uang jajan lebih oleh Ibu, untuk beli segepok kelereng.

Demikian juga jika ngomongin permainan layangan. Pardi adalah salah satu raja layangan di daerah Iwakan Mulyoharjo.

Ada 3 orang yang menyandang King of Kite, di blantika perlayanangan Mulyoharjo. Slamet Boy adalah legen perlayangan. Teknik bermain layangannya sadis. Dia dijuluki si raja tega, karena sering menang adu layang dengan teknik “kepok”. Kepok adalah teknik menukikan layangan seekstrim mungkin untuk membuat kerugian besar.

Expert layangan yang lain Budi. Beda dengan Slamet Boy, Budi punya skill meramu gelasan benang dengan ramuan khusus. Makanya Budi lebih terkenal dengan raja gelasan layangan. Saya pernah tanya ke Budi, apa resep gelasan saktinya.

Budi bilang:
“Beling ditumbuk sampai halus. Trus dikasih getah kedondong. Setelah itu lumurin dengan eek orang hamil yang pucuknya dislentik”, ujarnya.

Nah syarat ketiga ini yang super duper muskil. Cari orang hamil yang sedang Pub aja sulit. Apalagi nylentik pucuk eeknya, wuih skill tingkat mahadewa nih.

Nah, Raja Layangan yang terakhir adalah Pardih. Pardi terkenal dengan “ambatannya”. Ambatan adalah teknik bermain layangan dengan menarik secepat kilat. Selain itu pardi adalah penguasa pengejar layangan di Mulyoharjo. Badannya yang kekar memungkinkan Pardi membawa bilah bambu yang ujungnya diberi akar, untuk menangkap layangan putus.

Tiba saat SMA aku jarang ketemu Pardih. Satu pengalamanku, ketika main bola dengan kakak kelas. Kakiku di tackling, basa jawanya digares. Spontan saya mengumpat kata “segawon!”. Itu padahal bahasa super halus kromo inggil. Bahasa keraton lah. Tapi dia gak terima nantang berkelahi.

Saya ajak Pardih untuk menemaniku. Kabur mereka melihat aku bawa bodyguard.

Ketika almarhum bapak masih si DPU, akhirnya karena kedekatan kami, Pardi dibantu bapak masuk jadi pegawai kebersihan di Pemalang.
Tapi saya dengar gak lama. Pardi cuma bertahan 3 tahunan, kemudian keluar. Dia lebih menikmati kebebasannya sebagai Free Man di Pemalang. Pernah juga narik becak, atau jadi petugas keamanan di Hotel Dewi Sri, atau RM Layah Watoe dll

Ketika aku bekerja sebagai profesional. Pardih sering membantuku, bahkan cukup die hard doski lumayan dekat. Dia yang membantu mencarikanku pembokat dari Pemalang yang awet sampai sekarang. Pardi juga yang selalu up date, mencarikan info jika ada rumah dijual di Pemalang. Bahkan tiap mudik, Pardi sudah setia di rumah untuk memijatku dan nunggu THR dariku. Patdi yang selalu membantu dan menjadi die hard ku. Aku juga sering kasih baju, kaos dan pecingan, istilah kasih uang buat keluarganya.

Tiga tahun, saya sudah jarang ke Pemalang, karena Bapak dan Ibu sudah meninggal. Aku jarang berkabar tentang Pardi, yang sudah kuanggap saudara sendiri.

Tetiba ada pesan melalui WA. Dari Hanung, adik kelas di SMA yang owner Rumah Makan Layah Watoe tempat Pardih mengamankan wilayah Mulyoharjo.

“Mas Yogi, Pardih meninggal”, kata Hanung.

Pikiranku langsung mengenang sahabatku si Raja Layangan Pemalang, pergi, melayang ke alam baka.

Met jalan ya Pardih.

Foto dari adik Pardih, Mujijah.

Dipar


Dalam bahasa Inggris kita mengenal kata ‘reason’ dan ‘excuse’. Artinya jelas beda, reason artinya alasan yang dapat dirima karena reasonable/masuk akal, sedangkan excuse adalah alasan yang dicari-cari untuk pembenaran sesuatu yang tidak benar.

Sayangnya bahasa kita tidak mengenal perbedaan arti itu. Jadinya, alasan sering dicari-cari untuk sesuatu yang tidak ada dalil kebenarannya. Dan kalau kemudian alasan ini dijadikan sebagai sebuah pembenaran kita semua jadi sulit.

Lebaran beberapa tahun yang lalu, saya ketemu teman, sebut saja Mawar…eh Dipar. Pasti ketemu, karena doski biasa mijet pasca berdarah2 mudik. Doski adalah teman main kecil saya, ya layangan, ya main kelereng, ya main gupak sodor dan sebagainya. Relasi persahabatan Dipar denganku sebenarnya agak bernuansa “subordinat”. Saya biasanya yang ngebosin, dia yang berperan sebagai eksekutornya. Misal kalau main layangan atau kelerang, saya yang modalin gelasan, Dipar yang jadi jokinya.

Dipar anak tukang becak. Bapaknya bernama Tukul Surokul. Beranjak dewasa nasibnya gak berubah. Dia sekolah cuma sampe lulus SD. Karena himpitan ekonomi akhirnya doski mengikuti jejak orang tuanya jadi penarik becak, sekaligus preman di daerah Mulyoharjo Pemalang. Dahulu, Bapakku sebenarnya sudah pernah menolong Dipar, dijadikan petugas kebersihan kota Pemalang. Tapi masalah karakter, doski keluar dari dinas DPUK Pemalang, memilih jadi preman kampung.

Ternyata kesetiaan Dipar padaku berlanjut sampai dewasa. Simbiosis mutualisme. Kalau aku perlu sesuatu yg berhubungan dengan kota asalku, selaku kontak doski. Misal mencarikan pembokat atau mencari tanah yang murah, atau nitip rumah bapak, dia selalu menolongku.

Sebaliknya, akupun selalu memberi sesuatu ke Dipar tiap kali mudik ke Pemalang. Biasanya kalau gak baju buat anak2nya, juga istilah basa Pemalang mecingin (kasih THR) ke doskih.

Tiba suatu saat, saya dapat kabar Dipar ditangkap polisi !. Dipar terlibat perkelahian di Pemalang, waduh….

Dipar memang baik dan loyal padaku. Tapi tetap saja karakter kerasnya ibarat gunung es, sewaktu waktu kerap meledak. Sisi premannya sangat rawan mengantarkannya berurusan dengan tindak pidana.

“Dipar berkelahi demi menjaga kehormatannya !” kata tetangga rumah.

Nah lo, runyam masalahnya. Ternyata akar masalahnya adalah wanita. Entah reason atau
excuse tentang wanita yang menyebabkan dia masuk penjara.

Meski secara ekonomi pas pasan, doski selalu membanggakan padaku beristri 4 orang !.

“Bojoku papat (4) loh Mas Yogi. Kan jatah laki laki ada 4. kowen kalah adoh”, ledeknya menggunakan alasan pembenar sepihak. Dipar menggunakan pola excuse ! Doskih juga gak menjelaskan, jatah apa maksudnya ??

Aku coba pancing dengan kalimat reasonable…Toh jatah 4 dengan syarat harus bisa adil lahir batin. Itu yang susah…

“Lah Dul, kowen bise mbjojo 4 trus pan dipakani apa anak-anakmu”, kataku.

“Gampang Bos”, jawabnya enteng sambil ketawa.

Begitulah, Dipar yang hanya berprofesi tukang becak, punya istri 4. Tapi justru dari situlah kisah ini bermula dan berakhir.

Anak dari istri ke 3 berantem dengan anak istri ke 1. Anak istri ke 1 membawa temannya yang jagoan di Pemalang untuk memberi pelajaran ke anak istri ke 3.

Demi mendengar hal tersebut, Dipar membela anaknya. Doski pasang badan melindungi anak dari istri ke 3 nya. Jagoan tersebut di smackdown mirip Khabib Nurmagemedov nyekik Connor McGregor. Dicengkiwing, kakinya sampai tidak menyentuh tanah.

Dipar pun ditangkap polisi dan masuk penjara kena pasal penganiayaan.

Ada 2 point yang sebenarnya tidak saling terkait, tapi secara tak sengaja menjadi alur kisah Dipar. Doski melakukan sebuah excuse, dan akhirnya terjebak sendiri dengan prilakunya excuse nya.

Banyak orang yang berprilaku takliq. Dipar adalah cermin yang mengkroping dalil dalil tertentu, sebagai pendukung prilakunya. Memotong dalil tak utuh, untuk membenarkan prilakunya. Karena sebenarnya, entah dia tau atau tidak, ada syarat yang disembunyikannya. Ketika doski memilih menikahi 4 wanita, apakah dia sudah menimbangkan syarat adil buat istri2nya ? Mbuh…

Note: info dari Kang Onding, doski pernah menyumbang emas pencak silat untuk kontingen Pemalang, pada porda Jawa Tengah.

SMANSA Pemalang dan Pendidikan yang Berubah


Saya mudik ke Pemalang dari Jakarta. Saya diundang SMA 1 Pemalang untuk memberikan motivasi ke siswa. Mengisi kelas motivasi yang diadakan oleh Keluarga Alumni Smansa Pemalang (Ganissa).

Saya sengaja naik bis Sinarjaya dari Mampang Jakarta. Tiba di terminal Pemalang jam 7 pagi. Saya langsung disambut tukang becak, untuk mengantar ke alun alun Pemalang. Rencananya mau sarapan megono di depan mesjid Agung, sekalian napak tilas masa remaja di kota ini.

Sebut saja Kliwon sang tukang becak. Kliwon yang berbadan kekar berkulit legam, mengikutiku sejak turun bis. Tasku langsung dicomot, sambil terus menanyakan tujuanku kemana. Luar biasa effort Kliwon yang die hard dalam mencari klien penumpangnya, sampai aku tak kuasa menolaknya. ……Ya, tukang becak di Pemalang nasibnya memang terjepit. Hidup susah, matipun segan, ditelan oleh jaman. Dan saya tidak menyalahkan Kliwon yang sedang berjuang melawan jaman.

“Lah keprimen maning mas, nyong ora nduwe keahlian liyene. Saiki mbecak sepi mas. Wis pokoke nlengse nemen song wowohi. Jaman wis berubah. Wong saiki nggari klik pesen gojek. Luwih cepet tur praktis”, curhatnya.

Maaf nggih Mas, mau aku rodo kasar”, jawabnya minta maaf dengan logat ngapaknya.

Ya, banyak kliwon kliwon di Pemalang. Data statistik nasional menunjukkan kabupaten Pemalang termasuk dalam kota miskin ekstrim di Jawa Tengah. Dan pendidikan dipandang sebagai salah satu jalan untuk memotongnya!

Menurut Yuval Harari, saat ini zaman sedang bukan mendorong agar tukang becak beralih menjadi pengojek atau supir taksi. Bukan, bukan itu. Saat ini kita sedang menggeser tenaga genjot mbecak di abad ke-19 untuk keluar dari arena pasar kerja. Kita bukan sedang menggeser, melainkan memindahkan dan mengganti. Kejam bukan?

Ya, Harari betul. Dia menulis dalam bukunya, 21 Lessons for the 21st century, “ketika anda tumbuh dewasa, anda mungkin tidak memiliki pekerjaan.” kata Yuval Noah Harari.

Memang, salah satu sisi pendidikan adalah menyiapkan manusia agar mampu memenuhi kebutuhan hidupnya melalui bekerja. Saat ini, kita bingung. Di kelas-kelas tingkat dasar. Kita lebih memilih bertanya, “apa cita-citamu?” ketimbang bertanya, “masalah apa yang ingin kamu selesaikan?”. Di kelas yang lebih tinggi, kita menambah jam belajar dan semakin gencar melatih keterampilan kerja yang dibutuhkan saat ini.

Seringkali, pada akhirnya saat mereka lulus, keterampilan tersebut butuh pembaruan atau bahkan sudah usang. Banyak kita jumpai, kemampuan dari sekolah tidak nyambung otomatis dengan kebutuhan kerja.

Anak SD aat ini, masih akan hidup sampai tahun 2050. Bahkan bisa jadi ada yang masih aktif sampai tahun 2100. Keterampilan apa yang dia butuhkan untuk mendapatkan pekerjaan?

Jangan-jangan apa yang mereka pelajari hari ini, sudah tidak relevan pada tahun 2050.

Seandainya sekolah pada saatnya nanti harus menyiapkan kemampuan-kemampuan dasar untuk menjadi youtuber atau opeator drone, jangan kaget.

Bagaimanatidak? Perubahan begitu cepat. Maka, jangan heran juga jika dalam satu dekade saja, kemampuan miliaran orang akan menjadi mubazir secara otomatis.

Tahun 2015, saat George Couros menulis dalam bukunya The Innovator’s Mindset bahwa “kita harus menyiapkan anak-anak kita untuk pekerjaan yang belum pernah ada.”

Sekilas, apa yang ditulis Harari dan George menggambarkan rasa pesimis. Tapi sebenarnya tidak. Itu hanyalah alarm agar kita siap menghadapinya.

Ya, pendidikan saat ini sudah berubah dan berbeda dengan dulu. Pun demikian ketika aku masih sekolah di SMA 1 Pemalang dulu. Sekarang banyak ceruk baru di pasar kerja, yang menawarkan kesejahteraan. Jika jargon era saya sekolah tahun 90 an: Mantu ideal itu insinyur, sekarang berubah, mantu ideal bisa jadi seorang youtuber atau influencer!

Sekitar 80 – 100 siswa smansa memadati aula yang sayangnya agak butut. Ketika kuceritakan kisah kodok budeg yang jadi juara, tiba tiba ada siswa yang meloncat loncat seperti kodok, maju kedepan.

Sontak Om moderator Wakhyudi, guru BP, mas Iwan dkk tertawa terbahak.

Ternyata, sama seperti dulu, ada sisi “gendheng” yang embeded pada beberapa siswa. Sayang suasana riuh, tidak diiringi bening nako serta pintu yang sudah rusak. Aula terlihat butut dengan ilalang menjuntai. Sedih almamater ku sepertinya belum bisa meng upgrade sekolah.

Trus piye jal kalo begini?

Kita, tidak perlu bingung. Belajar dan mengajar saja terus tanpa henti. Siapapun yang terus belajar, maka dialah yang paling siap menghadapi perubahan.

Hampir semua mengakui bahwa pendidikan yang baik bisa menghasilkan ekonomi yang baik. Pendidikan adalah alat terbaik untuk mengurangi angka kemiskinan. Namun, sangat sedikit yang berani mengakui bahwa silabus dan kurikulum kita, jangan-jangan, disusun dan didesain oleh korporasi kapitalisme.

Jika memang iya, bersiaplah menuai apa yang kita tanam.

Akhirnya, apapun kondisinya, seberapapun cepatnya timbul dan tenggelamnya sebuah pekerjaan, Kang Harari menyimpulkan bahwa pada akhirnya yang harus kita lindungi adalah MANUSIA, bukan pekerjaan.

Matursuwun buat Ganissa, Buguru Lili, Bu Ratna, Mas Wakhyudi, Pak Iwan dan para guru yang tidak bisa disebutkan satu satu.

Ibuku


Boleh jadi Ibu dan Bapak adalah pasangan yang ideal bagi keluarga kami. Bapak tipikal pendiem; sabar; pekerja keras. Beliau jarang berbicara panjang lebar ke anak anak. Pergi pagi ke kantor, pulang malam, repetitif. Hari libur dilakukan bapak untuk beres beres rumah.

Bapak sayang ke anak anak. Tapi sepertinya bapak tidak bisa mengekspresiksnnya langsung. Dari sorot matanya, bapak sangat penyayang. seumur hidup beliau tak pernah marah pada kami. Diem jika ada masalah apapun.

Sementara ibu lebih spontan dan reaktif. Ibu lebih dominan melindungi kami. Ibu sangat protektif ke anak anak. Ibu tipikal orang tua yang konservatif dan keras. Tapi sangat penyayang ke kami.

Waktu saya kecil beberapa kali di bully, diajak berantem sama anak kampung. Ibu yang maju, Ibu yang intervensi melabrak orang tua mereka. Beda dengan bapak yang sabar, menenangkan kami. Awalnya saya malu sih. Biasa anak anak berantem kok orang tua turut campur. Tapi setelah dewasa baru sadar; semua adalah bentuk atau tools kasih sayang meski caranya berbeda, kita harus memakluminya. Ibu juga mengajarkan nilai nilai yang disiplin dan keras.

Ya, ibu akan seperti harimau all out jika anak anaknya diganggu.

Didikan ibu keras. Ibu mendoktrin kami, tidak boleh pacaran sebelum bisa mandiri. Dalam artian, kalau masih sekolah atau kuliah, beliau minta kita fokus masa depan.

Saklek secara verbal sudah diutarakan beliau. Aturan hitam putih gak ada yang lain. Ibu tidak akan mengkuliahkan saya jika tidak kuliah di negeri titik. Ibu selalu berucap demikian gak boleh mrnawar. Karena kata beliau tidak punya uang, maklum bapak cuma pensiun PNS (maklum saat itu usiaku dengan kakak kakak berdekatan).

Suatu saat Ibu merahasiakan sesutu keinginan ke anak anak. Saya pribadi tidak diberi tahu sampai saat ibu siap naik Haji.

Padahal kalau saja keinginan ini dirapatkan ke keluarga, jauh jauh hari, Insya Allah kami bisa patungan membantu biaya naik haji Ibu.

Saya sudah mengutarakan ini ke Ibu, kenapa nggak dibicarakan ke kami anak anak Ibu akan berangkat Haji?

Jadi ternyata ibu yang polos kena bujuk rayu kakak kandungnya. Budenya kami biasa menyebut. Bude yang merayu ibu untuk menjual rumah warisan dari simbah ke bude, nah duitnya dipakai untuk berhaji dengan bapak.

Ibu dan Bapak mungkin tidak mau membebani kami dengan usaha sendiri. Beliau tidak minta uang dari kami, sampai tiba tiba menjelang keberangkatan haji, kasih surprise ke kami.

Tapi terus terang sampai sekarang saya merasa bersalah, kenapa Ibu (dan bapak) sampai tidak bilang ke saya?

Rupanya ibu punya feeling usianya gak akan lama lagi. Tapi ibu merahasiakan sakitnya. Ibu gak pernah ke dokter, cuma memang dari fisiknya terlihat lebih kurus. Dia all out, apapun yang terjadi nekat pingin naik Haji. Bapak pernah cerita, ketika manasik haji, ibu sudah terlihat kelelahan. Tapi sepertinya ibu juga merahasiakan sakitnya ke bapak.

Time sebulan sebelum berhaji, Ibu meneleponku saat aku masih kerja di TransTV.

Ibu cerita dari balik telepon. Perlengkapan berhaji sudah dibagi. Baru kali ini aku lihat ibu bahagia. Ibu cerita segalanya dengan riang. Tentang rumahnya yang di desa serang dijual. Tentang keinginan yang sangat kuat untuk berhaji.

“Yogi, minta doa apa? Ibu mau naik haji bareng bapak”, .. katanya berapi api.

Tapi, manusia mungkin merencanakan, Alloh yang memutuskan.

Ketika saya sedang bekerja di kantor, HP ku berdering. Kulihat nama bapak dari HP.

Bapak berkata lirih. Aku hampir tak mendengar.

“Yogi… pulang ya ke Pemalang sekarang! Ibu koma tidak sadar di rumah sakit”, kata bapak.

Langsung ku hubungi istriku Gani, untuk cepat ke Pemalang saat itu juga. Vava masih kecil belum tau apa apa. Dan sepanjang perjalanan, pikiranku kosong cuma bisa nginjek gas.

Pagi hari sampai Pemalang. Sekeluarga saya sempat bertemu ibu di rumah sakit. Tapi beliau masih koma. Magrib, ibu meninggal dunia di usia 58 tahun.
Ibu meninggal 2 hari sebelum berangkat haji.

Mungkin itu jawaban Ibu, meski sakit beliau ingin tetap berhaji. Tapi Alloh lebih menyayanginya.

Dua hari setelah ibu meninggal, saya ke alun alun mengantar bapak naik bus sebelum ke Mekkah. Saya lihat bapak terpekur sendiri di balik kaca bus. Bapak tersenyum ketika lihat aku, Gani dan Vava dadah…


Sampai sekarang saya masih belum percaya, ibu yang selama hidupnya gak pernah ke rumah sakit, langsung meninggal ketika dirawat di RS.

Secara pribadi, aku yang paling deket dengan ibu. Waktu mahasiswa, akulah yang paling sering curhat dan diskusi dengan ibu.

Yang selalu kukenang, ibu pernah berucap kepadaku;

“Yogi, aku bangga sama kamu. Aku pernah main ke rumah hasil jerih payahmu, pernah juga nganter ibu naik mobil pulang ke Pemalang.

“Alhamdullilah aku wis menangi kowe mandiri yo Yogi”…

Tabiiik.

Ustad Sahru


Sahru, atau nama panggilan kecilnya Tahlul, adalah teman SD dan SMP ku. Waktu kecil SD kita sering dolan bareng. Biasanya peran Tahlul sebagai penasehat spiritual. Maklum, doski dulu fisiknya nggak selincah bola bekel. Tahlul kecil menderita tumor di kaki, yang mengganggu aktifitas fisiknya.

Suatu saat, SD ku, ditantang main bola melawan sekolah tetangga. SD ku adalah SD 2 Kebondalem, bertetangga dengan SD 3 Kebondalem yang jadi musuh bebuyutan. Mirip perseteruan bola, Indonesia vs Malaysia. So jika head to head, bawaannya, adalah PRIDE, atau harga diri jika bertanding dengan SD sebelah. Yang terdoktrin dalam benak anak anak dulu, kami boleh kalah main bola dengan yang lain, tapi haram judulnya kalah dengan SD 3. Kami harus bertarung sampai tetes darah penghabisan… Hiks, lebay amat!

Nah, sekolah kami, punya penasehat spiritual yang selalu komat kamit berdoa di pinggir lapangan. Dialah Tahlul yang selalu setia membaca mantra shalawat. Jika tim kami kritis, karena diserang musuh, doski baca al Fatihah kenceng cementeng, mirip kaleng rombeng yang jatuh. Syukurlah kita selalu menang jika tanding bola dengan SD 3. Dan karenanya, banyak yang bilang ideologi kesebelasan SD ku adalah nasionalis religius…

Sejak itu saya memanggilnya “Ustad”. Ya, karena saking seringnya doski cerita nabi nabi. Dan syukur menjelang SMP, saya mendengar ada donatur dari pecinan yang membantu operasi tumor Tahlul. Tahlul yang mulanya sulit untuk berjalan, lama lama jadi normal.

Selepas SMA di Pemalang, saya kuliah di Bandung. Begituan setelah wisuda, langsung kerja dan tinggal di ibukota (sebentar lagi diganti IKN di Penajam). Sayapun gak punya jeda waktu lama tinggal di Pemalang.

Lama saya gak berkabar dengan Tahlul. Sudah sekitar 7 purnama lah saya tak jumpa dengannya. Mbuh, aku ora ngerti kabare Tahlul dan aktifitasnya di Pemalang.

Persuaan saya dengan Tahlul, mulai intens ketika saya pindah ke CNN, sekitar 2013 an. Waktu transisi dari TV lama ke TV baru, kugunakan untuk liburan di Pemalang. Nah ada momen ketika orang yang gak terlalu kukenal, menghampiriku ketika duduk di teras rumah Pemalang.

Tahlul yang waktu kecil kupanggil Ustad, jadi Ustad beneran. Doski aktif di Muhammadiyah Pemalang. Akhirnya seperti rutinitas, Ustad Sahru sering dolan jika aku mudik. Tapi beda dengan dulu, sekarang model celananya cingkrang, dan di tengah dahinya ada titik yang menghitam, tanda dia kerap bersujud. Sahru yang dulu muda, terlihat dia lebih tua dari usianya.

So bener seperti kata Antonio Dio Martin tentang Law Attraction. Tahlul yang kecilnya pingin jadi Ustad dikabulkan. Ya apapun yang kita pikirkan, kita akan menarik hal tersebut ke dalam diri. … Sebaliknya apabila pikiran kita buruk, maka akan menarik lebih banyak hal-hal yang buruk pula

Sementara aktifitas di Pemalang berganti ganti seperti yang diceritakannya. Awalnya doski kerja sebagai buruh di Texmaco. Setelah perusahaan textil itu tumbang, doski kerja serabutan di Pemalang. Apa saja disikat nya untuk mempertahankan dapurnya ngebul.

Ketika doski cerita, ada kesedihan yang membuncah.

“Nyong tau dodalan ayam mentah nang pasar banjardewe, 2 tahun”, terjemahannya adalah dia pernah jualan ayam di pasar.

Saya cuma mendengar ketia dia bertutur. Ya, Tahlul yang kecil prestasinya lumayan pinter, nasibnya terpuruk, meskipun ibadahnya rajin. Doanya panjang setelah sholat, tapi tak merubah nasib nya.

“Usaha ayamku bangkrut Yog, karena tata niaga dodolan ayam di kota ini belum kondusif. Harga gak stabil, permintaan jadi dikit blas.

“Kebahagiaan bukan yang membuat kita bersyukur Yog! Tapi karena kita sering bersyukur makanya aku bahagia”, nasehat Tahlul yang selalu kuingat.

Saya sebagai teman ikut lah membantunya membuka jalan sobatku ini. Terakhir dia cerita bergabung ke Bumdes Wanarejan Utara yang memasarkan Sarung Goyor. Dalam terminologi Pemalang, sarung Goyor biaya disebut sarung toldem. Sebuah akronim lokal konxxx adem, karena memang benar sarung ini gemejoss kalo dipakai.

Dari Jakarta saya bantu pesan beberapa Goyor nya. Aku ikut memasarkan Goyor pak Ustad.

Dan ada kebiasaan baru, jika pulkam Sahru kuajak nemanin mengeksplor underground kota Pemalang. Kami berdua pernah nyari si Agus Salim, wong Pemalang penjaga mesjid Agung yang tergusur setelah renovasi. Salim adalah penjaga mesjid Agung Pemalang selama belasan tahun. Nasib nya malang, ketika Mesjid Agung direnovasi, Salim menghilang di telan kota ini.

Tahlul juga yang mengantarkan ke tempat Glompong, yang sekarang jadi petugas penjaga kereta api. Terakhir Glompong jadi tukang parkir di depan SMA 3 Pemalang. Tahlul juga pernah mengajakku ke panti asuhan yatim piatu di Pemalang. Dia menasehatiku gini:

“Yog, awake dewe wis tuwo, ngapain piknik, atau berlibur cari makanan enak. Jika kamu banyak tekanan di Jakarta, lihatlah anak anak yatim ini berjuang hidup”, bisiknya.

Dua tahun pandemi, segalanya berubah. Saya jadi jarang ngobrol ma pak Ustad.

Akhirnya semalam dapat kabar Ustad Sahru meninggal dunia. Tahlul meninggal dalam posisi sujud sholat. Darahnya mengental, membuat jantungnya tak berdetak.

Selamat jalan ya pak Ustad. Aku pasti akan merindukan sosok yang dulu yang komat kamit berdoa tiap kali kita bertanding bola. Impianmu terkabul Tahlul semoga bahagia di taman surgaNya.

Kojin Dan Merpati Mahal


Ada yang manggil Hojin, atau Ojin. Ya, di SD kami ada 2 Chozin, untuk membedakan kami sebut Chozin A, dan Chozin B. Kojin biasa dipanggil Chozin A. Apa bedanya? Yang A rada bandel tipis tipis, yang B sedikit alim. Jamal ketua kelas sering nambah embel embel Panjul ketika manggil Kojin. Mungkin karena kepala Kojin menonjol kebelakang. Mirip Aliens lah. Saya sendiri memanggilnya Kojin. Ya, mirip panggilan ke pendekar samurai Jepang. Kojin Kimura ! Ciaaaat!

Kojin teman SD ku. Meski sebenarnya kami tak akrab akrab amat. Kojin lebih nge gang ke teman2 yg berasal dari distrik pelutan!. Biasa bergerombol sama Muis, Bahrud, Aeng, Sulis dkk. Tapi meskipun waktu itu gak akrab banget, masa SD kami kompak.

Selepas SD, aku melanjutkan ke SMP 2 yang berlokasi di belakang rumahku. Ada sekitar 8 sd 10 orang yang melanjutkan ke SMP 2.

Gimana dengan Kojin?

Saya tak tau pasti. Sepertinya doski sekolah di SMP 1 Pagaran yang lokasinya ke arah Widuri. Dan pasca lulus SD, saya tak berkabar dengan Kojin.

Ceritanya berawal di sini.

SMP kelas 3 an, saya mulai memelihara burung merpati. Saya beli merpati amatiran lah sesuai budget. Murah meriah, pokoknya merpati buat seneng seneng saja.

Dari hobby merpati, saya sering eksplore ke pedagang merpati di Pemalang. Tetiba main ke lapak merpati di alun alun, saya lihat makluk yang dulu pernah akrab. Remaja dengan kepala belakang menonjol! Siapa di Pemalang yang kepala belakangnya panjul?

Kojin! Ya Panjul si Kojin.

Sejak saat itu saya jadi akrab dengan Kojin. Bocah ilang, Kojin yang dulu lenyap kini tiap hari main ke rumahku di Mulyoharno diskusi merpati. Sebaliknya saya juga sering main ke rumah Kojin.

Rumah Kojin di pinggir jalan pelutan. Orang tuanya bisnis agen bus Damri. So orang Pemalang yg mau keluar kota naik Damri, pasti mampir rumah Kojin.

Bergaul dan diskusi dengan Kojin tentang merpati, kadang saya bingung. Temanku ini masih SMP, tapi piaraan merpati nya dah berkelas. Pokoknya merpati mahal lah. Merpati elit yg gak terjangkau olehku. Kadang ada pikiran nakal; Kojin dapat duit dari mana untuk beli merpati?

Ah aku berpikiran positif! Mungkin dari jualan karcis Damri? Loh yang jualan kan bokapnya? Mbuh lah.

Akhirnya misteri itu terkuak. Ternyata Kojin orang yang kreatif dan pinter. Ilmunya out off the box

Dia kemudian mengajariku teknik beli merpati mahal dan berkelas!

“Barter, Yog!”… Kojin mengajariku.

“Kamu jual ke pasar loak barang2 di rumah. Yang gampang laku itu kaset. Aku sering jual kaset bapakku”, dia berbagi trik.

“Lah, piye nek konangan” tanyaku polos.

“Bilang dicolong Gondoruwe kalo ketahuan!”

Baru kali ini saya dapat saran yang keluar mainstream. Ya bukan cuma kaset, tapi panci, dandang, ember, garpu dll bisa jadi sarana barter.

Dan terjawab sudah penasaran ku diusia belia Kojin sudah punya koleksi merpati mahal. Ada yg Gambir balap, juga Megan tengahan yang berani mati.
Rupanya Kojin menjual kaset kaset bokapnya, untuk membeli Merpati unggulan. Tentu pas bokap lagi lengah.

Sayangnya saya gak bisa meniru modus Kojin. Bapakku hobby dengerin kaset wayang. Gimana mungkin ngumputin serial wayang untuk dilego, pasti ketahuan.

Tapi, ketika dewasa, dan bekerja, aku jadi terinspirasi trik Kojin, nekat jual kaset, tanpa sepengetahuan bokap.

Ya, 20 tahun kemudian, aku jual koleksi kaset kunoku ke kolektor di Bandung. Maklum aku dah bosen dengan lagu lagu barat koleksi ku: Air Suplay, Bon Jovi, Richard Marx dll. Ada sekitar 70 kaset kuno ku jual di situs OLX. Laku dibeli oleh orang Bandung seharga 1 juta rupiah.

Kubelikan uang 1 juta tersebut dengan sepasang merpati kolong.

Ya, dejavu. Ternyata Kojin, si raja merpati dari Pelutan, menginspirasiku…

bedanya…

Kalo dulu Kojin jual barang barang orangtuanya untuk beli merpati, tentu tanpa ijin, alias nyomot. Aku jual koleksi kaset pribadiku.

Kojiiiiiin… Where are you now?

Istriku, Gani


Gani Hartono 1

Tahun 1991 aku pertama kali bertemu dengannya. Di Universitas Indonesia tepatnya. Gadis yang manis. Supel mudah bergaul. Beda denganku yang agak pragmatis. Dia aktif mirip komedi putar.

Kami sesama perantau. Dia dari SMA 1 Magelang, sementara, aku dari SMA 1 Pemalang. Mungkin kesamaan geografis dan bahasa ibu, membuat kami cepat bersahabat. Kalo ngobrol dengan bahasa Jawa, kami nyambung. Meskipun, jujur saat itu intensitas obrolan kita jarang.

Bersahabat tentunya, tanpa rasa lebih. Aku lebih sering nongkrong dengan teman2 kuliahku yang cowo. Andi, Yuda, Dodo, Rawuh, Gunawan.. Ngobrol ngalor ngidul, sambil bercanda ha ha hi hi. Belum ada cewek yang spesial untukku. Maklum sejak SMA, aku masih nge jomlo. Ya, bukan karena gak ada yang mau. Tapi karena memang malas pacaran.

Gani Hartono 2
Gani Hartono 3

Sementara, dia akrabnya sama Lusi. Kemanapun berdua.

Satu momen yang kuingat ya dia pernah ke kos ku abis kuliah. Dia benar benar sakit pusing masuk angin, so pinjam tempat tidurku, istirahat di kamarku. Ya, karena kebetulan kos ku di seberang pagar feket kampus.

Aku bingung. Kubersiap antar dia ke dokter. Tapi dia bilang cuma pusing gak bisa jalan. Dia nggak kuat, minta dikerok badamnya.

Aku masih inget. Saat itu ke warung beli minyak kayu putih. Yo wis, kuolesin punggungnya dengan minyak angin sampai basah. Aku kerok punggungnya dengan uang logam seribuan. Dia meringis kesakitan. Katanya kerokanku sangat keras, nolak nglanjutin. Hadeh wong pelan bingit kok. Punggungnya memang merah mirip macan loreng.

Kami berteman, selama setahun. Tapi ya itu, gang ku banyakan cowo. Belum tertarik pacaran. Demikian juga dengannya. Dia cerita seniornya pada dekatin minta jadi pacarnya. Tapi doski tetap cuek.

Tiba saatnya aku mau pindah ke Bandung. Tapi aku rahasiakan hal ini ke dia. Aku ajak dia nonton. Tumben, selama setahun bersahabat, baru sekarang spesial ngajak ke Bioskop. Mungkin momen itu sangat berkesan ketimbang ketika dia dikerok di kos.

Kamipun berpisah. Saya pindah ke Bandung dan sayapun sadar sudah melupakannya. Di Bandung aku menemukan pergaulan yang lebih bebas. Dalam artian karena lokasi kos di kota Bandung, so masyarakat muda mudinya lebih heterogen.

Kuliah di Unpad, aku sedikit lepas kendali di Bandung. Gagap budaya sepertinya diriku. Sesuatu yang sepertinya dulu susah dilakukan, terbuka di depan mata.

Di Bandung aku mulai punya teman spesial. Ya cinta nyemot lah seperti kata Utada Hikaru. Putus nyambung putus nyambung lah. Namanya juga gak serius, cuma buat bumbu penyedap rasa.

Tahun ke 5 di Bandung, aku sedang menjomlo. Maklum, hari hari terakhirku kuliah mulai terasa. Aku sedang masa skripsi. Aku stress bimbingan skripsi yang gak kelar kelar.

Tiba tiba Iin, anak ibu kos bilang, tadi ada telepon dari sahabatku dari UI. Nanti malam akan telpon lagi. Aku girang tak terkira.

Dia sudah bekerja sebagai sekretaris pribadi orang Jepang. Badannya sekarang langsing banget. Berat tubuhnya cuma 48 kg. Pake bajunya trendy. Pokoknya, bagiku dia cantik sekali.

Akhirnya kita resmi pacaran. Meskipun aku saat itu belum lulus kuliah. Untuk biaya pacaran, alhamdulilah aku tertolong karena dia sudah bekerja. Tiap satu minggu kita bertemu. Kadang dia yang ke Bandung atau aku yang ke Depok.

Setahun full kami dimabuk asmara. Akhirnya wisuda, dia jadi pemdampingku, bareng kedua orang tuaku. Saat itulah dia kuperkenalkan sebagai kekasihku.

Akhirnya kami menikah, dan dikaruni 2 orang anak.

[ PASANGAN ]

Punya pasangan sebaya itu paket lengkap mirip karedok. Taoge, Kol, Terung, Kecap, Sambel, itu layaknya bumbu kehidupan. Pasangan paket komplit. Ada kalanya kita memposisikan seperti kol, dalam representasi seorang “kakak”. Sementara rasa taoge muncul sebagai “sahabat” yang saling mengisi. Rasa gurih Kecap bisa berperan seperti orang dewasa yang “ngemong” ke ananda. Bumbu yang menyaru adalah konversi rasa yang saling memahami. Pedas rasa sambel ibarat terjal jalan yang kita daki.

Bulan November di saat hujan itu istimewah. Karena titik air yang membasah menguburkan masa lalu persahabatan kita. Karena saat itulah kita mematahkan ego masing masing.
Memporakporandakan kelajangan kita. Menghancurkan kesendirian dengan kejamnya.

Saat itulah kita berdua mengucap janji, membuat candi kehidupan. Batu cadas yang kita susun, jadi huma yang kita tinggali.

Darubih dan Cilok


Di sebelah kanan Trans TV di jalan Tendean Jakarta, ada yang jualan Cilok. Bisnis cilok dianggap sebagai bisnis kuliner yg minimalis, karena hanya bermodalkan aci, tepung kanji, yang dicolok ke saos, langsung telan. Rasanya maknyus. Makanya banyak yg memlesetkan cilok sebagai produk 3M. Murah, Meriah dan Mencret….. kalau sambelnya kepedesen !

Hidup terkadang punya kejutannya sendiri. Ternyata Darubih sealmamater dengan saya. Alumni smansa pemalang dari daerah kidul. Doski cerita kalau dulu sering ke sekolah dilajo naik bis Lestari jurusan Purwokerto Pemalang. Setelah lulus SMANSA doski ikut omnya ke Ibukota. Dia bekerja di bengkel yang lumayan besar di daerah Pulo Gadung. sayangnya, nasib baik tak memeluknya. Tahun 2004 dia terpaksa pulang kampung dan mencoba bertahan kerja serabutan di daerahnya.

" Kenapa gak bertani aja Darubih ? ": tanyaku penasaran.


" Wah di kampung gak punya lahan Pak. Sawah di kampung sudah dibeli orang Jakarta, dialihfungsikan kalo gak pabrik ya tempat mangkal truk. Jadi buruh tani juga susah, dan tidak mensejahterakan. Kerjanya cape, penghasilan gak cukup buat makan. Yang menikmatin untung ya tuan tanah dan pedagang berasnya. Mendingan jualan Cilok Pak, meski untungnya tipis, tapi muter ya cepet. Yang penting berkah, dan dapur tetep ngebul bisa membesarkan anak di kampung " : kata mang Darubih simple..sambil melayani pembeli.

Darubih harus berjuang hidup membesarkan anak anaknya. Diapun merantau lagi ke ibukota untuk jualan Cilok.


" Modal saya gak lebih dari 60 ribu Pak. Kalo lagi rame, saya bisa dapat 200 ribu….

Sayang obrolan gak lama karena dagangan Darubih kemudian diserbu pembeli.

Hidup seperti sebuah laju arus kendaraan yang hanya dapat berhenti sejenak saat bertemu dengan lampu lalu lintas. Berhenti di tengah jalan berarti mati dan kita hilang eksistensi.

Membiarkan banyak hal menuntun tanpa pernah kita benar-benar memilih juga mengabaikan pilihan dan kehendak bebas yang kita punya, walau apa yang disebut kehendak bebas ini masih absurd.

Namun, dalam sebuah lintasan jalan raya, tidak semuanya memiliki kendaraan untuk melaju dengan cepat dan nyaman. Ada beragam jenis kendaraan yang hadir pun para pejalan kaki ikut terhitung di dalamnya. Demi apa kiranya kita bertaruh pada jalanan yang tak pernah lengang? Bertaruh pada hidup yang tak pernah berhenti dari alur waktu yang terus mendesak ke depan? Demi suatu tujuan.

Tujuan yang bisa jadi beragam bagi masing-masing kita.

Paling nggak, Darubih sudah move on dari kondisi dilematis di Pemalang, mencoba mengadu peruntungan melewati “jalan kehidupan” ini. Karena, kalo saja dia berhenti….. Berarti mati…ya..bagi beberapa orang, hidup tak menyisakan banyak pilihan.


Ada beribu Darubih, penjual Cilok, Polan, Wanyad, Darso, Japar, Dia, Kamu, Mereka, dan Kita…

Ketika Darubih kugodain lirih untuk menyemangatinyatinya, apa kamu gak nyalon jadi bupati Pemalang ?.

"Ah, saya minder Pak. Saya cuma remahan rengginang yang mencoba bertahan hidup!"

“Nggakpapa Darubih.

Untuk hidup gak perlu terlibat dalam narasi besar, termasuk ide ide semi nggedebus penyelamatan manusia. Minimal kamu bisa mandiri, dan kita bisa saling berkabar denganku !.

"Iya Pak, maturnuwun...

Cemungutt ya Darubih…

Diundang Smansa Pemalang


60382573_10219173204663578_5797766289762025472_n

Ganissa ! Makluk apa itu mas broh!!!

Awalnya kukira ini nama gadis cantik alumni smansa pemalang.

Heeemm. Ternyata dugaanku salah. Ganissa ada akronim dari Keluarga Alumni Smansa Pemalang. Sebuah forum komunikasi yang menjembatani komunikasi antar alumni dari semua angkatan di Pemalang.

Jadi awal cerita tentang Ganissa disini:

Suatu saat ada wa masuk ke handphone ku. Ada pesan yang mengatakan apakah aku bersedia memberikan motivasi ke siswa siswa SMA 1 Pemalang. Nah lo ! Apa yang perlu dibagi ke siswa Smansa ya, wong saya sekedar remahan rengginang. Biasa biasa saja ! Tapi salut ke panitia. Mereka bilang:

“Pak Yogi, inspirator kan gak harus orang yang super hebat, seorang superman atau Ironman yang bisa merubah dunia. Pak Yogi mungkin bisa memberikan semacam motivasi, justru dari kondisi yang biasa biasa, bisa jadi luar biasa. Pak Yogi yang waktu SMA cuma siswa medioker, bisa memaksimalkan potensi yang ada! Seninya kan disitu Pak! Mainstream siswa Smansa kan merupakan representasi dari genre tersebut. Pak Yogi nanti cerita kiat kiatnya”,….

Flasback

29157_1467705655241_1160084_n

942986_10201016795404694_2036856807_n

Semalem aku gak bisa tidur. Perutku mules, tapi gak bisa buang hajat. Tidurku gelisah glasahan; jungkir balik kaki di kepala, kepala di kaki. Pikiranku muter mirip Hand Spinner, mainan anak yang bisa berputar tanpa kedip. Nalarku macet; lepas dari batok kepalaku, melanglangbuana entah kemana. Aku liat banyak cicak di dinding yang lagi goyang maumere. Megal megol kaya bebek. Song wowohi, apakah ini gejala stress?

Ngapain stress?

Besok pagi adalah hari yang ditunggu tunggu. Mereka yang duduk kelas 3 SMA akan melalui hari penghakiman.

Jugdement Day. Jin tong tong jintong…

Pengumuman mahasiswa baru yang diterima di UMPTN secara serentak di Indonesia. UMPTN adalah ujian masuk perguruan tinggi negeri; sebuah seleksi nasional serentak dan terpusat beberapa PTN di Indonesia. Dan saat itu rasanya seperti sembelit. Maklum orang tuaku cuma pensiunan PNS di kota kecil Pemalang. Dan jauh hari bapak sudah mengultimatumku:

“Yog, kalau kamu gak mampu menembus PTN, kamu gak bakal bapak kuliahin. Bapak tidak mampu membiayaimu, karena kedua kakakmu juga masih kuliah di PTN.”, kata Bokap mengultimatum mas broh !

Pernyataan yang membuatku tertekan. Rasanya seperti disuruh maju perang, tapi gak dibekali bedil dan pistol….terbayang kalau kepala kena peluru sakitnya kayak apa ya? Sayapun membayangkan masa depanku, gak kuliah mau jadi apa yak? tukang kredit panci, jualan cilok atau jadi bos komedi putar di alun alun ? Bayangan itu selalu menghantui.

Kaum Medioker di SMANSA Pemalang.

Tahun 90-an penerimaan PTN ada 2. Yang pertama adalah via jalur PMDK. Kalau ini jatahnya manusia manusia pinter SMA. Beberapa syarat yang bikin pesimis, raport harus rata rata 8 dari kelas 1 sampai 3 SMA. Yah saya tahu diri lah dengan raport biasa saja gak mungkin menembus jalur undangan PTN Favorit.

Lagian saya bukan anggota elit siswa pinter di SMA. Saya cuma kaum medioker dan penganut aliran dekonstruktif. Saya menghargai mereka yang cerdas berkognisi, tapi saya mengkritisi jiwa jiwa yang hadir layaknya robot dua dimensi. Oks, masalah ini akan kita kupas dilain waktu. Intinya sesuatu yang musahil aku bisa nembus jalur Undangan.

Yang kedua, seleksi penerimaan mahasiswa baru PTN melalui seleksi jalur UMPTN. Inilah seleksi murni penerimaan PTN berdasar seleksi ujian. Gak pandang bulu, mau pinter, bodo, mau nakal, alim, gak ada batasan syarat NEM, semua harus bersaing mendapat kursi di PTN yang telah ditentukan. Mau dari SMA Favorit kota besar, atau SMA kecil terpencil, harus bersaing head to head memperebutkan kursi yang sedikit itu.

Ada sekitar 150 dalam 3 bidang; IPA, IPS dan Campuran soal soal mata pelajaran yang harus dikerjakan dan dinilai. Nah saya berpikir bisa menembus seleksi ini. Kenapa? karena saya berpikir visioner, jauh ke depan. Saya kurang fokus belajar di keseharian di SMA. Fokus saya jauh kedepan bisa menembus PTN.

Makanya tiap hari saya belajar soal soal UMPTN. Semasa di SMA prestasi saya biasa biasa, tidak bodoh dan tidak juga pinter. Saya ada di posisi medioker, posisi yang paling rentan untuk menembus jalur UMPTN. Posisi yang sangat tidak menguntungkan karena terjepit. Ada rumus umum bagi siswa yang akan diinget oleh guru:

  1. Seorang murid yang pinter atau cerdas. Siswa elit yang selalu dapat rangking antara 1 sd 6 di kelas.
  2. Murid yang ganteng, cantik bak selebriti…
  3. Siswa yang nakal suka berantem. Kategori ini bisa dikenal karena kebandelannya, istilah yang sering dikenalkan oleh grup Duran-duran dari Inggris: Notorious.

Waduh tobiiil, aku gak masuk di ketiga kategori tersebut. Tapi meski hanya kaum medioker, saya toh punya differensiasi. Saya bukan kaum medioker general, tapi medioker yang berpikir dan kreatif. So meski kecerdasan kognisi saya kalah, tapi saya menutupinya dengan kemampuan kecerdasan mental. Ada idiom yang selalu kutanam di pikiranku.

Jika kita kalah karena bakat kurang pinter, maka menangkanlah dengan kreatifitas dan kecerdasan mentalmu.

Artinya, aku masih berpeluang memenangkan kehidupan ini dengan kerja kreatif dan cerdas…lah wong gak bakat pinter….

Beberapa kenangan sekolah saya tuangkan silahkan baca disini:

Alhamdulliah Gusti Allah mboten sare. Nama saya terpampang di surat kabar Suara Merdeka, diterima di sebuah PTN.

Fikom Universitas Padjadjaran Bandung. Wow, asyik nih harus beinteraksi dengan mojang priangan nu geulis eta ha ha ha.

Tadinya saya pesimis, teman saya, mengajakku berburu koran SM subuh subuh. Maklum saat itu belum ada internet. Pengumuman serentak melalui koran. Karena hopeless, aku menolak ajakan mereka untuk melihat pengumuman, alih alih alesan perutku sakit karena mencret, cret crot.

Oke, keyword ya harus cepat menyesuaikan diri. Perlu sedikit waktu untuk beradaptasi. Aku harus merubah total karakterku yang sewaktu SMA dianggap kurang tuff, kurang tangguh, suka panik, suka grogian, pemalu. kuper kaya bebek. Aku sering dibully teman SMA karena pemalu. terutama kalau lagi ngomong ama cewek, badan serasa lunglai.

Yang jelek harus dibuang ke Bantar Gebang. Keywordnya adalah: Initiatif, Komunikatif, Critical Thinking, Percaya Diri bahwa kita bisa; dan sedikit dibumbui gila bin sinting untuk bergaul di Ibukota Jakarta yang keras ini. Kita upgrade value yang positif, mental dan emosi yang progresif. Kita buka simpul cerdas untuk berjejaring, networking.

……………..Tahun 1997

Akhirnya aku diwisuda, hore jadi sarjana!

Aku baru lulus wisuda, dan ngotot mau meninggalkan Pemalang. Sebenernya bapak memintaku untuk mengabdi jadi PNS di Pemalang. Karena aku bersikeras pengen terbang meninggalkan Pemalang, akhirnya “jatah” kursi PNS diberikan ke keponakan bapak yang di Petarukan.

Dan almarhum ibuku bersabda:

“Tak ada cinta dalam kata Nak, tak ada juga cinta yang tak bermakna. Jangan menjadi bodoh dan lugu, karena hanya penyair yang bersedia berkorban kata demi menjaja asa”, kata almarhum Ibuku dahulu.
“Itu sebenarnya bukan harapan yang ingin kau raih nak !. Tak ada masa depan di sana, saat kau membiarkannya mengerak, dan membasah, melumuri semua hidupmu”; kata beliau

Hari semakin malam dan pekat, angin semilir masuk menusuk raga, ketika kami berbincang taman rumah.

”Kamu bisa meraih mimpimu, menjadi apa sahaja di sini, menjadi pegawai negeri seperti ayahmu, wartawan atau dokter itu sami mawon. Itu hanya masalah rasa, sama seperti ketika aku mengasihi dan menyayangi ayahmu. Aku akan merindukanmu”. Beliau kemudian melanjutkan:
“Tak ada asa dalam kata-kata yang dijajakan orang yang tak berupaya. Tak ada harapan dalam wadah orang yang tak berusaha. Tak ada asa dan harapan dalam kabar duka yang dibuat untuk menjadikannya dewasa”.

++++++++++

“Pergilah untuk masa depan dan raihlah mimpi mimpimu”.

tak lama kemudian petir menggelegar !!!

8a404325-6796-4df3-b8db-328aec45bbca

Akhirnya tak ada yang bisa membendung tekadku. Aku berangkat ke Ibukota seorang diri. Aku harus meninggalkan kota kecil Pemalang dengan segala peraduannya. Pemalang yang akan selalu kurindukan, kukangeni seumur hidupku.

Dari buram kaca Bis Sinar Jaya, kutatap Ibu yang mengantar kepergianku. Desir angin dingin yang menusuk tak berasa ketika kulihat mata yang berkaca kaca. Bibirku terkatup rapat. Tak ada verbal yang melantun, hanya sebuah trandensi lewat tatapan mata, seakan berujar; suatu saat aku akan pulang. Restui anakmu untuk meninggalkan kota ini.

P_20170505_080713_HDR

Pukul 8 malam, Bis Sinar Jaya melaju cepat meninggalkan hiruk terminal Pemalang. Kontras dengan pikiranku yang mengalir pelan seperti alur lukisan Salvador Dali.

Dalam hening perjalanan, tiba tiba alun lagu Bon Jovi, Never Say Goodbye memprovokasiku. Jangan pernah mengatakan selamat tinggal untuk Pemalang. Kau dan Aku dan teman teman lamaku, berpegangan tangan.

0

0 (1)

Kata orang; sejarah ini dibuat dan diceritakan oleh mereka yang menang sekaligus sakit jiwa, edan. Kemenangan mereka merupakan buah keegoisan justifikasi logika yang ajaib bin nyeleneh. Tak ada benar dan salah disana. Tak selamanya hitam putih yang harus dipilih untuk menuju pembabtisan kebesaran sebuah analisis hingga ternubuat kepercayaan.

Pun dengan sejarahku disini, saat ini….

Siangku selalu tak pernah melalui malam. Tak pernah masbroh..Tak mesti selalu kuikuti hukum semesta dengan segala isinya. Akan kuciptakan surga dari lempengan justifikasi logika absurd dunia dan isinya. Akan kubangun kesadaran diri dari susunan artefak yang kupulung sendiri. Biarlah, toh kita punya masa depan sendiri. Dan kuusir, kutikam serta kubunuh kau, mimpi mimpi yang tak membuatku belajar terbang di dalam taman yang telah kusediakan.

Kusadar, sekarang mimpi itu telah lenyap. Hilang menembus kelam

Tapi di sini, aku berdiri sendiri, di sebuah garden dengan rumah pohon dan gubuk kayu sebagai artefak. Prasasti yang akan menjadi risalah bahwa perjalananku menjadi manusia adalah bukan sebuah kesalahan yang tak akan kusesali bagaimanapun wujudnya.

Sebuah kisah yang akan selalu kuceritakan kepada anak cucuku kelak……

Tabik

Darubih: Gusti Allah Mboten Sare


50962009_10218327898371449_1040507577516949504_o

Kisah nyata 10 tahun yang lalu.

Suatu saat saya pernah satu keluarga jalan jalan ke Ciletuh Sukabumi. Perjalanan yang mengasyikan dengan pemandangan alam yang sangat indah. Anak anak riang gembira menikmati perjalanan ini. Serasa sebuah katarsis, pelarian dari sumpek dan macetnya Jakarta.

Sayang perjalanan yang mengasyikan tersebut, pulangnya dinodai dengan permasalahan pada Inova kami. Hari sudah gelap ketika kopling mobil terbakar di tanjakan. Yang jadi masalah, lokasi mogok di tempat sepi dan gelap, dengan sinyal hp yang mpot mpot an. Saya juga tidak punya saudara di Sukabumi. Nighmare dan mencekam.

Jangan panik dan tetap berpikir. Aku minggirkan mobil dan matikan mesin. Menurut teori, jika kopling terbakar karena jalan nanjak, istirahatkan mesin sekitar 30 menit. Anak dan istri biar tidur istirahat di mobil.

Setengah jam berlalu ketika mobil tetap tidak mau bergerak. Kopling sudah kena dan harus diganti. Dengan kondisi malem dan sepi, kiri kanan hamparan sawah, rasanya mustahil ada bengkel, bahkan orang yang lewat. Sial pula, gerimis mulai turun… Skenario terburuk, gpp tidur di mobil besok pagi pagi cari bengkel. Masalahnya, mungkin kalo sekedar gondoruwo liwat aku gak takut karena bisa lah baca surat Al Fatehah. Nah gimana kalo begal yang ngetuk pintu….

Pukul 22:00 malem pada titik puncak hopeless karena ngoprek mobil gak membawa hasil, tiba tiba dipikiran saya terlintas seorang tentara teman main di kampung Pemalang dulu.

Ya, namanya Darubih, bocah iwakan yang kecilnya dekil dan sering kubully dan kupiting sampai nangis, sekarang sudah jadi tentara kesatuan Kostrad. Saya bertemu dengan Darubih sekitar 3 bulan yang lalu. Darubih cerita, sampai sekarang masih dines di Sukabumi dan tinggal bersama keluarganya di daerah kotanya.

Tanpa berbasa basi, kuhubungi Darubih yang ternyata sudah tidur. Beruntung doskih mengangkat telpinku. Aku ceritakan kondisiku ke Darubih serta posisiku. Tanpa dinyana, jiwa korsa Darubih sebagai teman kampung, bergegas menolongku. Dia minta waktu ke aku, sekitar 3 jam tungguin ketempat bersama tool kopling dan mekanis tentara untuk menolongku.

Singkat cerita, berkat pertolongan Darubih, mobil bisa jalan setelah diganti kanvas koplingku. Ditengah hujan, saya mengucapkan terimakasih ke Darubih yang rela datang menolongku.

Ternyata jawaban Darubih mengejutkan.

” Yog, kita sebagai teman harus saling menolong. Aku juga berterima kasih ke Bapak kamu di Pemalang yang sudah memberikan jalan buat adiku jadi PNS di Pemalang “

Awalnya aku bingung ? Masa sih? kataku dalam hati. Oh aku baru inget. Dulu sebelum bapak pensiun dari kepala dpu seksi kota pemalang, dia pernah membuka lowongan kepada pemuda Pemalang yang mau bekerja di dinas kebersihan sampah. Gratis pemuda Pemalang khususnya banyak bocah Pemalang yang ndaftar, meski hanya lulusan smp. Siapa nyana 5 tahun kemudian setelah bapak pensiun ada kebijakan dari pemda Pemalang semua pekerja kebersihan diangkat jadi PNS tanpa tes. Artinya bapak yang membuka jalan pemuda tersebut. Dan rasa terimakasih mereka direpresentasikan tindakan Darubih yang menolong saya dengan ikhlas.

Kebaikan dan keiklasan bapak merekrut pemuda iwakan tanpa syarat, menolongku mengatasi masalah ditengah cuaca buruk. Gusti Allah mboten sare…

Yuk berbuat kebajikan buat sesama.

Sepur Trutuk Dalan Ngetan


Kalimat “Kereta Uap Berjalan Ke Timur” bisa jadi tidak bermakna apa apa; tapi tidak jika itu adalah sebuah PAROLE nya Ferdinand De Saussure. Jika kerangka referensi dan bidang pengalaman si pelontar pesan dan penerima pesan, berkesenjangan. Jaka sembung bawa golok, katanya.

Content is contex and contex is content. Isi teks harus sinkron dengan konteksnya, karena kata tak hadir di ruang hampa. Parole Sepur Trutuk Dalan Ngetan untuk konteks Pemalang adalah kalimat yang bersayap. Ada yang tersirat dibalik yang tersurat, karena ungkapan tersebut adalah ungkapan rahasia yang tidak bersifat universal. Intinya, untuk memahami tidak cukup mengerti konten, isinya, tapi juga konteksnya.

Dimana bumi dipijak, langitpun dijunjung. Nah jika anda pendatang yang belum mengetahui adat budaya lokal Pemalang, hati hati mengucapkan kalimat sepur trutuk dalan ngetan di daerah Pemalang perkotaan. Karena sebenarnya untuk konteks lokal Pemalang, kalimat tersebut tidaklah berdiri sendiri.

Itu yang dilakukan teman saya orang Jakarta yang baru tiba di Pemalang. Sebut saja dia dengan Budi.

Tetiba sampai di Pemalang, doski lapar, dan bertanya pada seorang gadis penunggu Jogja Mall:

“Mba, kamu tau istilah ” sepur trutuk jalan ngetan” ? Itu lokasinya dimana ya ?”

Maklum, doski sebelumnya menyangka arti sepur trutuk jalan ngetan ya restoran khas di Pemalang…

Si mba cantik bengong…secepat kilat..reflek menutup bagian bawah dengan tangannya.

Rooming…dasar Wanyaad

Ketika Wong Pemalang Mendefinisikan Wanyad


40685228_10156857263488900_3846846621836902400_n

Nongkrong dengan wong Pemalang di Cafe DJurnal  Grand Indonesia bareng: Agus Ahmad (Dosen UI dan US Embassy), Ritno Hendro (mantan Redaktur inilah.com), Sri Yanuarti ( peneliti LIPI), Robby Arya Brata ( Sekretariat Negara, calon ketua KPK), Hery Susyanto (Pengusaha Kulinaer Ayam Geprek), Winarto Rakhmat (Pengembang Property)

 

———

Saya lahir di kota kecil Pemalang di Jawa Tengah. TK sampai masa aqil balig SMA saya lalui disana. Ada kenangan menarik, masa muda dengan ikon lokal WANYAD SUJAPAR yang layaknya KURT COBAIN di Seattle jadi juru bicara gen Y lokal Pemalang saat itu.

Kenapa Wanyad dan Japar, orang2 yang nyleneh bin gendheng bisa hadir dalam soft politik lokal di Pemalang?

Jaqcues Lacan adalah filosof post strukturalis psikoanalis, yg seperti Freud, percaya dengan adanya fantasi. Fantasi hadir karena adanya rasa kehilangan. Ketika kita tidak mendapatkan sesuatu yang real, seseorang cenderung mengartikulasikannya dengan fantasi. Fantasi ini direpresentasikan dengan simbol, atau sign, atau penanda.

Misal, orang pemalang selalu merepresentasikan perilaku yg menyimpang dan negatif dengan simbol simbol tertentu. Dan sialnya Wanyad lah yang menjadi kambing hitamnya.

” Woi, kowen nyambut gawene sing bener sih, ojo kaya Wanyad…”, tutur wong pemalang jika mendapatkan perilaku koruptif di pemalang.

Atau…

” Song wowohi kae bocah urung tau disunati Japar”, …Japar direpresentasikan sebagai tukang sunat orang malas di pemalang.

Kenapa Wanyad dan Japar kemudian diartikulasikan simbolis sebagai perilaku koruptif atau negatif. Itu adalah reaksi dari ekspektasi bersama masyarakat pemalang yang mendambakan pemerintahan yg bersih dan transparan. Dan ketika masyarakat sering memergoki perilaku anomali inilah yang kemudian menimbulkan Fantasi.

Bagaimana caranya agar gak berfantasi? Lacan bilang, jangan kehilangan makna yang real, atau tidak menyimpang.

Artinya sampai kapan Wanyad dan Japar tidak hadir di arena soft politik Pemalang?

Sampai Godot yang di tunggu hadir di kota ini, kata Samuel Buckett

Robohnya Patung Kami


25299341_905119769663539_4253218342116914179_n

25353717_946273625525210_5122111430538217155_n

Akhir akhir ini kota Pemalang geger. Bermula dipostingnya foto foto dirubuhkannya patung Simbol Perjuangan di tengah alun alun kota Pemalang yang diganti oleh Patung buah Nanas. Seorang seniman Al Rashid mempostingnya di  FB nya dan kemudian menjadi Viral. Seiring dengan itu penolakan penggantian patung tersebut menjadi trending topik di grup FB tentang Pemalang, seperti Grup Kantor Berita Pemalang.

25152184_10214992139219555_2108469597758069530_n

Mayoritas pengguna  medsos umumnya menyayangkan Patung simbol perjuangan rakyat Pemalang yang mempunyai nilai historis harus dirobohkan dan digantikan oleh patung “tanpa roh” sebuah Nanas yang wujudnya pun kurang artistik.

” Tidak apa apa membuat patung Nanas, sebagai branding kota Pemalang yang menghasilkan komoditas Nanas, tapi alangkah eloknya juka ditempatkan di Belik sebagai sentra Nanasnya. Atau di wilayah tugu perbatasan seperti Kota Tegal yang menempakan Tugu Suttlecock di Perbatasan sebagai Branding” kata beberapa aktifis medsos.

Ya mencabut Patung Simbol perjuangan rakyat Pemalang yang terletak di tengah alun alun kota Pemalang, seperti mencerabut akar kesejarahan kota ini.

Seorang Sejarahwan Ali Syariati pernah bilang: ” Sejarah akan bermakna jika dia bermanfaat bagi sekarang dan yang akan datang “. Jelas patung pejuang ditengah alun alun Pemalang menyimbolkan semangat perjuangan dan kepantangmenyerahan para pejuang dalam melawan penjajah. Sarat nilai dan makna buat generasi muda Pemalang saat ini dan akan datang untuk mewarisi dan mengisi pembangunan Pemalang.

Akhirun kata, mengutip novel pemenang Pulitzer, Kite Runner karya Khaled Hoshaemi,

” Selalu ada jalan untuk berubah “.

Semoga pembangunan di kota ini tak hanya membangun komoditasnya semata, tapi juga spiritualitas yang berpondasikan  nilai nilai kesejarahannya.

Dekonstruksi Karnaval Wong Gunung


Sejarah perjalanan karnaval memperlihatkan pertautan dengan dimensi ruang yang melingkupinya.  Dalam acara kenegaraan, pada perayaan hari kemerdekaan 17 Agustus, Di Kota Pemalang selalu menyelenggarakan gelar budaya Nusantara (karnaval). Kegiatan ini selalu menampilkan bentuk-bentuk kesenian dan budaya dari setiap instansi di kota Pemalang. Biasanya Karnaval dimulai dari alun alun, memutar ke jalan A Yani kembali finish di depan Mesjid Pemalang.

Karnaval Agustus-an di Kota Pemalang memberikan suatu penanda sebuah kebebasan negeri atas represi lampau yang berbentuk imperialisme. Pada sebelum tahun 90-an masih banyak terlihat drama-drama yang memperlihatkan bambu runcing, tentara Belanda, dan pekik “merdeka”. Akan tetapi pada masa ini hal-hal semacam itu tidak lagi menjadi ikon dalam karnaval 17-an Agustus. Para peserta lebih banyak menyajikan bentuk-bentuk kesenian yang berupaya semakin memperlihatkan jatidiri tiap peserta karnaval.

 

Dekonstruksi Karnaval Wong Gunung Pulosari

Namun apa yang digagas dalam Karnaval Wong Gunung di Pulosari nampaknya lebih dari sekedar meneruskan sebuah karnaval yang menjadi tontonan repetitif di 17 san di kota Pemalang. Karnaval Wong Gunung Pulosari telah mendekonstruksi makna sebuah produk budaya lokal yang selama ini berpusat di Kota Pemalang berdeser ke desa gunung. Bagaimana tidak, Pulosari merepresentasikan wilayah terpencil di kaki gunung Slamet di Kecamatan paling ujung kota Pemalang. Perlu perjalanan 3 jam dari kota Pemalang ke Cikendung melalui rute berkelok menanjak. Pulosari, sebuah desa kecil yang secara simbolis membuat “budaya tanding” dalam konteks lokal.

Para peserta karnaval bukanlah para bintang dalam dunianya. Mereka orang kebanyakan yang tidak dibebani persyaratan-persyaratan cantik, putih, semampai, demikian pula tidak harus ganteng dan macho untuk yang lelaki. Siapapun bisa menjadi peragawati atau peragawan dan bebas berekspresi.  Karnaval tidak berkeinginan untuk menghadirkan sebuah kemegahan sebuah karnaval kebangsaan, atau juga bukan menjadikan karnaval sebagai bagian dari prosesi sakral keagamaan, akan tetapi lebih pada hiburan.

Karnaval Wong Gunung Pulosari menjadikan jalan desa sebagai catwalk adalah perlawanan atas kelaziman sebuah peragaan busana. Dalam rentang sejauh 1 kilometer peserta karnaval berjalan dengan pakaian bermotif hasil bumi gunung; aneka buah buahan dan sayuran. Mereka layaknya peragawati/peragawan yang berjalan di depan para penonton dari segala lapisan. Tidak ada batas umur maupun batasan sosial. Peristiwa fashion show menjadi milik masayarakat. Sebuah terobosan yang sangat dekonstruktif mengingat kebiasan peragaan busana biasanya menjadi milik kalangan tertentu.

13920865_10208785658872323_4019820504532832643_n14045622_10208785658272308_1561346458499153273_n14068202_10208785658632317_6892419886547003182_n14117744_10208785657072278_1351419165915319626_n

13939291_10208785657552290_5072682843766138102_n

Sumber dokumentasi: Andhika dari  Action For Pemalang

 

“Wet Dog” Jare Wong Pemalang


dog-96771_960_720
Sesuatu yang bertentangan dengan norma dan budaya lokal; tapi menjadi kebiasaan di derah tersebut.

Simbah Wikipedia menjabarkan Pisuhan sebagai pengungkapan rasa kesal terhadap sesuatu yang tidak memuaskan.

Ada yang menarik;  kenapa orang Pemalang lebih suka memilih kata Pisuhan “ASU” yang ditambahi dengan “TELES” ? Idiom yang dalam bahasa Indonesia berarti Anjing Basah. Kenapa tidak menggunakan idiom Kucing yang ditambahi Mandung; Atau Bebek Nunggging?? Atau Cecek Gempulung ??

Ada banyak teori yang bisa menjelaskan; salah satunya teorinya Mbah Japar. Doski berteori tentang terbitnya sebuah Pisuhan dalam sebuah struktur sosial. Menurutnya “Pisuhan” itu harus berkontradiktif ekstrim dari nilai masyarakatnya. Dalam hipotesa Japar; karakteristik masyarakat Pemalang adalah religius dan beragama.

Nah nilai nilai relijius sosial tadi kemudian coba dikonfrontasikan secara paradoksal; pada tingkat yang ekstrim untuk membully seseorang. Dan sialnya; Asu Teles (Anjing Basah) merepresentasikan binatang yang najis dan kotor….bukan semut; cicak atau kadal.

Najis berbasis pada suatu garis religius, dan tidak salah kalau “asu teles” dipilih sebagai simbolik kata kotor.

Misal…”asu teles koen kieh !!”
Ada hubungan kausalitas tentang pemilihan simbol “asu” dalam konteks religiusitas di Pemalang. Coba kita refleksi kembali dalam suatu legenda tanah jawa yang menceritakan bahwa kematian Syeikh Siti Jenar itu jasadnya berubah menjadi Asu? hal ini juga sebagai perlambang bahwa sesuatu yang dianggap tidak baik maka akan dilambangkan dengan kehadiran wujud simbol “Asu”.
Pisuhan berkembang karena kesepakatan budaya. Sudah menjadi turun temurun orang Pemalang misuh “asu teles.”..yang menjadi soal bukan mengapa itu tercipta, akan tetapi bagaimana misuh itu tidak menjadi kebiasaan. Karena sesungguhnya misuh bertentangan dengan norma, etika dan moral.

Ngromed Nyangkok Ndase…


SAM_2706

Ngobrol ngalor ngidul…tentang Pemalang…rasanya seperti nano nano atau seperti gambaran alun alun pemalang yang ruwed dan ribet….ana sing nglamun, sing nggendong anak, sing mangan, numpak motor, tergantung cara pandange dan ..tidak sesederhana yang dibayangkan…dumpaktintingjrot…he he he
Tapi kata orang juga, itulah seninya berinteraksi…

Kalo ini gak ada hubunganannya dengan proses diatas, (mbokan digenyemi Kaji Landung) cuma sedikit ngromed…..

Ada yang bilang, dan ini katanya paling murah, paling efisien; harus dimulai dari merubah cara pandang manusia manusianya dulu…he he he japar keles…,

Tapi merubah piye jal lah wonge wis ndaleg kah…jare uwong uwongw “aku kerjo dalam zona nyaman, aku all out atau biasa biasa yo koyo ngene kok he he he lah wong aku wis nyaman kok….arep semangat kerjo koprol tapi kayonge ana gajah nang ngarep lawang….

Toh di Pemalang katanya Mataharinya ada 2, entah terbitnya dari mana he he he (maksudnya ada juga toko matahari sing nang compo…)

So bukan hanya cara pandangnya yang diubah, tapi isi batok kepala manusianya yang diubah, tempolongnya sekalian yang dirubah… wkwkwk ngeweg…

Isi otak kepala manusianya yang harus diubah. Mengapa? Sebab kepala dan sekalian isinya (baca: otak atau pikiran) yang menentukan bagaimana cara pandang si manusianya. Umpama, jika si polan mau pintar. Cara paling mudah adalah mengubah isi kepala polan seperti isi kepala teman kita yang pintar. Atau istilah lainnya “gantilah” isi kepala si polan dengan kepala yang pintar. Karena dengan mengganti isi kepala itu, akan turut berganti dan berubah pula seluruh cara pandang dan semua karakter, perilaku dan kebiasaannya.

Tapi perlu diingat, perlu rujukan paradigma yang benar. Kalau tidak kepintaran atau kesuksesan yang dicapai sifatnya semu. Seolah-olah membawa kebahagiaan, namun sejatinya hanya fatamorgana. Di sinilah pentingnya paradigma yang menghindarkan manusia dari kesia-siaan. Menghindarkan dari kehidupan yang seolah-olah. Seakan-akan bahagia, namun jiwa senantiasa resah dan dahaga. Dalam keramaian namun merasa terasing. Dalam keberlimpahan tapi merasa tak berarti. Dalam hubungan sosial yang intens, tetapi semu dan janggal.

Kesemuanya kembali pada satu pertanyaan: untuk apa kita menjadi manusia? lebih jauh lagi, mengapa kita diciptakan?

Karena pertanyaannya demikian, tentu saja yang mampu dan berhak menjawab adalah Sang Maha Pencipta. Lalu di mana jawaban itu tertera? Tentu saja dalam kumpulan firman-firman Nya. Mari kita periksa !

Jangan Berhenti Berharap (Cikendung)


ckd14

Hanya pada trip dan wisata di desa lah, ternyata kita pelaku wisata mengetahui persis kemana uangnya dibelanjakan: ya benar langsung ke penduduk desa tersebut yang kita singgahi.

Sebaliknya bagi pemuda pemudi desa Cikendung ini tau betul bahwa geliat wisata desa (homestay) di desa mereka, tidak semata memberi harapan pendapatan langsung bagi warganya tapi ternyata membakar jiwa muda mereka utk mengangkat nama dan kebanggaan desanya… tidak aneh dijumpai bahu membahu mewujud mimpi bersama.
Mereka terus melengkapi amunisi daya tarik desa untuk terus kinclong, bertaring dan bertarik.

Curug Sahid dengan air bening yg mengalir halus akan menghapus kepenatan perjalanan sang pelancong dari Puncak Cikendung.. mas Seno dan mas Aris cikendung memang luar biasa, (photo photo dari muda mudi Cikendung)

ckd11

ckd3

Credit Pic for AfP team; Manifas Zubayr, Andhika R, Agus Supriyatno dkk

Silakupang; Sintren Lais dan Kuda Kepang di Pemalang


Dalam situs http://www.pekalongankab.go.id; Kesenian sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh masyarakat dan memiliki dua versi.

Versi pertama, berdasar pada legenda cerita percintaan Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (“sapu tangan”) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono.

Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami “trance” dan saat itu pula R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat sulasih “trance/kemasukan roh halus/kesurupan” ini yang disebut “Sintren”, dan pada saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai “balangan”. Dengan ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.

Versi kedua, sintren dilatar belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.

Tak lama terbetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup.

Karena kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.

Kesenian Sintren di Cikendung Pemalang

Silakupang merupakan kesenian khas dari Desa Cikendung, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang. Silakupang merupakan gabungan dari kesenian sintren, lais, dan kuda kepang. Gabungan kesenian yang dipentaskan dalam durasi 20 menit hingga 1 jam ini memiliki fungsi berbeda-beda. Sintren merupakan tarian ritual meminta hujan pada saat musim kering oleh masyarakat setempat, sementara kuda kepang adalah tarian perang prajurit berkuda. Lais sendiri, merupakan bentuk lain sintren karena ditarikan oleh laki-laki.

Narasi Sintren secara garis besar menceritakan kisah percintaan yang tidak direstui antara Sulasih dan Sulandana. Kemudian dalam narasi, Sulasih berpura-pura menjadi penari sintren agar mereka bisa bertemu dengan Sulandana. Akhir ceritera percintaan mereka happy ending, karena akhirnya mereka bersama.

Kesenian Silakupang tidak ditarikan secara soliter, tetapi berkelompok. Dalam sebuah grup Silakupang terdapat 25 orang, peran mereka dibagi menjadi penari, penggendhing (pemain musik), dan pawang. Rentang usia anggotanya pun beragam, dari pelajar SMP hingga orang dewasa. Para pemain biasanya mengenakan kostum berwarna kuning, merah, dan biru; dibedakan berdasarkan perannya. Penari kuntulan mengenakan sepatu dan kudung, sintren mengenakan kostum tayub dengan selendang, dan kuda kepang mengenakan celana, rompi, dan sandal karet.

Selain  menampilkan keajaiban pergantian kostum dan riasan pemain sintren dan lais, Silakupang juga menyuguhkan aksi-aksi yang cukup mendebarkan bagi penontonnya. Salah satunya ketika pawang memainkan cemeti untuk menyuruh penari kuda lumping bergerak bebas dan liar tanpa irama. Kini Sikupang menjadi kesenian yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang Desa Cikendung. Kesenian ini pun tidak hanya dipertunjukkan saat kemarau panjang, karena kini ia telah menjadi produk wisata Pemalang yang bisa ditampilkan kapan pun

 

sintren3

sintren1

sintren 2

 

AFP: Mencoba Membuat Jembatan Kebaikan


Action For Pemalang, Untuk Pemalang Lebih Baik

pemalang yanu

 

AWAL SEBUAH PERJALANAN PANJANG

Saya terpaksa harus mensitir teorinya Mbah Jenggot, tentang perlunya kemerdekaan dalam menuangkan ide ide dalam sebuah grup. Ketika dihadapkan pada pilihan mbangun deso, ada baiknya lebih dulu mengamini Mbah Jurgen Habermas dengan paradigma komunikasi nya dibanding Mark dengan paradigma kerja.

Suatu saat simbah pernah berujar, bahwa: maka yg dibutuhkan “peoples” sebetulnya bukanlah kerja tapi media aktualisasi karena kerja mengandaikan hubungan buruh-modal. Klo Capito-liberal majikannya modal, klo komunal-sosialis penguasanya buruh.

PostMo dengan teori kritisnya membuka tabir bahwa aktualisasi memiliki energi yg berlipat dibanding interaksi kerja. Komunikasi tanpa distorsi adalah kunci keberhasilan hubungan antar aktualitas yg disebut NETWORK dalam suatu komunitas. Jejaring partisipasif inilah yang coba dibangun untuk sekedar; ya minimal ngumpul dan ngariung dulu disini.

Kita tidak hendak ngomongin sesuatu yang berat-berat seperti teorinya si mbah jenggot tersebut. Tapi ada sesuatu yang sederhana yang bisa kita tangkap secara awam dari teori mbah tersebut. Dimulai dari kemerdekaan berkomunikasi guyup dalam grup kecil.

Grups whatsaps Action fo Pemalang adalah sebuah BRIDGING, JEMBATAN. Ia merupakan media komunikasi dalam membentuk NETWORKING, JEJARING PARTISIPATIF antar aktualita anggotannya dengan komunikasi tanpa distorsi.

Obrolan di grup whatsaps Pemalangku memang terkadang spontan, lucu, njapar bahkan terkadang saru,nyuwun ngapuntenipun dll, sesuatu yang terlihat renyah; yang kalau dibongkar justru obrolan yang lahir dari proses kemerdekaan berbicara terlepas dari penting tak penting, benar tak benar… yang pasti tanpa distorsi atau terhegemoni. Nah dari obrolan yang yang renyah; luged dan merdeka tanpa distorsi ini bisa muncul ide ide hebat dan brilyan …

 

 

Langkah pertama, mencoba mengumpulkan wong Pemalang yang mempunyai visi sama memajukan Pemalang ke dalam grups whatsapp Action For Pemalang. Grup bernuansa informal agar pembicaraan dan diskusi cair. Untuk hal yang lebih teknis dan serius, dibikin sub grup action. Anggota grup bermacam latar seperti Prof Edi, Dr Nuroji dari Undip, Dr Indah, Dr Zubeir dari IPB, Jendral Haryanto dll.

Nah berkaca dari teori Simbah Jurgen Habermas itu; AfP tidak terlalu terbebani dengan destinationnya, tapi perkuat jalur “journey”, perjalannya melalui strategi kegiatan yang efektif. Sehingga pertanyaan berat:  apa sih yang bisa dikontribusikan untuk kota kecil pemalangku? bisa dioperasionalkan dengan terukur dan efektif melalui strategi dan teamwork. Bagaimanapun obrolan ala Simbah Habermas tadi haruslah diartikulasikan jika tidak hanya sekedar wacana dan wacana.

Untuk memulai menjawab pertanyaan, diawali dengan pembentukan tim Adhock di pemalang yang digawangi Dr Aldian dari Worldbank, Dr Manifas Zubair  serta Dr Titien dari bappeda Pemalang.juga rapat.

Sementara pokja jakarta menggelar pertemuan pertama berkumpul di Pamulang; Copy darat di kediaman Mba Yanu yang Asri, seorang peneliti LIPI yang bersuamikan Mas Bambang Wisudo mantan wartawan senior Kompas. Pertemuan di Pamulang menghasilkan deklarasi Pamulang, sebuah upaya untuk memberi kontribusi positif buat Pemalang.

Beberapa wong Pemalang hadir (maaf tidak disebutkan semuanya yang diingat): Prof Sri Wilarso guru besar Kehutanan IPB; Anjang Bangun Prasetyo pejabat KKP, DR. Indah Wijayanti dosen peternakan IPB. DR. Robby Aryabrata dari SesKab, Andriyanto Johansyah Anggota DPR RI dari komisi 7, Prof Hery Susyanto, UEA, Kolonel Yuswandhi dari Kemenhan, Hanung Setyabisma, owner RM Layah Watoe dan rekan lintas angkatan, Titi W, Henk Hendarto Kepala Kejaksaan Wakatobi dll

 

Pertemuan di Pamulang  melahirkan Deklarasi Pamulang, tentang perlunya aksi dan pendampinya aksi buat Pemda untuk menjadikan Pemalang lebih baik.

Untuk lebih memfokuskan kegiatan AfP membentuk tim inti, tim kecil kesekretariatan yang dikomandani: Dr Anjang Bangun dari KKP, Hery Susyanto (UAE). Dr Manifas Zubeir (Kementrian Kehutanan), Dr Titin R dan Nuraji MM dari Bappeda, Dr Indah W (IPB), Titi W dan Andika (Trader Garment dan Penggiat Sosial). Hanungbayu MM (UI) Dr Aldian (Worldbank) Agus S (Manager di Kawan Lama Grup), Winarto (pengusaha property). Dyah Handa (Pengusaha Travel).

 

BUKAN SEKEDAR MIMPI DAN WACANA…ACTION FOR PEMALANG

Akhirnya jabang bayi itu lahir tanpa prosesi yang agung, tapi mengalir seperti tetesan embun yang tak terlalu mempedulikan asal usulnya; tapi berbuat dan berbagi dengan ikhlas tanpa pamrih untuk membangun kota ini. Action for Pemalang lahir dari kesadaran bersama akan pentingnya kebersamaan dalam membangun negeri.

AfP merupakan forum komunikasi yang beranggotakan masyarakat Pemalang
dari lintas geografis, profesi dan generasi yang berperan aktif mendukung program
pembangunan di Pemalang dengan cara menggalang kepedulian dan berkarya secara
nyata sesuai dengan bidang keahliannya, untuk mewujudkan Pemalang yang lebih baik. AfP bukan organisasi politik, bukan pula organisasi massa yang bertujaun mengumpulkan massa sebanyak mungkin dalam mencapai tujuannya. Basis AFP adalah gerakan moral untuk pemalang yang baik.

Ada 2 strategi yang dikembangkan oleh AfP mengkolaborasikan pendekatan Top To Down bekerjasama dengan Bappeda dan juga pengembangan dari bawah, penguatan komunitas masyarakat untuk mandiri membangun pemalang. Sementara fungsi AfP sebatas sebagai bridging, jembatan, untuk membantu Pemda membentuk jejaring dengan Pemerintahan Pusat serta menginisiasi program program percepatan tanpa pamrih dengan satu kepentingan untuk memajukan Pemalang.

Dalam hal ini, AfP berperan sebagai katalisator (inisiator, mediator dan pendamping) terhadap program terobosan yang akan dijalankan. Namun demikian SKPD harus menjadi leader di masyarakat.

Untuk mewujudkan hal diatas AfP menyerahkan blueprint roadmap terobosan REIKKA ke Bupati Pemalang.

afpmeeting

 

Ayo Aksi Nyata Yuk……AfP mencoba Membangun Jembatan Kebaikan

Ada program Jangka Pendek Menengah dan Panjang yang terpapar di Roadmap.  Ada beberapa program nyata jangka pendek yang dikembangkan oleh AfP, yang langsung dinikmati oleh masyarakat Pemalang. Intinya karena bagaimanapun AfP merupakan gerakan moral untuk Pemalang lebih baik, fokusnya pada pengkomunikasian simbol yang mudah ditangkap publik, menyebarkan virus positif semangat , optimisme , semua warga Pemalang untuk berbenah maju; tanpa melihat warna kulitnya; baju yang dipakainya dan juga tanpa embel embel politik dsb. Lupakan pilkada dan sebagainya.

Berbagi Kitab Suci dan Buku Untuk Masyarakat Pemalang

Spontanitas yang indah, Actions For Pemalang, bergerak dengan cepat menghimpun donatur baik pribadi atau siapapun yang tergerak untuk menyumbang Al Quran ke Mushola yang membutuhkan. Memang sudah ada program pemerintah berkaitan dengan hal tersebut. Tapi tujuan utamanya adalah untuk membangun solidaritas, kebersamaan, serta kepekaan terhadap sesama.

Dalam kurun 5 hari, terkumpul dari dana pribadi spontan Rp 10 juta yang dibelikan Al Quran dan didistribusikan ke mushola di pelosok yang membutuhkan. Beberapa Mushola di Nyamplungsari, Mushola Ulujami dan lainnya…Jangan lihat nominalnya, tapi spontanitasnya. Semoga bermanfaat Pak Ustad

AFP juga menghimpun gerakan literasi “berbagi buku untuk sesama”. Alhamdullilah, ribuan buku koleksi pribadi dibagikan untuk mereka yang membutuhkan di lereng gunung slamet. Sebuah buku mungkin tidak membuat kenyang, tapi 1 buah buku bisa membuat kita pintar….Melalui Pak Yanto, AfP juga mendistribusikan kartu KIP untuk siswa di Pemalang.

 

SOUNDBITE ITU BERKODE:  CIKENDUNG !

Tanpa mengurangi penghargaan terhadap semua pihak yang sebelumnya sudah lebih dulu bergerak mengembangkan wisata di Pemalang, AfP menggunakan strategi penciptakan “ledakan soundbite” dengan merevitalisasi kampanye travel addict di desa ikonic CIKENDUNG. Program kecil tapi berdampak besar, penciptaan sounbite TRAVEL ADDICT, penciptaan virus ekspose tentang potensi pariwisata Pemalang dengan mengundang Media Massa nasional dan jaringan medsos secara masif. AfP mengundang Bupati Pemalang dan Jajakan SKPD untuk mengadakan Press Con dengan Media Nasional di desa Ikonic Cikendung.

Langkah konkrit yang dilakukan AfP diantaranya adalah menyelenggarakan paket wisata
Homestay di Cikendung 25 – 27 Maret 2016”. Dengan kegiatan ini wisatawan dapat tinggal di home stay dan merasakan kehidupan di desa atau live in. Konsep homestay di Cikendung ini, menawarkan konsep wisata keliling desa, melihat kehidupan masyarakat desa dan pengalaman hidup di desa.
Selain itu AfP juga memberikan pendampingan berbentuk promosi wisata dan juga fasilitasi untuk mengemas paket- paket wisata. Promosi objek- objek wisata yang digencarkan AfP menggunakan media sosial dan juga famlet dan kalender dengan jangkauan luas dan melibatkan berbagai komunitas. Diharapkan dengan pendampingan tersebut seluruh komponen masyarakat Desa Cikendung dapat mengembangkan potensi pariwisata desanya dan selanjutnya dapat membuka peluang usaha dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat.
Dengan promosi berupa leaflet, kalender serta souvenir tentang unsur-unsur keaslian produk wisata Desa Cikendung seperti keorisinalan pola hidup masyarakatnya, keunikan, ciri khas budaya lokal dan perilaku, integritas, dan keramah tamahan, semoga Desa Cikendung akan bisa menjadi salah satu destinasi wisata unggulan yang akan menambah khasanah pariwisata di Jawa Tengah pada umumnya dan di Kabupaten Pemalang pada khususnya

AfP silakupang

AfP mesranya Tio n Jun

AfP pasca audiensi bupati

afpafp2

 

 

STRATEGI BERSINERGI DENGAN PEMERINTAHAN DAERAH

Dalam waktu dekat AfP bekerjasama dengan Bappeda akan mengadakan Seminar yang akan dihadiri narasumber nasional maupun lokal terkait output terobosan yang akan digolkan. Selain itu rencananya akan diadakan pentas budaya Pemalang.

AfP musrembang sekda2

Afp musrembang sekda

AfP meeting dengan dinas pertanian dan kehutanan.

 

AfP bekerjasama dengan Bapeda menyelennggarakann Seminar Nasionnal, Desa Inovatif mengundang 4 Dirjen turun gunung ke Pemalang.

seminar 4

seminar 5

seminar 6

seminar 7

seminar 8

seminar 10

seminar

seminar2

seminar3

“IKHLAS”


Tagline Ikhlas sedang ramai dibahas di Pemalang. Di medsos ramai terkait motto akronim IKHLAS di kota ini. Saya mencoba mengupas dari sisi lain, sisi subtansi makna keikhlasannya, daripada sekedar sebuah akronim.

Tapi ada yang menarik jika kita mengoprek pendekatan “IKHLAS” ini dari sisi the other side nya. Kerangka berpikirnya seperti ini; keikhlasan bisa jadi merupakan antitesis dari kondisi yang membosankan dan menjenuhkan. Apakah simbolik frasa IKHLAS dalam konteks kota Pemalang sengaja diarahkan kesana? Mari kita bongkar alur pikiran logisnya.

Banyak yang bilang; katanya kehidupan keseharian kita telah berpola?, dirancang oleh sebuah konstruksi atau sistem besar yang secara tidak disadari akan selalu menjadikan kita ter pola, bahkan untuk satu pemberontakan akan keseharian sekali pun ( Tahu kan maksud saya sistem besar yang memola ini; ya bisa ideologi; sistem nilai dll). Dari mulai bangun tidur; mandi; beribadah; ngopi; berangkat kerja; beraktifitas; pulang kerja; bercengkerama dengan keluarga; nonton tv; ngantuk dus tidur lagi pun merupakan kegiatan repetisi yang berulang.

Kalaulah kemudian kita bedah satu persatu; seperti menuntut ilmu dan penerapan disiplin ilmu itu sendiri untuk keseharian dan kerja, baik untuk di kantor atau menetapkan menjadi seniman, atau bahkan tetap memilih bekerja serabutan dan tidak terjadwal tetap saja hal hal ini membuat kurang sadarnya kita akan pola keseharian yang sebenarnya sangat membosankan!

Satu pertanyaan usil lagi, apakah menuntut ilmu yang sempurna dan setinggi tingginya (secara akademis!) akan membuat kita menerapkan disiplin ilmu itu untuk metode keseharian dan kinerja kita atau hanya penambah gengsi dan status?

Terutama untuk honor kerja dan jerih payah, terus apakah timbal baliknya untuk keberadaan kita, pujian, applause!, kenaikan honor, pangkat dan jabatan, gelar kehormatan, pengakuan publik, ataukah bentuk sosialisasi lain ??? Kemudian kita pun menikmati nya. Jadwal keseharian yang terpola dan ter struktur atau tidaknya dan kemudian ter kolaborasi dengan mimpi, imajinasi, khayalan; serta harapan dan hasrat yang mungkin sudah ditawarkan dengan sempurna langsung ke ruang tidur kita, ruang bobok kita; adakah berapa dalam yang telah kita teguk dan rasakan?

Pola-pola baru yang tercipta dari penikmatan kebosanan dan kejenuhan ini akhirnya menciptakan suatu bentuk kolaborasi yang tetap serta menimbulkan pertanyaan dan pernyataan baru untuk dibicarakan dan disepakati. Karena perubahan yang terjadi oleh suatu kondisi dan lingkungan yang selalu menyertai dan mengelilingi pola kebiasaan harian yang sudah terbentuk dengan baik secara normal-abnormal, akan membentuk kebiasaan baru yang ter kondisi sekaligus menambah bentuk kebosanan lain yang pada akhirnya akan dinikmati dan ter alami secara tidak sadar,

and PAUSE!…

Klik klok klik klok klik klok klik kok…mirip dentingan jarum jam….

Menunggu eksekusi, lantas’ siapakah yang menemani tubuh kita; yang membelai raga kita dalam menjalani kehidupan ini? Apakah seperti bisikan dari Sidmund Freuds; rengkuhan istri dan keluarga yang ter sayang dan terkasih?; ataukah imajinasi atau khayalan dengan segala pemabukannya? Mimpi serta fantasi dan eksplorasi sensual akan efek stimulan lawan jenis-sejenis? honor dan pekerjaannya? gengsi akan popularitas? Ketakutan akan sosialisasi dan bentuk kolaborasi individu hidup lain? Status kah? adalah sesuatu yang menembus batas; yang menusuk jauh ke dalam relung relung kepribadian kita. Yang selalu hadir dengan setia; ada serta mengada; di sekeliling kita pada saat HI and LOW-nya.

Adalah TUHAN dan dzat-Nya, Allah yang maha Esa yang menjadi acuan serta referensi yang kita rengkuh dari bunga rampai perjalanan hidup kita. Dialah jawaban dari segala pertanyaan tentang kebosanan serta kejenuhan duniawi. Senantiasa berkencan dan beribadah karena Nya; mengagungkan Asma Nya’ serta mengamalkan segala amal kebajikan dan kebaikan terhadap sesama dengan penuh kedamaian. kebosanan serta kejenuhan adalah perjalanan; maka jadikan kesabaran; keikhlasan; kelapangan hati dan ketabahan sebagai kendaraannya.

Satu kata kecil itu adalah “IKHLAS”.

Pada akhirnya; tanpa kelapangan hati; tanpa keikhlasan; tanpa kejujuran; tanpa kerendahan serta tanpa keimanan terhadap Nya; DIA lah yang maha Kuasa; tetap saja bentuk kehidupan dan lingkungan yang menyertainya akan selalu membosankan dan mungkin perjalanan ke arah kematian pun semakin menjemukan.

Mungkin itu filosofi ikon Pemalang Ikhlas yang sebenarnya daripada akronim yang sering dipajang di kota itu.

Amazing Cikendung Pemalang


Kota Pemalang punya keindahan alam yang luar biasa yang melekat pada panorama alam desa Cikendung di lereng Gunung Slamet. Berjarak 45 km ke arah selatan dari ibukota Kabupaten Pemalang, Desa ini memiliki luas 700 Ha dan 40 Ha areal hutan. Berada pada ketinggian 600 mdpl, sungguh desa ini menyajikan sebuah pemandangan alam yang indah dan asri.

Lanskap yang disuguhkan di desa wisata Cikendung Pulosari seakan  tak berujung, mulai dari hamparan luas kebun teh, deretan pegunungan dengan hutan pinus dan pemandangan sawah yang menakjubkan.

Selain menyuguhkan panorama yang indah, di desa Cikendung kita juga bisa menikmati Sintren Gunung yang diiringi tabuhan gamelan jernih menembus malam, dalam kabut dupan yg semerbak. Alunan nyanyi panggilan datar sarat makna, mengalun bersama gerak sang Sintren. Tradsisi kliwonan dan ruwat bumi, serta suguhan makanan khas daerah pegunungan yang nikmat.

Berikut panorama indah Desa Cikendung Pulosari Pemalang:

cikendung view 6

cikendung view 2

cikendung view 3

cikendung view 4

cikendung view 5

cikendung view 7

cikendung makanan 4

cikendung makanan 2

cikendung makanan 1

cikendung makanan 3

cikendung sintren 3

cikendung sintren

cikendung sintren2

Pemalang Punya Dialek Sendiri


ngromed

Salah satu yang unik dari Pemalang, sebuah Kota kecil di kawasan Pantura antara Tegal dan Pekalongan ini adalah dialek (tutur) bahasa masyarakatnya yang berbeda-beda.

Karena wilayahnya yang strategis maka bahasa yang dipakai masyarakatnya pun mengalami berbagai perkembangan seiring dengan pengaruh-pengaruh bahasa lain yang masuk secara cepat. Oleh karena itu, meskipun dalam satu wilayah sama, kabupaten Pemalang memiliki 4 (empat) versi dialek bahasa yang berbeda.

Tapi sebelum kita mengupas lebih jauh, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu bahasa apa saja yang berkembang di daerah Jawa Tengah.

Menurut Mbah Wiki (wikipedia), meskipun Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi, umumnya sebagian besar masyarakat Jawa Tengah menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari. Bahasa Jawa Dialek Solo-Jogja dianggap sebagai Bahasa Jawa Standar.

Di samping itu terdapat sejumlah dialek Bahasa Jawa; secara umum dikelompokkan menjadi 2 dialek bahasa yaitu Bahasa Jawa Kulonan dan Timuran.

Kulonan dituturkan di bagian barat Jawa Tengah, terdiri atas Dialek Banyumasan dan Dialek Tegal; dialek ini memiliki pengucapan yang cukup berbeda dengan Bahasa Jawa Standar. Sedang Timurandituturkan di bagian timur Jawa Tengah, di antaranya terdiri atas Dialek Solo, Dialek Semarang.

Di antara perbatasan kedua dialek tersebut, dituturkan Bahasa Jawa dengan campuran kedua dialek; daerah tersebut di antaranya adalah Pekalongan dan Kedu.

Di wilayah-wilayah berpopulasi Sunda, yaitu di kabupaten Brebes bagian selatan, dan kabupaten Cilacap utara sekitar kecamatan Dayeuhluhur, orang Sunda masih menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-harinya.

Berikut ini merupakan berbagai macam dialek yang terdapat di Jawa Tengah :

dialek Pekalongan
dialek Kedu
dialek Bagelen
dialek Semarang
dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
dialek Blora
dialek Surakarta
dialek Yogyakarta
dialek Madiun
dialek Banyumasan (Ngapak)
dialek Tegal-Brebes

Lah, terus PEMALANG ikutnya dialek mana nih?

Nah, ini dia salah satu yang menarik dari Dialek bahasa yang ada di Pemalang. Seperti yang telah di sebutkan pada awal postingan di atas, bahwa Pemalang ini mempunyai letak yang sangat strategis, artinya berada di antara pertemuan 3 dialek bahasa, yaitu dialek Pekalongan, dialek Tegal-Brebes dan dialek Banyumasan.

Sesuai dengan letak penyebaran dialek bahasanya, berikut ini adalah peta batas (gak tau lah apa namanya) dialek bahasa yang berkembang di Pemalang:

Dialek Pekalongan, berkembang di daerah timur Kab. Pemalang, seperti: Petarukan, Comal, Ulujami, Ampelgading, Bodeh dan sekitarnya. Bahkan ada sebagian masyarakat di daerah Taman seperti : Banjardawa, Jebed, Sokowangi dan sekitarnya yang masih ‘berbau’ dialek Pekalongan ini.

Dialek Tegal-Brebes, berkembang di daerah barat Kab. Pemalang, seperti: Taman dan Pemalang Kota.

Dialek Banyumasan (ngapak), berkembang di daerah selatan Kab. Pemalang, seperti: sebagian Bantarbolang, sebagian Randudongkal, Watukumpul, Moga, Belik, Pulosari, Warungpring dan sekitarnya.

Sebenarnya jika kita mendengarkan cara berbicara masyarakatnya dengan seksama, ada perbedaan dengan ketiga dialek di atas, artinya tidak sama persis. Tapi ya memang mirip-mirip gitulah. hehe…

Oya, ada satu lagi dialek khas Pemalang yang berkembang sebagai bahasa sehari-hari. Nama dialeknya apa yah? Saya juga tidak tahu, tapi biar gampang ya sebut saja Dialek Pemalangan. Dialek ini mempunyai logat yang tidak mirip dengan ketiga dialek yang sudah disebutkan di atas, dikatakan campuran (gabungan) pun tidak. Malah lebih mirip bahasa melayu deh kayaknya… hahaha… dan dialek ini berkembang di sebagian daerah Pemalang bagian barat (Mulyoharjo, Wanarejan, Pelutan, Bojongbata dan sekitarnya). Juga di Pemalang bagian selatan, seperti sebagian Bantarbolang dan sebagian Randudongkal.

4 Versi dialek bahasa sudah disebutkan di atas. Agar lebih mudah untuk membedakannya, berikut ini saya berikan contohnya:

Versi Bahasa Indonesia:
………………………………..

“Apa kabar? Kapan datang dari Jakarta? Sekarang kerja dimana? Sudah Berkeluarga?”

Jawabannya:
…………………

>> Versi Dialek Pekalongan:

”Kabar ku apik oo, aku bali ngumah wis suwi, saiki paling nganggur tok ning umah, aku durung mbojo, lah kowe sih priye? wis mbojo ooo? mestine ooo?”

(ciri khasnya kebanyakan pake ooooo… ) ^_^v

>> Versi Dialek Tegal-Brebes:

”Kabare nyong apik jon, nyong nang umah wis suwe kaaa… saiki biasa keh lagi nganggur tok nang umah, nyong gurung mbojo, lah ente primen jon? uwis bojo rung? loken urung?”

(ciri khasnya pake jon sama ente….) ^_^v

>> Versi Dialek Banyumasan:

”Kabare nyong ya apik rah, nyong nang umah tah wis suwe… saiki biasa rah paling ya nganggur nang umah, nyong urung mbojo kiye, lah koen priben? wis bojo? loke urung?”

(ciri khasnya ‘koen’ sama ‘rah’) ^_^v

>> Versi Dialek Pemalangan:

”Kabare aku apik reh yak, aku nang umah tah wis suwe… saiki biasa reh paling ye nganggur nang umah, aku urung mbojo, lah kowen primen? wis mbojo ye? masa urung mbojo seh?”

(ciri khasnya ada beberapa kata yang vokalnya ‘a’ berubah menjadi ‘e’ : ‘eu’, padahal biasanya kalo bahasa jawa kan berubahnya jadi ‘o’. misalnya, ‘iye’ (dibaca: iyeu) artinya ‘iya’, mangan ‘sege’ (dibaca: seugeu) artinya makan nasi, yang lain lagi misalnya surabaya jadi dibaca surebeye (sureubeuyeu) hahaha… entah mengapa bisa seperti itu, tapi memang sungguh unik.) ^_^v
Yaaaa… kira-kira begitulah. hehe. Mohon maaf kalo ada yang salah ya, anggap aja itu hanyalah sedikit pendapat dari saya yang bodoh ini.

NB: Tulisan ini hanyalah sebuah pendapat, dari pengamatan dan pengalaman yang saya dapat. Jangan terlalu berlebihan dengan menganggapnya sebagai hasil penelitian apalagi sebuah karya ilmiah…
______________

Japarisme di Pemalang, Antara Perlawanan Simbolis Ataukah Sekedar Ingin Tampil Beda.


Grungestyle

Ini bukan artikel serius; mohon dibaca tanpa mengernyitkan dahi…

 

Saya menggunakan konteks ikon lokal Pemalang, Japar sekedar untuk membangun jembatan memori dari gaya berpakaian dan berbusana si Japar, bukan pada atribut lainnya yang melekat.

Kenapa Japar dan Siapa Japar? Japar bak selebritis Pemalang di era 90 an. Namanya terkenal diseantero Pemalang. Selain itu, Japar adalah pengusung mede grunge. Apa itu Grunge?

Dalam wikipedia, Grunge adalah sebuah sub genre dari rock alternatif yang muncul pada pertengahan 1980-an di negara Amerika Washington, khususnya di wilayah Seattle. Terinspirasi oleh punk rock, heavy metal danindie rock, grunge umumnya dikenali melalui suara distorsi gitar yang berat dan lirik melankonis atau apatistik.Grunge bercirikan clana belel, bolong di dengkulnya.

Japar dan Juru bicara Kaum Grunge di Jalanan Pemalang

Terinspirasi grunge,si Japar bermode kaos oblong belel dengan syal warna warni buluk, bercelana robek di dengkul, bersepatu boot dan berhelm proyek., itulah deskriptif si Japar. Siapa yang akan membantah kehadiran si Japar di panggung jalanan kota Pemalang ? kita kupas dalam perspektif lokal culture of study di Pemalang.

Rangkaian jembatan tersebut, bagaikan dejavu, sesaat, ketika lebaran kemarin mudik ke Pemalang. Betapa tidak, saya juga menemukan fenomena identik, banyak bergerombol muda mude bergaya grunge di pojok jalanan Pemalang. Dengan kaos oblong dan sandal jepit sebagai penanda simbol, dan mereka hadir di setiap sudut kota. Merangsang batok kepala kita untuk sekedar mengupasnya. Apakah ini hanya sekedar trend, kecenderungan untuk tampil berbeda ataukah ada sedikit perlawanan simbolis dalam konteks politik lokal anti kemapanan?

Atau nggak lah mungkin kedengarannya kelewat lebay, tapi yang namanya perlawanan simbolis, penanda konteknya lebih soft, tapi terhadap apa dan siapa?

Antariksa, seorang peneliti culture of study, mencoba menghubungkan teori kaos oblong; celana dekil dengan ekspresi kebebasan. Kaos tadinya dipakai untuk pakaian dalam. Celana juga lebih formal. Fungsi kaos dan jeans sebagai pakaian luar baru bisa tersebar ke seluruh dunia tatkala John Wayne, Marlon Brando, dan James Dean—melalui film-film yang mereka bintangi—mengenakan kaos dan jeans sebagai pakaian luar. Itu terjadi pada tahun 1950-an.

Tapi bukan berarti setelah mereka mengenakan kaos dan jeans sebagai pakaian luar, dunia segera merubah pikirannya. Pada tahun-tahun itu, konvensi mode dunia masih beranggapan bahwa kaos tetap merupakan “pakaian dalam”. Titik.

Oleh karenanya, mengenakan kaos dan celana jeans, ditilik dari konvensi mode dunia kala itu, adalah sesuatu yang “unfashion”.

Nah, justru konvensi macam inilah yang melambungkan politik identitas kaos oblong bulukan.

Seperti yang awalnya dipakai para generasi peneris Japar dan berlanjut sampai saat ini.

Konteks Perlawanan Budaya Masyarakat Pemalang.

Ali Surahman, 2015 dalam kajiannya mengemukakan stuktur masyarakat di Pemalang yang ibarat Jam Pasir. Klas menengahnya, sebagai pengusung perubahan kosong, kalaupun ada cenderung diam. Banyak faktor yang mempengaruhi fenomena ini: Selain karena sektor riil di Pemalang yang mandek, proses urbanisasi dipercepat karena core perekonomian pertanian dan perikanan nelayan yang menjadi basis inti, dianggap kurang memberikan insentif yang memadai. gejolak harga komoditas pertanian yang murah sangat memukul petani.

Tak heran terjadi eksodus muda pergi merantau keluar kota, khususnya ke Jakarta untuk berdagang bubur ayam, mie ayam dan lainnya karena ketiadaan lapangan pekerjaan di Pemalang. Sementara struktur piramida puncak yang tumpul didudukan para birokrat, Pegawai Negeri Sipil (sektor swasta di Pemalang kurang berkembang, sector riil mandek). Mereka yang diatas dengan zona nyaman dan status quo nya.

Dalam konteks lokal Pemalang? “Perlawanan” halus ini yang menentang kebuntuan, kemampetan dalam berekspresi karena kurangnya dukungan dari pemerintah daerah. Pendek kata perlawanan terhadap kelas mapan dominan birokrasi dan “the have” oleh klas menengah muda yang menuntut perubahan.

“Kelompok-kelompok anak muda pemberontak” inipun kemudian  mengadopsi kaos butut dan celana belel sebagai bagian dari identitas diri mereka. Sebagai anak-anak muda yang mengangankan diri mereka menjadi orang yang keluar dari norma sosial yang ada. Sejumlah kelompok kemudian ramai-ramai mengenakan kaos dan celanan yang disobek lengan dan lututnya bolong—sebagai sebentuk penolakan sekaligus resistensi terhadap konvensi penolakan terhadap kemapanan dan dominasi tadi.

Di sinilah “rekam jajak” soal ketegangan itu terlihat. Ketika sejumlah anak muda yang menolak konvensi  lokal, ramai-ramai memakai atribut kaos dan celena jean, sandal jepit ala Japar, mereka pada dasarnya sedang melakukan “pembebasan”, merayakan “otonomi” mereka atas tubuh dan gaya pakaian mereka sendiri. Simbolis yang ingin dikomunikasikan ke publik adalah perayaan terhadap kebebasan berekspresi tanpa terhegemoni klas.

kaos-tahun-depan-ke-pemalang-2559326

Tapi ada yang menarik disini; Pertanyaannya apakah gerakan sosial dalam berbusana kaos oblong, celana belel dan sandal jepit di kalangan anak anak muda Pemalang merupakan bentuk perlawanan simbolis terhadap dominasi politik lokal ataukah hanya sekedar memerankan tampilan yang beda???

Bisa ya bisa tidak….perlawanan simbolis pun pada akhirnya hanya perlawanan semu yang menyasar dirinya sendiri…

Dan ada yang tidak disadarai oleh mereka, dan ini kemudian menjadi lucu…”perlawanan tersebut secara tak sadar kemudian dikomodifikasikan oleh mereka sendiri….toh di Pemalang sekarang marak distro distro, pernik pernik asesoris mode yang dikenakannya. Singkat kata …perlawanan tersebut akhirnya terkooptasi oleh belalai ideologi besar yang dilawannya.

Mereka mungkin bisu dan tak sadar, bahwa perlawanan senyap mereka pada akhirnya mengarah ke jiwa mereka sendiri..

Ayo takon karo Japar he he he

Matinya Dolanan Masa Kecil Kami…Dam Daman dan Macan macanan


Tulisan ini diambil dari fesbuknya Mas Noersomadi

Sewaktu kecil di Pemalang, kita sering main Dam daman atau macan macanan. Permainan ini biasanya dilakukan menjelang buka puasa, sebagai bentuk ngabuburit di jaman itu. Dam daman atau macan macanan merupakan dolanan olah otak yang merupakan varian catur sederhana. Pola permainan biasananya digambar menggunakan kapur, tau arang hitam, sementara bidaknya menggunakan batu kerikil atau serpihan batu bata.

Sayang sekali kedua dolanan tersebut sekarang punah klah bersaing dengan Play Station atau mainan game di Android atau Ipad. Untuk mengenang kembali kejayaan dolanan dam daman dan macan macanan, berikut akan diberikan ulasan singkatnya.

1. DAM-DAMAN

dam daman1
Golnya adalah bagaimana membuat salah satu atau semua bidak kita (10 buah) mencapai DAM (titik pojok area lawan). Jika bidak mencapai titik pojok area lawan, maka ia dapat bebas bergerak satu, dua, atau empat lompatan guna melompati bidak lawan sehingga jumlah bidak lawan berkurang dan sampai habis.
Bidak yang belum mencapai titik pojok hanya bisa bergerak satu lompatan.
Tips : strategi permainan ini terkadang memerlukan “pengorbanan” untuk mencapai titik pojok area lawan.

2. MACAN-MACANAN

dam daman 2
Disebut “macan-macanan” karena diasumsikan bidak yang besar dipegang oleh lawan adalah sebagai macan/harimau yang siap memangsa pasukan. Jumlah pasukan yang siap di tempat pada awal permainan adalah 9 orang. sedangkan yang menunggu/siap menempati posisi lain sebanyak 12 orang (total 21 orang).
Golnya adalah bagaimana menggiring “macan” agar tidak punya titik untuk bergerak. Artinya, bagaimana pasukan-pasukan tersebut dapat menggiring “macan” bisa ke kandangnya (bentuk segitiga) atau ke titik-titik lain.
Si “macan” bisa memangsa satu atau tiga sekaligus pasukan yang berada di depannya jika tidak ada pasukan lain yang melindungi di belakangnya. Akan tetapi, si “macan” tidak bisa melompati dua pasukan di depannya.
Catatan : diperlukan minimal 10-12 orang pasukan untuk menggiring “macan”. Artinya, jika dari 21 orang sudah termangsa 12 orang oleh “macan”, maka si “macan” dinyatakan menang.

Etnis Arab di Pemalang dan Pengaruhnya Terhadap Kebudayaan Lokal


Bangsa Arab merupakan bangsa penjelajah, terbukti dengan dijumpainya berbagai kelompok etnis Arab di hampir seluruh benua di berbagai belahan dunia mulai dari Eropa, Asia, Amerika, Afrika dan Australia.

Kedatangan bangsa Arab ke Indonesia pertama kali dimulai pada sekitar abad 7 Masehi atas maksud berdagang dan syiar Islam. Bangsa Arab datang secara bergelombang, mereka umumnya menempati daerah pesisir-pesisir pantai dan pelabuhan-pelabuhan strategis seperti Aceh, Sunda Kelapa, Surabaya, Ujung Pandang, Ternate, dan lain-lain. Seperti halnya daerah pesisir pantai lainya, pantai utara Jawa di daerah karesidenan Pekalongan khususnya di kabupaten Pemalang yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa juga tedapat kelompok pendatang etnis Arab yang bermukim di wilayah tersebut. Mereka membawa kebudayaan-kebudayaan yang mereka punyai ke wilayah yang mereka singgahi itu.

Menurut koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri dengan belajar. Perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut oleh Herskovits sebagai superorganic.

Apakah akibat dari pengaruh kebudayaan asing yang dibawa oleh etnis Arab terhadap kebudayan di Pemalang?

Secara administratif, kabupaten Pemalang termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Seperti wilayah Jawa pada umumnya, Penduduk pribumi Pemalang adalah etnis Jawa. Akan tetapi kenyataanya ada sebagian penduduk di kabupaten ini yang bukan termasuk etnis Jawa dan seringkali dijumpai etnis Arab mendiami wilayah tersebut dan sudah menjadi warga Pemalang. Hal ini menujukan bahwa bangsa Arab sudah lama memasuki wilayah itu.
Fakta yang dapat ditemukan adalah adanya pemukiman etnis Arab yang berlokasi di desa Mulyoharjo, kecamatan Pemalang dan di desa Banyumudal, kecamatan Moga, karena banyaknya etnis arab yang bermukim di wilayah tersebut sehingga wilayah tersebut dinamakan “Kampung Arab”. Di Pemalang, etnis Arab membentuk kolompok-kelompok berdasarkan hubungan familistik. Mereka menyebutnya dengan kata ‘fam’ (keluarga). Ada dua golongan besar yang mengklasifikasikan fam-fam tersebut, yaitu kelompok “Syeh” dan “Habaib”. Dari dua golongan itu dapat diuraikan beberapa fam, yang dapat melacak asal-usul nenek moyang mereka. fam-fam yang berasal dari golongan “Syeh” berasal dari negara Yaman, seperti fam dari Bin Sanad, bin Basunbul, bin An-Nahdi, bin Yazidi, bin Al-Khatiri, dan bin Niswir, sedangkan fam-fam yang berasal dari golongan “Habaib” menganggap diri mereka adalah keturunan Rasulullah dari Siti Fatimah, mereka berasal dari Iran dan Iraq, fam-fam tersebut adalah fam bin Alatas, bin Assegaf, bin Baalwi.

Etnis Arab di Pemalang membentuk kelompok dan bermukim di wilayah yang sama. Etnis Arab di Pemalang hanya mendiami wilayah perkotaan di kabupaten itu dan hampir tidak ditemui etnis Arab yang bermukim di wilayah pedesaan. Mereka umumnya mencari nafkah dengan cara berdagang, sebagain besar dari mereka membuka toko seperti mebel dan menjadi sangat familiar bahwa umumnya toko-toko mebel yang terkenal di Pemalang dimiliki oleh etnis Arab. jarang sekali dijumpai mereka bertani ataupun beternak. Etnis Jawa di Pemalang sebagian besar diantaranya bertani dan sebagian lainya menjadi pegawai swasta dan tidak jarang mereka menjadi pegawai negeri baik militer maupun sipil. Hampir tidak pernah dijumpai adanya etnis Arab yang menjadi pegawai negeri.

Kebudayaan Etnis Arab di Pemalang yang bisa dilihat adalah adanya tradisi ‘mauludan’ dan ‘syawalan’. Mauludan yaitu ritual memperingati kelahiran Rasulullah Muhammad SAW, sedangkan ‘syawalan’ yang dimaksud yaitu sebuah ritual tahunan pada bulan Syawal. Ritual ini diadakan dengan berkumpulnya seluruh anggota fam-fam etnis Arab di satu tempat, tepatnya di obyek wisata Pemandian Moga yang terletak di kecamatan Moga di bagian selatan Pemalang. Di sini mereka berkumpul dan memperkenalkan anggota keluarga yang satu dengan yang lain, umumnya ritual ini dimanfaatkan mereka sebagai ajang perjodohan masal.
Selain kebudayaan yang berbentuk ritual, di Pemalang, etnis Arab meneruskan kebiasaan yang dibawanya dari tanah nenek moyangnya dengan membuat berbagai jenis makanan khas seperti “roti Maryam”, “azid”, dan “nasi kebuli”. Ciri khas lain dari etnis Arab yang mencerminkan kebudayaan mereka adalah dalam hal berbahasa dan berpakaian. Wanita etnis Arab di Pemalang menggunakan “busana muslim” yaitu dengan menutup seluruh anggota tubuh kecuali muka dan telapak tangan, sedangkan yang laki-laki mengenakan “gamis”.

Pemalang adalah sebuah kabupaten yang mempunyai dua karateristik geografis yang berlainan. Sebelah utara kabupaten ini berupa daerah pantai karena secara langsung berbatasan dengan Laut Jawa, sedangkan di bagian selatan kabupaten ini merupakan daerah pegunungan yang cukup tinggi dan merupakan daerah lereng Gunung Slamet. Berdasarkan teori ecocultural, yaitu ilmu yang mempelajari pengaruh timbal-balik dari lingkungan alam terdapat dan tingkah-laku makhluk-makhluk di suatu lokasi tertentu di muka bumi, dengan karakteristik keadaan alam yang sedemikian itulah kabupaten ini mempunyai keanekaragaman budaya tersendiri yang berbeda dengan daerah lain.

Budaya asli Pemalang pada umumnya sama seperti kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya, hanya agak sedikit berbeda pada keanekaragamanya. Di Pemalang terdapat dua kebudayaan yaitu kebudayaan masyarakat Jawa Pesisir utara dan kebudayaan masyarakat Jawa di daerah Pegunungan. Masyarakat Pemalang berbahasa Jawa dengan dialek Banyumas dan sebagian menggunakan dialek Pekalongan.

Adanya etnis Arab di Pemalang diawali dengan bermukimnya berbagai etnis Arab di Indramayu dan Brebes yang kemudian menyebar ke wilayah Tegal yang berbatasan langsung dengan Pemalang di sebelah barat. Bertambahnya jumlah etnis Arab di Tegal dan dorongan ekonomi untuk mencari penghidupan yang lebih layak, menyebabkan mereka menyebar ke arah timur yaitu Pekalongan dan melewati Pemalang. Di Pemalang sendiri, beberapa kelompok etnis Arab tersebut membuat pemukiman-pemukiman baru berdasarkan hubungan familistik, ada juga sebagian dari mereka yang bermukim secara terpisah dari kelompok yang tinggal di suatu pemukiman tertentu dan membaur dengan masyarakat pribumi Pemalang.

Etnis Arab yang tinggal berkelompok membawa dan melestarikan kebudayaan yang mereka punyai di wilayah yang baru tersebut. Sebagian besar dari mereka beradaptasi dengan belajar bahasa Jawa dan adat istiadat setempat, contoh nyata yang dapat dilihat adalah adanya sebagian etnis Arab yang membuat makanan asli Jawa seperti “samir”, yang oleh masyarakat Pemalang disebut “kamir”. Kegiatan ini bahkan menjadi mata pencaharian sebagian penduduk etnis Arab di perkampungan Arab di desa Mulyoharjo. Akibat dari pesatnya perkembangan industri pembuatan “kamir” tersebut di perkampungan Arab tersebut, sekarang, “kamir” menjadi oleh-oleh khas kuliner dari Pemalang dan masyarakat pribumi Pemalang menyebutnya dengan nama “kamir Arab”, karena memang yang membuat adalah orang Arab, walaupun itu adalah makanan asli masyarakat Jawa.

Masyarakat Pemalang pada umumnya sangat menerima keberadaan etnis Arab dan berbagai bentuk kebudayaan yang dibabawanya, terbukti dengan tidak adanya konflik SARA diantara mereka. Penduduk pribumi Pemalang dalam pergaulanya tidak membeda-bedakan etnis-etnis tertentu termasuk etnis Arab, mereka berinteraksi dengan baik dalam bisnis seperti berdagang maupun kegiatan sosial. Sebagai bentuk dari penerimaan yang baik terhadap bentuk kebudayaan etnis Arab di Pemalang, penduduk pribumi Pemalang yang beragama Islam sering mengikuti acara “mauludan” yang diadakan oleh etnis Arab, dan bahkan sekarang, di kalangan masyarakat pribumi Pemalang, “mauludan” sudah menjadi bagian dari ritual kebudayaan umat Islam di Pemalang.

Sering ditemukan hal-hal menjadi bukti bahwa Masyarakat Pemalang khususnya yang berada di wilayah Perkampungan etnis Arab, seperti pemakaian bahasa oleh masyarakat setempat. Menurut Kontjaraningrat (1990), adanya gerak migrasi dari bangsa-bangsa yang membawa unsur-unsur kebudayaan mereka untuk mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan asli bangsa-bangsa yang mereka jumpai di daerah-daerah yang mereka lalui ketika bermigrasi, sengingga menyebabkan perubahan-perubahan dalam kebudayaan-kebudayaan itu (difusi). Jika dikaitkan dengan teori difusi tersebut, memang sangat beralasan sekali, bahwa di perkampungan Arab di desa Banyumudal, masyarakat pribumi pemalang terkadang menggunakan kosakata yang sering dipakai oleh etnis Arab di wilayah tersebut seperti kata ente untuk ‘kamu’, harim untuk ‘wanita’, fulus untuk ‘uang’, bahil untuk ‘pelit’, bahlul untuk ‘jahat’, dan masih banyak lagi.

Dapat disimpulkan bahwa etnis Arab dan kebudayaanya di Pemalang dapat diterima dengan baik di tengah penduduk pribumi Pemalang. Kebudayaan Arab di Pemalang tidak mempengaruhi dan mengubah kebudayaan yang sudah ada, namun hanya menambah khazanah kebudayaan yang ada. Budaya di suatu daerah bisa dikatakan dapat mempengaruhi daerah lain (baik segi bahasa maupun lainnya). Proses masuknya suatu budaya ke kebudayaan lain tergantung dari minoritas penduduk daerah yang dimasuki. Apakah mereka menerima adanya imigran, dan apakah daerah tersebut memperbolehkan masuknya imigran asing. Tapi hal ini juga tergantung dari siapakah dan apakah maksud imigran-imigran terdahulu itu masuk ke daerah mereka.

Sumber: Rudha Widagsa, Etnis Arab di Pemalang dan Pengaruhnya Terhadap Kebudayaan Setempat. 2010.

Batik Pemalangan


Pemalang merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah, berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Pekalongan di sebelah timur, Kabupaten Purbalingga di sebelah selatan, dan Kabupaten Tegal di sebelah baratnya. Pemalang lebih dikenal dengan sebutan Pemalang Kota Ikhlas. Karena berdekatan dengan Kabupaten Pekalongan kota batik, ternyata di Pemalang juga berkembang batik dengan ciri khas yang unik dan berbeda dengan daerah lain.

Batik khas Pemalang dikenal dengan nama Batik Pemalangan. Motif Batik Pemalangan tidak berwarna-warni seperti pada umumnya motif batik di daerah Pesisir, namun batik ini lebih banyak menggunakan pewarna alam. Batik Pemalang memiliki kualitas bagus dengan warna alam, namun daya jual produk tersebut masih kalah dengan daerah lain. Ada beberapa penyebab, yaitu motif batik relatif monoton atau tidak berkembang, serta harganya lebih mahal. Sementara batik dari daerah tetangga, seperti Batik Pekalongan mempunyai corak beragam, memenuhi selera pasar, dan harganya relatif lebih murah.

Batik Pemalang

Batik Pemalang

Sumber: http://www.promojateng-pemprovjateng.com

Kemunculan produk batik warna alam mampu memberi warna tersendiri bagi industri batik di Pemalang. Batik warna alam dibuat dengan pewarnaan ramah lingkungan, dengan menggunakan bahan antara lain kayu dan akar. Batik warna alami memiliki sejumlah keunggulan dari pewarnaan sintetis. Untuk membuat batik alami memang cukup sulit, terutama dalam pewarnaan dibutuhkan beberapa kali proses celup dan jemur. Dari sini diperoleh warna yang sangat berbeda dari pada warna sintetis.

Batik Pemalang

Batik Pemalang

Sumber: http://www.fashionbatik.net

Ingin belajar membatik? Klik Disini untuk melihat video tutorial membatik.

Batik Pemalang selama ini kurang menonjol karena masih sedikit perajin setempat yang berani lepas dari pakem. Sehingga produk yang dihasilkan pun monoton pada motif-motif tertentu, seperti motif parang curiga, kepedak, gemek setekem atau sawat rante yang sudah diyakini menjadi ciri khas Batik Pemalang. Padahal jika melihat situasi pasar saat ini, sejumlah motif itu semakin ditinggalkan. Kalau ada yang masih memakainya, mereka dari kalangan tertentu yang diwajibkan oleh organisasi atau atasannya. Adapun saat ini pasar lebih suka dengan motif batik yang bebas dan penuh kreativitas. Guna memecah kebekuan industri batik di Pemalang maka perlu keberanian dalam membuat inovasi baru dalam motif dan pewarnaannya. Dengan begitu, batik Pemalang bisa terangkat pamornya.

Batik Pemalang Motif Gemek Setekem

Batik Pemalang Motif Gemek Setekem

Sumber: http://tokobagus.com

Batik Pemalang Motif Parang Curigo

Batik Pemalang Motif Parang Curigo

Sumber: http://masdurohman.blogspot.com

Ingin membeli alat-alat membatik? Klik Disini untuk mendapatkan alat-alat membatik.

Terdapat juga motif batik dengan ciri khas kota Pemalang yaitu motif grombyang. Grombyang merupakan makanan khas Pemalang, motif ini dijadikan seragam sekolah untuk murid atau guru di Pemalang. Di sisi lain produk batik alam kreasinya juga mendapat perhatian sebuah lembaga bantuan modal dari Jerman. Bahkan, lembaga itu mengirimkan jurnalis untuk melihat dari dekat proses produksi batik warna alam di Pemalang. Ini membuktikan Batik Pemalang sebenarnya memiliki peluang untuk berkembang, serta meningkatkan pamor yang selama ini tenggelam.

Batik Pemalang

Batik Pemalang

Sumber: http://suaramerdeka.com

Ingin membeli batik tulis eksklusif? Klik Disini untuk melihat katalog kain batik.

Para perajin batik tulis di Pemalang tersebar di beberapa desa di Kecamatan Petarukan, Taman, dan Comal. Kondisi mereka tidak menentu tergantung pada situasi. Kadang membuat batik kadang tidak. Jika ada stok produksi dan butuh uang, kain batik bisa dijual tidak sesuai dengan standar. Guna menggairahkan kegiatan mereka, Diperindag sedang menjajaki untuk mengubah batik tulis menjadi cap.

Batik Pemalang Motif Kawung

Batik Pemalang Motif Kawung

Sumber: http://basosentosa.wordpress.com

Batik Pemalang

Batik Pemalang

Sumber: http://suaramerdeka.com

Batik Pemalangan hampir punah di pasaran, upaya pemerintah untuk melestarikannya antara lain dengan cara diadakan Lomba Rancang Busana Batik Tulis Pemalangan Non Sutra setiap tahun. Kegiatan ini untuk mengembangkan aset daerah yang dimiliki Pemalang agar lebih berdaya saing. Ayo bagi pecinta batik Nusantara kita lestarikan batik tulis ini agar budaya batik terus berkembang. Semoga bermanfaat.

Sumber artikel : http://fitinline.com/article/read/batik-pemalang

Kesetiaan Widuri Pemalang


Dahulu, lebih kurang tiga abad silam, di wilayah Pemalang sebelah utara masih banyak hutan rawa. Tanah daratan yang ada kurang subur. Di tempat itu tinggallah seorang yang bernama Ki Pedaringan. Di panggil Ki karena memang ia seorang laki-laki yang sudah cukup tua. Ki Pedaringan termasuk salah seorang yang cukup ulet dalam mengolah tanah.  Banyak warga lain yang tidak tahan hidup di daerah tersebut dan lebih memilih bermukim di tempat lain daripada di tempat yang kurang subur itu.

            Karena ketekunan dan keuletan Ki Pedaringan dalam mengolah tanah garapan, lambat laun tanah yang tadinya kurang subur, berubah menjadi tanah yang cukup subur. Disamping bertani mengolah tanah garapan, Ki Pedaringan banyak memelihara hewan piaraan seperti ayam, angsa, bebek, mentok dan juga kambing. Limbah kotoran ternaknya ia gunakan sebagai kompos yang selanjutnya digunakan untuk pupuk berbagai tanaman yang ia kelola. Ki Pedaringan pun memperoleh hasil panenan yang cukup menggembirakan. Kehidupan Ki Pedaringan beranjak membaik. Kebutuhan pangan Ki Pedaringan boleh dikatakan cukup berlebih.

            Ki Pedaringan tergolong orang yang terlambat dalam berkeluarga. Walupun usianya sudah cukup banyak, namun belum juga mencari istri untuk pendamping hidupnya. Seolah-olah Ki Pedaringan mempunyai prinsip kalau belum sukses dalam kehidupannya belum mau berkeluarga. Kini setelah Ki Pedaringan tergolong sukses dan kaya, Ki Pedaringan memperistri Nyi Widuri. Nyi Widuri adalah seorang gadis cantik yang menjadi buah bibir di kampung sebelah. Selain cantik, Widuri mempunyai sifat baik budi, ramah, dan setia. Pantaslah nama Widuri menjadi terkenal khususnya dikalangan para anak muda pada saat itu.

            Boleh dikatakan beruntung orang yang mempersunting Widuri. Dan ternyata Ki Pedaringan lah orang yang beruntung tersebut. Walaupaun beda usia lima belas tahun, kehidupan rumah tangga Ki Pedaringan dan Nyi Widuri diliputi kebahagiaan yang nyaris sempurna. Hal ini karena dalam kehidupan sehari-harinya dilandasi dengan kesetiaan, saling menjaga, saling menghormati dan saling mencintai satu sama lain. Dengan didukung lingkungan pesisir pantai yang bersahabat, keharmonisan rumah tangga Ki Pedaringan dan Nyi Widuri terjaga dengan baik. Banyak warga lain yang berusaha meniru keharmonisan rumah tangga Ki Pedaringan.

            Semenjak Ki Pedaringan berumah tangga dengan Nyi Widuri, kegiatan ke sawah atau ladang yang rutin dilakukan setiap hari berubah. Kalau dahulu Ki Pedaringan mengolah sawah atau ladang dilakukan sampai sore dan kadangkala sampai bermalam menginap di ladang, kini kegiatan itu sedikit berbeda. Ki Pedaringan pergi ke sawah atau ladang hanya setengah hari. Setelah matahari di tengah-tengah , pas di atas kepala Ki Pedaringan pulang  ke rumah. Hal ini karena di rumah sudah ada yang menunggu. Istrinya yang cantik dan setia selalu menyambutnya dengan senyum dan menyenangkan hati. Perasaan capek Ki Pedaringan seketika hilang begitu melihat Nyi Widuri menyambut dengan dandanan cantik dan sikap yang menyenangkan. Begitulah kebiasaan sehari-hari yang terjadi di rumah Ki Pedaringan. Bahagia dan menyenangkan.

            Pada suatu saat, ketika Ki Pedaringan sedang pergi ke sawah, Nyi Widuri dikagetkan oleh sosok pria asing, gagah dan tampan, mampir ke rumahnya. Pria itu penuh luka di tubuhnya. Walaupun tampak letih dan menahan rasa sakit, namun keperkasaan dan ketampanan pria tersebut tetap terpancar. Dari sikap dan sopan santunnya dalam berbicara, menunjukkan kalau pria tersebut bukan pria kebanyakan.

            “Maaf, Nyai. Barangkali kedatangan saya ini mengejutkan. Saya mohon maaf. Saya mau minta air minum, dan kalau boleh saya minta obat untuk luka-luka di tubuhku ini,” kata pria itu.

            “Loh, Panjenengan siapa, dan dari mana? Mengapa tubuh Panjennengan penuh luka?” tanya Nyi Widuri dengan penuh perhatian.

            “ Maaf, saya ini prajurit Mataram, saya Pangeran Purbaya. Saya baru saja diberi tugas untuk menumpas gerombolan penjahat di pesisir utara Cirebon. Baru saja para penjahat itu bisa ditumpas dan sekarang saya mau pulang ke Mataram. Saya kehabisan air minum. Oleh karena itu saya mampir ke sini minta air minum untuk perbekalan menuju Mataram.”

            Begitu mendengar penjelasan Pangeran Purbaya Nyi Widuri segera mengambil air minum dan mempersilakan Pangeran Purbaya untuk beristirahat. Luka-luka Pangeran Purbaya diobati oleh Nyi Widuri.

            Setelah beristirahat sejenak dan luka-luka di tubuhnya diobati, pangeran Purbaya minta diri, pamit untuk melanjutkan ke Mataram. Namun Nyi Widuri tidak memperbolehkan karena suaminya belum pulang. Maksud Nyi Widuri, mencegah Pangeran Purbaya untuk tidak pulang sekarang karena demi menjaga fitnah yang mungkin timbul dalam keluarga, dimana dia telah berani menerima pria lain selagi suaminya tidak di rumah. Namun karena ditunggu-tunggu suami Nyi Widuri tidak juga pulang, Pangeran Purbaya akhirnya berpamitan untuk segera pulang ke Mataram.

            Sebagai seorang ksatria, Pangeran Purbaya memahami perasaan Nyi Widuri yang menghendaki agar bertemu dengan suaminya. Namun demikian, karena tugas kepraajuritan Pangeran Purbaya harus segera meninggalakan rumah Nyi Widuri. Oleh karena itu keris Simangklan milik Pangeran Purbaya di tinggal untuk Nyi Widuri dengan maksud agar menjadi saksi terkait apa-apa yang terjadi di rumah Nyi Widuri pada saat itu.

            Tak berapa lama setelah Pangeran Purbaya meninggalkan rumah Nyi Widuri, Ki Pedaringan pulang.

            “Sepertinya ada tamu Nyi? Siapa yang ke sisni?” tanya Ki Pedaringan.

            “Ya, Aki. Ada Pangeran mampir ke rumah kita. Pangeran Purbaya dari Mataram mampir ke rumah kita Ki!” jawab Nyi Widuri berbunga-bunga.

            Kemudian Nyi Widuri menceritakan panjang lebar tentang pengalamannya yang tak terduga sama sekali bertemu dengan Pangeran Purbaya, tentang jasa yang telah ia perbuat mengobati luka-luka Pangeran Purbaya dan memberinya air minum. Maklumlah karena sebagai orang desa yang jauh dari pusat Ibu Kota Mataram Nyi Widuri merasa kalau peristiwa tersebut merupakan suatu yang istimewa. Oleh karena itu Nyi Widuri bersemangat sekali dalam menceritakan kejadian yang menurutnya bagaikan mimpi itu. Dalam hatinya ingin berbagi kebahagiaan yang baru saja ia alami dengan suami tercinta.       

Mendengar cerita Nyi Widuri, raut muka Ki Pedaringan bukannya ikut bahagia tetapi malah menunjukkan raut muka masam. Ya, kali ini Ki Pedaringan tidak seperti hari-hari biasanya kalau pulang disambut oleh istrinya menjadi bahagia. Rupa-rupanya Ki pedaringan diliputi pikiran negatif. Ia berprasangka buruk, kalau kali ini istrinya tidak setia lagi. Istrinya telah berselingkuh dengan pria lain yang ia sebut-sebut sebagai Pangeran Purbaya.

            “Jadi apa yang telah kau lakukan Nyi? Apakah kamu menghianati aku? Apakah kamu selingkuh dengan Pangeran itu Nyai?” tanya Ki Pedaringan dengan nada curiga. 

            “Loh, mengapa Aki berkata begitu? Aku adalah istrimu Aki! Aku tidak mungkin menghianatimu. Sungguh aku hanya menolong seorang ayang kehausan dan tengah terluka. Apakah itu salah Aki?”

            Rupanya Ki Pedaringan yang sedang capek baru saja pulang dari sawahnya tidak bisa begitu saja menerima penjelasan istrinya. Lebih-lebih cerita istrinya menurut Ki Pedaringan kurang masuk akal. Mana mungkin ada Pangeran Purbaya sampai di desa terpencil tempat tinggalnya. Malah sebaliknya Ki Pedaringan menduga kalau istrinya berselingkuh dengan pria lain. Maklumlah karena beda usia antara diri dan istrinya cukup jauh sehingga rasa cemburu yang mendalam sering menimbulkan perasaan curiga.

            “Berpanas-panas aku kerja seharian. Capek, lelah, tidak aku rasa; tetapi istriku di rumah dengan pria lain. Hati siapa yang tidak marah Nyai? Coba lelaki mana yang kuat diperlakukan seperti ini?”

“Aki, mengapa Aki berpikiran buruk seperti itu? Apakah Aki tidak percaya kepadaku lagi? Apakah Aki meragukan kesetiaanku Ki?” suara Nyi Widuri terus mencoba meyakinkan suaminya.

            Rasa menyesal dan bersalah menggelayuti pikiran Nyi Widuri. Dalam hatinya berkecamuk, mengapa niat baik yang ia lakukan bisa berbuah begini. Di tengah kekacauan pikirannya Nyi Widuri teringat keris yang ditinggalkan oleh Pangeran Purbaya. Nyi Widuri ingat betul pesan dari Pangeran Purbaya bahwa keris itulah yang menjadi saksi. Sebab memang pada saat itu tidak ada seorang pun yang tahu perihal pertemuannya dengan Pangeran Purbaya. Kala itu, di wilayah dimana Ki Pedaringan dan Nyi Widuri tinggal, rumah-rumah warga masih jauh-jauh. Tidak ada tetangga yang mengetahui kejadian tersebut.

            “Ini Ki, ini saksinya. Pangeran Purbaya meninggalkan keris ini untuk menjadi saksi. Aki boleh bertanya kepada keris Simangklan ini tentang kesetiaanku. Teteskan darahku pada kembang itu! Jika kembang putih itu berubah warna menjadi merah, berarti saya tidak suci lagi. Tetapi kalau kembang putih itu tetap putih, berarti saya  suci, bersih dari apa yang Aki sangkakan kepadaku.” Kata Nyi Widuri sambil menunjuk pada bunga yang tumbuh di depan rumahnya.

            Melihat keris Simangklan yang memancarkan pamor berwibawa, Ki Pedaringan terperanjat. Hati kecil Ki Pedaringan percaya kalau apa yang diceritakan istrinya benar. Namun pikiran Ki Pedaringan yang telah diliputi kecurigaan dan buruk sangka, menyebabkan tangan Ki Pedaringan menyahut keris Simangklan yang masih berada pada tangan istrinya dan seketika itu pula ‘cres’ melukai jari istrinya. Tetes-tetes darah keluar dari jemari Nyi Widuri dan saat itu juga Ki Pedaringan menarik tangan istrinya menuju pohon kembang berbunga putih yang tumbuh di halaman rumanya. Ki Pedaringan ingin segera membuktikan kesetiaan istrinya seperti yang dijelaskan Nyi Widuri.

            Begitu terkena darah yang keluar dari luka jari Nyi Widuri, bunga yang tadinya berwarna putih berubah menjadi ungu. Ki Pedaringan bingung. Bunga yang terkena darah tidak berubah warna merah, yang berarti istrinya tidak selingkuh seperti yang ia sangka, tetapi warna bunga tadi juga berubah tidak putih lagi tetapi menjadi ungu. Ditengah kebingungan yang menyelimuti pikiran Ki Pedaringan, akhirnya Ki Pedaringan segera pamit kepada Nyi Widuri untuk menyusul Pangeran Purbaya kea rah timur dengan maksud ingin menjumpainya untuk meminta maaf karena telah berprasangka buruk kepada beliau.  Nyi Widuri member izin kepada suaminya. Luka goresan keris yang mengenai jarinya tidak ia rasakan. Hatinya telah lega karena masalah yang membelit rumah tangganya telah terjawab. Senyum manis Nyi Widuri mengiringi keberangkatan suaminya menyusul Pangeran Purbaya.

            Semenjak kepergian suaminya ke Mataram, Nyi Widuri selalu berdoa kepada yang Maha Kuasa. Memohon suaminya bisa selamat dan segera pulang kembali ke rumah. Dengan setia, Nyi Widuri menunggu sang suami tercinta.

            Ki Pedaringan tidak pulang ke Pemalang, karena sesampai di Mataram ia menjadi abdi dalem keraton. Nyi Widuri hidup sendiri. Dengan kesetiaannya ia tetap tinggal di rumah suaminya menunggu sang suami pulang, sampai ajal menjemputnya. Sampai sekarang tempat dimana Nyi Widuri tinggal dikenal dengan nama Widuri dan kembang widuri sampai sekarang berwarna ungu. Selain itu orang mengenal nama Widuri sebagai lambang kesetiaan. Orang-orang mempercayai kalau sepasang kekasih memadu janji di Pantai Widuri Pemalang akan menjadi pasangan yang  setia sampai tua.

Diceritakan kembali oleh:  Mukhlis, S.IP  tinggal di Comal Pemalang

Sumber tulisan: http://www.jendelasastra.com/karya/sastra-lama/mitos-kesetiaan-widuri

The Border Town Plawangan, Legenda Pemalang


Hati hati menyebut kosa kata Plawangan di Kabupaten Pemalang, jika anda tidak ingin menginjakan kaki dengan tenang di kota ini.  Betapa tidak, kata Plawangan mengarahkan kita pada  “The Border Town” nya Pemalang dan Tegal yang merupakan tempat transaksi percintaan atau prostitusi.

Tapi jangan salah paham dulu…Plawangan sebagai The Border Town adalah sebuah distrik 10 tahunan yang lalu. Sekarang Plawangan sudah berubah lebih religius dan islami.

situs

plawangan

 

Tapi tahukan anda bahwa konon kabarnya daerah Plawangan dulunya adalah salah satu Pelabuhan terbesar di Pantura jaman Majapahit dahulu? ” hal tersebut tercantum dalam dongeng atau cerita yang hidup di Plawangan khususnya dan di kabupaten Pemalang pada umumnya, tentang keraton pringgodani.

Cerita ini didapat dari bapak Karmin , 80 tahun yang merupakan juru kunci Candi Plawangan..”

Berikut intisari Legenda Plawangan:

  1. Orang-orang Plawangan mempunyai mitos bahwa daerah Sirawung merupakan bagian dari kerajaan Pringgodani dan pernah menjadi tempat pelarian Dewi Harimbi. Sang dewi diusir oleh kakaknya yang tidak setuju dia kawin dengan Brotoseno.
  2. Menurut juru kunci Candi Sigeseng, daerah itu disebut juga dengan Jamban Dalem. Mengapa disebut Sirawung? Ada teori yang menyebutkan karena adanya lelembut atau makhluk halus yang dapat bergaul(srawung) yang bergaul dengan manusia biasa. Bernama Si Geseng artinya si Gelap, si Hitam, sebab tempat itu tempat yang gelap bagi manusia biasa.
  3. Menurut mitos masyarakat Pemalang, Kanjeng Swargi atau Kanjeng Raden Arya Adipati Reksoprojo yang wafat tahun 1825; tidak mau tunduk kepada VOC Belanda. Ketika disirih menangkap Pangeran Diponegoro, Kanjeng Swargi kemudian menghilang dan mengungsi ke Keraton Sirawung. Selain itu Kanjeng Raden Tumenggung Ronggo Soero Adi Negoro yang wafat tahun 1862, pernah juga bertandang ke Keraton Sirawung.

Pangeran Benawa juga masih hidup dan berkedaton di Sirawung.

  1. Bapak Williem Otto Machenzie,dengan bersumpah pernah mengatakan; (beliau waktu rumahnya masih di Gembol Manis, yakni di Hutan Sirawung) tiap malam rombongan pemukul gamelan lewat di depan rumahnya dan anjing-anjing beliau tidak berani menyalak dan hanya duduk. Jadi ada suara tapi tidak ada rupa.
  2. Cerita lain yang mendukung adalah cerita tentang Nahkoda Kapal Asing yang kapalnya kandas di pantai Hutan Sirawung, menerangkan bahwa pada umumnya mereka melihat adanya sebuah pelabuhan. Juru kunci yang sudah berusia lebih dari 100 tahun pernah menyaksikan empat kali kapal kandas.

Bapak Willem Otto Machenzie juga membenarkan bahwa kapal-kapal yang kandas, katanya disebabkan karena saat malam tiba mereka melihat penampakan pelabuhan. Padahal sebenarnya pelabuhan tersebut adalah fiktif.
Kapal kandas yang terakhir adalah di tahun 1956, yakni kapal Inggris yang memuat hasil perkebunan gambir dan tekstil.

Lepas dari benar tidaknya beberapa cerita rakyat di daerah pemalang tentang hal-hal yang ajaib di Hutan Sirawung, pada pokoknya ada persamaan motif, yakni bahwa di Sirawung atau yang sekarang disebut PLAWANGAN, pada zaman dahulu ada sebuah kerajaan.

diolah dari berbagai sumber :

sinaubudayajawa.blogspot.com; wikipedia

Cultural Learning of Pemalang City for make Benefit Glorious Nation of Indonesia


Oleh Dina Agustin Wulandari. Born in Bandung, Jawa Barat,

 

hehehe….

Akhirnya sempat juga memencet-mencet tuts keyboard komputer ini, setelah upaya pengambilalihan dari tangan anak-anak nyaris gagal. Baru sempat setelah mereka terkapar kelelahan di tempat tidur. Heran, main kok diforsir sih.

Sebelum ceritanya menjadi basi, aku akan memaparkan sedikit tentang Pemalang. Kota tempat Papahku dilahirkan dan dibesarkan.

Kota ini terletak antara Tegal dan Pekalongan. Jadi kalau menyusuri Pantura dari arah barat menuju Semarang, sudah pasti kota kecil ini terlewati dengan sukses. Selain letaknya yang berada di tepi pantai, tidak banyak yang kuketahui tentang kota ini. Kami sekeluarga terbilang sangat jarang mudik ke tempat mbah *sebutan bagi ibunya Papah*. Karena dulu sewaktu Mbah masih kuat, selalu Mbah yang mengunjungi kami. Setelah mbah mengaku sudah tidak kuat lagi, kami yang gantian mendatangi beliau.

Kali ini kami sudah terdiri dari : Papah, Mamah, keluargaku dan keluarga ketiga adikku. Lengkap dengan anak-anaknya. Bagi anak-anak kami, ini adalah kali pertama mereka mengunjungi buyutnya yang di Pemalang.

Mengingat keadaan kota Pemalang seperti yang kulihat tujuh tahun lalu, aku paham mengapa Mbah selalu ingin jalan-jalan keluar kota.

Hehe… no offense 😛

Tapi ketika kami kembali minggu lalu, pencitraan kota ini sudah berubah sedikit di mataku. Sepertinya, bukan karena kotanya yang berubah. Tapi aku yang mulai berubah 🙂

Dulu, setiap aku mengobrol dengan saudara-saudara dari pihak Papah, aku selalu mendapat kesan bahwa Pemalang adalah kota mati yang baru hidup ketika musim Lebaran tiba. Populasinya yang berusia produktif lebih banyak merantau ke luar kota. Seperti Papah. Yang tersisa, bila tidak menjadi nelayan, ya berdagang atau jadi penjahit.

Namun sekarang mereka sudah punya Mall 😉

Pemalang1

Mall yang unik, dan aku sih hanya bisa menebak bahwa yang punya mall ini orang Jepang.

Jadi ‘mall’ dieja ‘Moro’. Hehe. Gak lucu.

Jangan sedih ya, kalo melihat Moro ini hanya seluas minimart di Jakarta.

Not bad for a start, right? At least they dare putting on a big adboard on the street.

Yang paling aku suka dari kota ini : hampir seluruh rakyat Pemalang3kebanyakan memiliki alat transportasi pribadi. Bayangkan, bahkan hampir setiap anak-anak dan remaja, sudah memiliki. Bukan untuk gaya-gayaan, terbukti dari utilitasnya yang sangat tinggi : ke pasar, ke sekolah, bahkan untuk nongkrong di alun-alun kota pada Malam Minggu.

Kalau orang Jakarta baru bicara Gerakan Bike To Work, Bike to Pemalang6School dan Bike to Eat, ternyata orang Pemalang sudah mendahului. Sejak sepeda mulai masuk negara Indonesia di tahun 60-an mungkin.

Hidup wong Pemalang! 😀

Hihihi… tapi suasana yang sama juga kutemui di kota-kota kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian utara kok, yang kontur kotanya kebanyakan dataran, tidak berbukit-bukit 😀

Supaya tidak merepotkan Mbah dan keluarga di sana, kami menginap di suatu tempat di jalan Urip Sumohardjo. Tempatnya bernama RM Segoro, rumah makan khusus seafood tapi menyediakan penginapan juga. Kamarnya bersih, luas dan berAC. Oh ya, aku menyebutkan AC karena kamar berAC cukup penting untuk didapat di kota yang gerah ini. Seafoodnya juga enak 🙂 apalagi dimasak segera setelah baru saja dibeli dari tempat pelelangan ikan di pantai Tanjungsari. Nyamm nyamm….

Tiga hari di Pemalang, hanya cukup waktu untuk mengobrol dengan Saudara-saudara yang kami kunjungi beramai-ramai, mengunjungi makam mbah laki-laki, ke Pantai Widuri (ada waterpark baru di sana, tapi tidak kami kunjungi) dan melihat suasana malam minggu di alun-alun kota, satu-satunya tempat nongkrong anak-anak muda Pemalang hingga larut malam.

Pantai-pantai di sepanjang kota Pemalang rata-rata sudah mengalami abrasi. Di Tanjungsari bahkan sudah mencapai jalan aspal. Yang membuat aku khawatir, tidak ada tanaman bakau ditanam di sana. Tanaman ini bisa mencegah abrasi pantai maupun memecah gelombang tinggi yang datang dari laut Jawa. Rumah penduduk hanya beberapa meter lagi sudah bisa terjilat ombak dari pantai.

To make long story short, akhir kata hanya cerita ini yang dapat kubagikan untuk semua dari perjalanan mudik kami ke Pemalang.

Tadinya aku mau belikan apa yang ditawarkan oleh salah satu iklan yang dipajang di dinding rumah makan tempat kami menginap.

Pemalang4

Hanya kurasa tak akan banyak yang menyambutnya 😛 walaupun kualitasnya dijamin prima.

Wong Pemalang Yang Gak Bisa Move On


still-in-love

Going Back to the corner
where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag
I’m not gonna move
Got some words on cardboard,
got your picture in my hand
saying, “if you see this girl
can you tell her where I am”

Siapa belum pernah denger lagunya The Script: The Man Who Can’t be Moved

Lagu ini ditulis dengan tegak lurus, narasinya linier mengalir apa adanya. Berceritera tentang seseorang pemuda yang akan tinggal & berdiam diri di suatu tempat di pinggir jalan menunggu wanita yang ia cintai untuk datang. Tempat itu adalah tempat dimana mereka pertama kali bertemu. Walaupun berhari-hari, sebulan, atau bahkan setahun ia akan tetap menunggu. Karena jika wanita yang ia tunggu tersebut ingat dengannya dan ingin mengunjungi tempat pertama kali mereka bertemu, ia ingin ada disana agar wanita tersebut akhirnya bertemu dengannya. Naif memang, tapi mengharukan juga. Hehehe

Denger lagu tersebut jadi inget ketika beberapa waktu yl ngobrol santai dengan teman SMA yang tetap memilih tinggal, dan beraktifitas di Pemalang. Dan artikel ini bukan penghakiman bagi siapapun, dimanapun, hanya sekedar intermezo iseng, merefresh pikiran kita sambil makan kojeke Glompong.

Ada beberapa alasan klasik bagi generasi muda, kelas menengah di Pemalang yang memutuskan untuk terbang jauh menembus awan, meninggalkan kota ini menggapai impian untuk hidup lebih baik.  Beribu argumentasi repetitif yang muncul seperti: alasan pengembangan karir yang mandeg. Sempitnya ketersediaan lapangan kerja. Maraknya KKN dan Korupsi yang membuat frustasi. Membekunya aktifitas sosial yang merupakan sinyal mekarnya sebuah perubahan. Nihilnya pemihakan pemda dan jajarannya dalam penstimulasian generasi muda yang mencoba nyemplung dan arung  di bidang entrepreurnership.  Serta alasan alasan subyektif lain yang mengemuka.

Disisi yang lain, banyak juga rekan yang  keukeh dengan segala alasan dan argumentasinya untuk tetap bertahan menjadi juru kunci dan menjalani kehidupan di kota ini. Ya yang sejak dari lulus SMA ataupun  juga mereka yang mencoba hidup di perantauannya, akhirnya toh balik juga ke kampung halaman. Beribu argumentasi juga muncul timbul tenggelam. Kita tak hendak mengupas tuntas masalah tersebut, biarlah semua terkubur di kuburan ancak suci, untuk kemudian dipagut realitas kehidupan sehari hari.

Gak ada yang salah atau benar dari semuanya. Dan ini juga bukan masalah menang kalah, toh pada akhirnya, kebahagiaan terpatri pada diri, seperti pelangi nan rupawan, dia tertampak indah jika berada di atas kepala orang lain. Sawang sinawang jare wong Pemalang. Seperti yang disawang kawan ngobrolku tersebut; ketika, bertanya, dalam sebuah kalimat yang menggelitiki batok kepalaku, :

“Ada yang Move On, tapi kenapa banyak juga yang tak bisa pindah dari kota ini ?”

Emangnya Apa yang kau cari kakanda? itu seperti cerita sinetron.

Barangkali itu pertanyaan bodoh meski bisa juga terlihat keminter. Secupu orang yang bertanya kenapa ada orang yang rela bersusah payah mendaki gunung, kalo kemudian harus turun lagi ? Beberapa malah banyak yang mati di pendakian.

“Konyolkah?”

Atau seperti pertanyaan Mas Wanyad:  “Kenapa banyak orang rela atau menonton 22 manusia bodoh yang mengejar dan menendang bola ???.”

Ya hidup adalah pilihan. Sama seperti si Neo yang harus memilih apakah tetap menjadi manusia setengah robot ataukah menjadi manusia yang sejati seperti dalam film Trilogy Matrix Atau si Seth dalam City of Angels, yang bimbang dalam kegalauan akan tetap menjadi malaikat dengan segala keabadiannya, ataukah menjadi manusia dengan segala kelemahannya?

Ya, ada titik dimana kita harus menjadi subyek kehidupan dengan resiko yang menyelimutinya. Untuk itulah kenapa kita harus memilih.

Memilih apa?

Bukankah hidup seperti sebuah laju arus kendaraan? Yang hanya dapat berhenti sejenak saat bertemu dengan lampu lalu lintas. Berhenti di tengah jalan berarti mati dan kita hilang eksistensi. Membiarkan banyak hal menuntun tanpa pernah kita benar-benar memilih juga mengabaikan pilihan dan kehendak bebas yang kita punya, walau apa yang disebut kehendak bebas ini masih absurd.

Namun, dalam sebuah lintasan jalan raya, tidak semuanya memiliki kendaraan untuk melaju dengan cepat dan nyaman. Ada beragam jenis kendaraan yang hadir pun para pejalan kaki ikut terhitung di dalamnya. Demi apa kiranya kita bertaruh pada jalanan yang tak pernah lengang? Bertaruh pada hidup yang tak pernah berhenti dari alur waktu yang terus mendesak ke depan?

Demi suatu tujuan. Tujuan yang bisa jadi beragam bagi masing-masing kita.

Itulah kita….

Nah lirik lagu The Script berusaha memberikan penjelasan dari sudut sisi kompromistis

Man who can’t be Moved,…???

Japar si legenda Pemalang punya alasan untuk menjawabnya. Dia bilang:

“How can move on when i’m still in love with you, beibe ??”………beuh…

Loh apa hubungannya ??? Blegedes jarene bocah bocah Iwakan Mulyoharjo, Can’t be Moved dari Pemalang, karena terlanjur Cinta ??? Bias dan Prematur…Cinta ini adalah makna universal; yang menembus ruang dan waktu. Trus Cinta yang seperti apa yang dimaksud Mas japar?

Mungkin Simbah Kahlil Gibran bisa sedikit membantu menjelaskan, teorinya Japar.

“Siapapun, kita yang menjalani hidup ibaratnya adalah seekor burung yang terbang tinggi mengelana untuk kemudian hinggap dalam terminal terminal asa. Terminal harapan adalah pemberhentian sementara dimana kita me recharge spirit dan Cinta. Burung terbang dan terbang lagi untuk kemudian hinggap lagi ke terminal harapan, untuk suatu saat kembali ke terminal akhir yang paripurna, terminal peniadaannya”

“Terminal asa persinggahannya bisa saja Pemalang, Jakarta, Ngglintang, Clekatakan dll “, nah terminal Paripurnanya ya Akhirat…..

Ada cinta di jiwa ini yang menemani terbangnya burung dan menyalakan HARAPAN. dan Pemalang adalah Cinta kita dengan segala peraduannya. Karena Cinta inilah yang menggerakkan kita untuk senantiasa menggetarkan kita ketika ada yang menyebutkan kata Pemalang….masih ada Harapan sobat..

Wis ah ngromedte…..turu njuh….

Pemalang Dalam Jejak Gambar


Sebuah Kota mampu mematahkan hatimu, meluruhkan jiwamu, tapi juga mampu melahirkan cinta untukmu.
Kisah-kisah dalam foto ini dimulai dari hal kecil yang kadang terlewat dari keseharian kota Pemalang. Cinta dari dejavu para nelayan, prasangka di bawah hiruk pikuk pasar, perjalanan meniti kumuhnya kota, perihnya senja terakhir di pantai, pandangan pertama di peragaan kuliner pemalang, pencarian pintu misteri sebuah pabrik gula dan petilasan plawangan, prealisme magis adu ayam dan sisi lain Pemalang.

1.Republik Ontel

Pit Ontel

Pit Ontel

Bukan di Holland, tapi di Pemalang ada sentra jual beli sepeda ontel di Pasar Pagi. Bermacam merk sepeda tua berjajar menunggu dibeli oleh tuan barunya. Jakarta….Ya dipilih …dipilih…dipilh…Entah apakag ini berkorelasi dengan fenomena Pemalang, sebagai Ojek Sepeda terbesar di kota Jakarta

2. Chicken Wrestling, Inilah realisme Pemalang.

pasarpagi 2

pasarpagi 3

Dua gambar diatas bercerita tentang prosesi adu ayam serta penonton yang riuh di sudut kota Pemalang di Pasar Pagi. Paradoks, kota yang katanya banyak santrinya, banyak pula gelanggang adu ayam. Menarik adalah penonton yang menggunakan helm biru, agaknya dia sadar keamanan, dari resiko di “tladung” ayam yang bertarung.

 

pasarpagi 4

Reparasi Sepatu Kuda

3. Disebut DOKAR di Pemalang, kendaraan rakyat berupa kereta kuda. Dokar adalah kendaraan yang  ramah lingkungan, karena dia tak memerlukan BBM yang mengotori udara. Satu hal, sang kusir harus rajin mengenakan sepatu yang pas buat kuda, dan itu bukan Nike atau Adidas, tapi paku dan tapal besi…seperti di gambar.

pasarpagi 5

Banjir Bawang Merah

4. Ada ribuan bawang  yang bisa memerihkan mata, ya Pemalang adalah salah satu sentra penghasil bawang terbesar di Indonesia, selain Brebes.  Tapi anda gak perlu mengkorelasikan air mata yang menetes akibat perihnya bersentuhan dengan bawang, dengan muramnya perekonomian masyarakat di Pemalang, paling nggak, semoga bisa berubah.

pasarpagi 6

Nasgintel pun ada di Pemalang

5. Teh Poci, Nas Gin Tel, Panas Legi Kentel, adalah branded sajian teh poci di Pemalang. Gak perlu ke Tegal atau Brebes, di Pemalang juga bisa memesan teh poci Nas Gin tel di warung warung. Konon kabarnya teh poci pemalang lebih legit ketimbang teh poci Tegal yang merupakan sentra teh poci Indonesia. Filosofi teh poci Pemalang lebih absurb ketimbang teh poci tegal yang mainstream.

pemalang 15

Pabrik Gula Sumberharjo

6. Pabrik Gula Sumberharjo Pemalang, oh….sayang nasibnya tak semanis gula yang dihasilkannya. Gula lokal yang  harus bersaing dengan gula impor murah dari Vietnam. Pabrik gula Sumberharjo, kalo tak diproteksi Pemerintah, terancam tumbang…

pemalang 6

Lelang Ikan di Tanjungsari

pemalang 9

Menjaring Ikan di Tanjungsari

7. Industri Rakyat Perikanan, itulah wajah yang paling membumi dari kota Pemalang. Ya Konon bidang perikanan ini menyumbang sekitar 20 % PAD Pemalang. Ikan asin Pemalang, adalah yang kedua terbesar di Jawa tengah…

pemalang 5

Yang Terpencil di Pemalang

8. Inilah “the otherside” sisi buram pembangunan di Pemalang. Konon (sampai ketika photo ini diambil) desa terpencil dibalik  gunung ini belum beruntung merasakan aliran listrik. Ya paradoksal dengan berita investasi raksasa PLTU yang kabarnya akan ditanam di Pemalang.

pemalang 4

The Long And Winding Road, awal tanjakan Paduraksa

9. “Ngos Ngosan” para pekerja menuntun sepedanya mendaki perbukitan menanjak selepas desa Paduraksa arah Bantar Bolang. Dari sinilah awal rute “memanjak” jalur Pemalang ke Moga berawal. Gambar ini semacam simbol masyarakat Pemalang yang masih “ngos ngosan” menjalani hidup. Pembangunan yang mandeg, sektor riil yang tak bergerak…

pemalang 2

Bioskopku Sayang, Bioskopku Malang

bioskop2 - Copy

Tinggal Kenangan Bioskop Indra dan Sultan

10. Mati segan, Hidupun sekarat. Bioskop Wijaya, satu satunya hiburan yang tersisa, menunggu ajal. Tak kuat melawan gempuran DVD dan Televisi. Dulu bioskop adalah satu tempat hang out anak muda Pemalang, semacam Blok M nya Pemalang, sayang sekarang menanti ajal….Rest In Peace Bioskop Indra dan Sultan

DSC_7770

Nyamplungsari Beach

 11. Senja di Nyamplungsari. Nyamplungsari biasa disebut sebagai pantai Joko Tingkir. Lokasinya sekitar 5 km dari Pemalang ke arah timur. Pantai yang masih alami, bisa sebagai obat pelepas rindu, pengenang masa kecil dahulu.

siah1

Krupuk Usel, Icon Pemalang

12. Krupuk Usel. Namanya Kriupuk Usel. Kerupuk lokal yang dimasak sangrai menggunakan pasir. Konon kabarnya krupuk usel adalah makanan lokal yang bertahan 2 abad sejak jaman Sultan Agung dulu. Alkisah pasukan Sultan Agung dalam perjalanannya ke Batavia sempat mampir ke daerah Pemalang dan disuguhi krupuk usel.

SAM_2706

Pasar Sore, Benhill nya Pemalang, Kuliner Yuk

13. Pasar Sore. Kalo di jakarta kita mengenal Benhill sebagai pusat jajanan, kuliner di Jakarta, di Pemalang ada Pasar Sore yang terletak di deket alun alun pemalang. Bermacam kuliner yang hadir, Grombyang, lotek, soto ndekem, bakso pdan soto pemalang dll

SAM_2313

Lesehan Megono II

alun 1

Lesehan Megono I

14. Nasi Megono depan Mesjid Agung.  Jangan mengaku wong Pemalang kalo belum pernah ngrasain grombyang dan megono. Megono depan Mesjid Agung Pemalang adanya di pagi hari jam 6 sd 8 sebagai menu sarapan.

karangmoncol5

Tahu Plethok Dongkal I

karangmoncol4

Tahu Plethok Dongkal II

15. Tahu Pletok Pemalang. kalau di Sumedang ada tahu Sumedang, di Pemalang ada tahu Plethok Pemalang yang berlokasi di desa Karangmoncol Dongkal. Kenapa dinamakan Tahu Plethok, konon menurut sesepuh setempat, disebut tahu plethok, karena sensasi rasanya yang mlethok, sampai ke kerongkongan, seperti halnya bir plethook (kalo ini saya belum pernah cobain).

widuri

Kompilasi Widuri, Ikon Pemalang

16. Pantai Widuri. Widuri adalah ikon Pemalang, selain Grombyang. Merupakan Ancolnya Pemalang….Sudah terlalu banyak ceritra tentang widuri, monggo biarlah gambar yang mendongengnya.

grombyang

Grombyang

siah2

Sate Ayam Siah, Cokrah

bongkot

Pecak Panggang Bongkot

SAM_2701

Pepes Telur Ikan Bongkot

bongkot2

Megono

17. Aneka Masakan Pemalang. Grombyang merupakan ikon kuliner Pemalang. Masakan yang seperti rawon disajikan dengan daging kerbau serta sate babat. Jika anda gak suka makanan mainstream di Pemalang, ada sate ayam, Kupat Tahu Siyah di daerah Cokrah yang nikmat. Pecak Iwak dan pepes telor ikan dpat dinikmati di warung Bongkot yang terletak di Pasar Sore Pemalang. Megono dapat dinikmati warung Mahrad dan pinggiran jalan A Yani di Pemalang.

gemblong

Gethuk

jajan5

Kamir Arab

jajan3

Apem Comal

jajan1

Kintelan

18. Aneka Jajanan Pemalang. Gemblong, Kamir Arab, Apem dan Kintelan adalah jajanan lokal yang bisa dinikmati di Pemalang. Wow, menembus batas, beberapa jajanan asli pemalang bahkan menembus pasar nasional seperti Kamir

serang6

Peternakan Bebek di Desa Serang Petarukan

19. Urbanisasi Bebek. Tahukah anda, Kota Pemalang adalah pemasok terbesar bebek di ibukota. Wekwekwekwek gak cuma orang Pemalang yang gemar merantau, bebek Pemalangpun banyak bermigrasi ke Jakarta bertransformasi menjadi bebek panggang.

plawangan

Situs Plawangan, The Border Town

20. Situs Plawangan. Plawangan adalah the border town, karena letaknya yang berubah. Dulu Plawangan dikenal sebagai daerah lokalisasi sebelum berubah menjadi tempat religi. Ya, Plawangan adalah simbol perubahan kota Pemalang.

pemalang 10

Tumbangnya Bangunan Bersejarah I

pemalang 7

Tumbangnya Bangunan Bersejarah II

21. Pemalang Heritage

Anda mungkin sekarang tak melihat bangunan peninggalan Belanda ini lagi di Pemalang. Bangunan bersejarah ini sudah berganti dengan Hotel. Dont Cry For Me Pemalang, Roda jaman terus berputar, dan bangunan bersejarah ini ikut tergerus modernitas…ehem

Hendrawan-dan-Keluarga

22. Pemalang Punya Juara Dunia

Pemalang punya keluarga juara dunia Bulutangkis yang mengharumkan Indonesia. Ada Hendra Setyawan, Juara Dunia Bulutangkis dan Olimpiade, dan Keluarga Silvia Hendrawan (Pelatih Tim Nas Bulutangkis Malaysia). chayooo

Pemalang Heritage: Jejak Belanda di Pemalang


Rumah peninggalan Belanda di Jl Ahmad Yani Pemalang, yang sangat eksotik, demikian juga dengan Loko Tua pengangkut tebu serta gerendel lorinya. Gedung Sidang pengadilan di Pemalang seolah mewakili sejarah pengadilan di Pemalang. Untuk infrastruktur diwakili peninggalan jembatan kuno tempat loko berlabuh, di kaliwaluh. Sementara bangunan pabrik gula Sumberharjo Pemalang adalah legenda hidup peninggalan Belanda yang sayang sekali kondisinya masih sekarat, berjuang hidup ditengah gempuran impor gula murah dari Vietnam….

Gedung bersejarah tersebut ada yang tinggal sejarah, digusur atas naman modernitas, pembangunan, seperti hanya bangunan bersejarah Pabrik Gula di Petarukan yang hanya menyisakan dokumentasi nya.

Biarkan gambar yang bercerita, monggo dinikmati sambil ngopi, dan bagi generasi muda Pemalang, minimal bisa tau, bahwa sebenarnya di jaman terdahulu,Belanda meninggalkan bangunan bangunan bersejarah yang tinggalkenangan.

pemalang 10

Gambar

Gambar

pemalang 14

Gambar

Gambar

pemalang 12

pemalang 11

Pabrik Gula Pataroekan Pemalang 1926pabrik sumber

d76ebd37-4129-acec-24f8-f4d5419cb914

Rumah Pejabat Residen Belanda di Pemalang AH Klein

960b01af-bcd0-47ce-b925-b64a4aae4e7a

Residen di Kedung Jati

2a29fa71-369b-40fe-9d0a-55ada7acd510

Perumahan Pejabat Belanda di Petarukan

Pemalang dalam Sejarah : Pemberontakan Tiga Daerah


Revolusi tiga daerah yaitu Tegal, Pemalang, dan Brebes (karisidenan Pakalongan) yang terjadi pada bulan Oktober sampai Desember 1945. Peristiwa ini terjadi setelah seluruh elite birokrat, pangreh praja (residen, bupati, wedana, camat), dan sebagain besar kepala desa diganti oleh aparatur pemerintah yang baru. Pergantian seluruh aparatur pemerintah ini berasal dari berbagai aliran yang pada waktu itu berkembang dan diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, komunis, serta sosialis. Disinilah mulai terjadi pertentangan antara golongan kiri dan golongan Islam ataupun golongan lain yang merasa dirugikan.

Revolusi Tiga Daerah merupakan salah satu revolusi lokal Indonesia yang mempunyai ciri dan keunikan khusus karena dianggap sebagai sebuah revolusi rakyat untuk mengubah struktur masyarakat kolonial dan feodal menjadi sebuah masyarakat dengan hidup yang lebih demokratis tanpa penindasan dan eksploitatif dari pemeritah kolonial. Terjadinya revolusi ini merupakan wujud ketidakpuasan rakyat terhadap kehidupan saat itu yang didominasi oleh kemerosotan ekonomi dan kemelaratan, sehingga membuat rakyat melakukan berbagai perlawanan terhadap elite birokrat. Perlawanan-perlawanan di karisedenan Pekalongan sebenarnya sudah dirintis sejak lama, antara lain Sarekat Rakyat Pekalongan tahun 1918 dan Sarekat Rakyat tahun 1926.

Peristiwa tiga daerah ini dimulai dari adanya aksi protes terhadap tanam paksa di pabrik gula dan beban wajib kerja (corvee) yang menjadi inti tanam paksa Belanda. Selanjutnya terjadi berbagai macam pemerontakan kecil, diantaranya “ Brandal Mas Cilik” di Tegal yang merupakan pemberontakan petani tahun 1864, pemberontakan ini dipimpin oleh dukun yang bernama Mas Cilik yang menyerang dan membunuh pegawai pabrik gula milik Belanda di Tegal. Selain itu, pada tahun 1926 di Tegal terjadi pemberontakan petani yang berideologi komunis sebagai aksi protes untuk melawan corvee. Akibat pemberontakan petani dengan payung komunis ini mengalami kegagalan, maka para pemimpin yang terlibat dalam aksi masa tersebut banyak dipenjarakan dan dibuang di Boven Digul. Setelah kembali dari pembuangan, mereka kembali mengorganisasi masa di Tiga Daerah untuk melakukan revolusi yang bertujuan mengubah struktur pemerintahan pada tahun 1945.


Peristiwa Tiga Daerah bukan hanya revolusi sosial untuk melakukan protes terhadap eksploitasi yang dilakukan Belanda, namun selain latar belakang sosial dan politik, serta ekonomi masih banyak sekali latar belakang lain sehingga peristiwa ini meletus dan menjadi peristiwa revolusi lokal. Faktor-faktor ini dapat diidentifikasi sebagai faktor kepemimpinan, ideologi dan konteks kebudayaanya.

Latar belakang peristiwa tiga daerah juga dapat ditinjau dari segi fisik, yaitu Brebes yang berbatasan dengan Jawa barat yang berbahasa sunda dan daerah pedalaman Banyumas selatan, bukan saja secara geografi terpecah belah, melainkan adat istiadat dan bahasa ditarik kedua arah yaitu bahasa Jawa dan Sunda. Tegal sebuah kota dengan kondisi masyarakat dengan tingkat kemiskinan lebih tinggi dari pada wilayah tetangganya juga melakukan revolusi lokal, meskipun demikian Tegal mempunyai kebanggaan karena dikuasai oleh seseorang yang mengerti perwatakan di wilayah ini. Pemalang sebuah kawasan yang cukup kaya dibandingkan dengan dua wilayah lainya. Revolusi yang terjadi di Pemalang ini merupakan pengaruh dari Brebes, Tegal atau Pekalongan.

                                                                   Ada beberapa hal yang perlu diketahui untuk memahami Peristiwa Tiga Daerah. Pertama, ialah perubahan sebelum tahun 1945, yaitu dalam bidang ekonomi dan politik sebelum Perang Dunia Kedua. Hal ini harus dikaitkan dengan perubahan ekonomi akibat masuknya modal asing (Eropa) di abad sembilan belas dan sistem Tanam Paksa yang berpengaruh besar terhadap kehidupan petani. Di tempat yang memiliki pabrik gula, golongan elit birokrat maupun kepala desa sering bertindak sebagi pejabat kapitalis Eropa, seperti dalam soal sewa tanah, penarikan pajak dan corvee (kerja paksa). Hal ini menyebabkan masyarakat kecil terutama para petani menjadi semakin menderita. Dari penderitaan ini lahir semangat revolusi untuk melawan kolonial Belanda maupun birokrat pemerintah di masing-masing daerah.

Kedua, dampak pendudukan Jepang yang membebani rakyat dengan wajib pajak dalam wujud menyetorkan hasil padi, romusha, tanam paksa, dan penjarahan bahan pokok. Walaupun dampak sistem pelaksanaan pengambilan bahan pokok dalam romusha berbeda menurut tempatnya masing-masing, yaitu tergantung pada sikap pejabat-pejabat lokal dan para pemimpin perjuangan setempat, namun pelaksanaan peraturan peraturan setoran padi merupakan beban yang berat dalam bidang ekonomi di masa penjajahan Jepang. Akibat kebijakan ini, telah menyebabkan terjadinya kelaparan dimana-mana termasuk juga di tiga daerah tersebut. Oleh sebab itu, muncul perasaan kebencian yang mendalam terhadap para elite birokrat, yang menurut rakyat dianggap sebagai penyebab utaman terjadinya berbagai kasus kelaparan yang diakibatkan kesewenang-wenangan dalam menarik setoran padi.

Ketiga, terlihat daru ciri-ciri revolusi sosial di masa revolusi di Pekalongan, yaitu pembagian kekayaan, pengusiran atau pergeseran elite lama dan pemimpim tradisional lain yang dianggap terlalu keras terhadap rakyat dan setia kepada Belanda atau Jepang. Dalam hal ini revolusi di wilayah Pekalongan punya ciri khas tersendiri, yaitu dengan adanya kekerasan terhadap golongan Cina, Indo-Belanda, Pangreh Praja dan Lurah. Namun pembahasan mengenai kekerasan terhadap orang-orang Cina ini belum dapat dikatakan sebagai gerakan anti Cina sebab banyak juga orang-orang Cina yang menjadi pemimpin pejuang revolusi, khususnya di Pemalang. Mereka juga menjadi penyumbang dana terbesar untuk membantu revolusi ini.


Peristiwa Tiga Daerah bukan hanya dari sektor ekonomi maupun politik, tetapi juga dapat dilihat dari faktor budaya. Menurut pandangan kaum priyayi, kepemimpinan revolusi sosial itu adalah sesuatu yang berasal dari luar atau asing, namun menurut golongan kiri revolusioner, tujuan utama revolusi mereka adalah penghapusan hierarki sosial dalam penggunaaan bahasa. Mereka menghendaki dihapusnya sebutan-sebutan untuk kaum priyayi dan menggunakan bahasa Jawa rendah dalam berkomunikasi. Hal ini merupakan suatu gerakan radikal yang mendasar di dalam konteks kebudayaan Jawa dan didasarkan tujuan dari ideologi komunis, yaitu persamaan diantara seluruh rakyat.

diambil dari buku Peristiwa Tiga Daerah karya Robert Cribb

Sumber dari http://suparjorhmn.blogspot.com/2013/01/revolusi-tiga-daerah.html

ANTON LUCAS Dalam Sejarah Pemalang: Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Sosial atau Pemberontakan?


Peristiwa Tiga Daerah adalah sebuah peristiwa pergolakan yang timbul di awal bulan-bulan pertama sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dikatakan Tiga Daerah karena peristiwa ini mencakup tiga wilayah atau daerah di Keresidenan Pekalongan, yakni Brebes, Pemalang, dan Tegal, yang disebut Tiga Daerah. Setelah terjadinya peristiwa ini, elit-elit birokrasi di Tiga Daerah tersebut akhirnya dapat disingkirkan.

Latar Belakang
Sebuah peristiwa tidak pernah terjadi dengan satu alasan tertentu, seringkali ada beberapa alasan yang menyeruak ke permukaan. Anton Lucas menilai awal peristiwa ini berasal dari keadaan sosio-ekonomis ketika pengaruh kapitalisme Barat masuk pada Abad ke-19. Tanaman tebu diperkenalkan dalam sebuah program tanam paksa dan dapat tumbuh dengan baik. Dapat dibayangkan pada saat itu hanya ada empat dari tujuh belas pabrik gula di seluruh wilayah keresidenan yang tidak terdapat di wilayah Tiga Daerah.

Pabrik gula pun melakukan investasi yang besar terhadap irigasi untuk menjamin terpasoknya air bagi tanaman tebu mereka. Disinilah mulai muncul konflik antara petani dan pabrik gula. Bentuk awal konflik ini biasanya berupa pembakaran ladang tebu yang dilakukan oleh para petani sebuah bentuk protes. Yang menjadi perhatian lain adalah di Keresidenan Pekalongan sendiri, beberapa tokoh PKI yang concern terhadap nasib petani juga adalah tokoh politik yang radikal. Maka tidak heran ketika tahun 1926 setelah terjadi pemberontakan yang dilakukan tokoh PKI dan nasionalis, banyak yang diantaranya dipenjara bahkan dibuang atau diasingkan ke Boven Digul, Irian Barat.

Ketika penjajahan Jepang, penderitaan para petani tidak juga berubah malah semakin terpukul melalui kebijakan ekonomi Jepang. Salah satu hal yang begitu memukul keadaan petani ialah dengan adanya kewajiban untuk memberikan separuh hasil panen padi di beberapa kawasan di Tiga Daerah. Selain itu adanya hubungan yang dekat antara Jepang dan elit birokrasi membuat keadaan tambah buruk.

Elit birokrasi juga ditempatkan sebagai tuan tanah, tempat mengumpulkan padi secara paksa dari petani untuk memenuhi jatah setoran, selain membantu kecamatannya untuk memenuhi jatah tenaga kerja. Tidak sedikit elit birokrasi yang korup dan justru menimbun semua barang-barang yang dikumpulkan dari petani.

Rakyat justru jatuh menderita. Akhir tahun 1944 dilaporkan banyak orang-orang yang terpaksa makan bekicot, bonggol pisang, dan tanaman hutan, bahkan tidak sedikit yang mati kelaparan di tengah jalan. Dapat dikatakan bahwa taraf hidup elit birokasi dan Peta menjadi makmur namun rakyat menjadi serba kekurangan.

Jalannya Peristiwa
Proklamasi membawa dua arah angin yang berbeda, di satu sisi rakyat
menanggapinya dengan penuh kegembiraan terutama di kalangan nasionalis namun di sisi lain disambut kebingungan oleh kalangan elite birokrasi dan Jepang. Akhirnya Proklamasi melahirkan dilema bagi para pejabat setempat dalam menentukan sikap terhadap pejabat sipil dan militer yang masih berkuasa di keresidenan tersebut.

Golongan rakyat yang revolusioner menanggapi proklamasi dengan kegembiraan sedangkan elite birokrasi sama sekali tidak mengetahuinya dan kebingungan semakin menjadi-jadi karena sumber informasi mereka yakni pejabat Jepang setempat, menolak membenarkan desas-desus proklamasi tersebut. Misalkan Bupati Brebes yang mengatakan bahwa Proklamasi tidak berarti apa-apa sampai penguasa Jepang di Keresidenan Pekalongan secara resmi menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah Republik setempat.

Ketika gerakan revolusioner ini terjadi banyak pejabat-pejabat elite birokrasi yang dibuat malu dengan dipecat oleh barisan Komite Nasional Pekalongan, misal di sebuah kecamatan di Tegal Selatan. Bahkan dalam tempo seminggu, revolusi sosial ini sudah melanda kawasan pedesaan Tiga Daerah.

Gelombang revolusional tersebut juga melabrak ibu-ibu kota Kabupaten Pemalang dan Tegal pada tanggal 19 Oktober dan 4 November, dan Brebes di antara kedua waktu itu. Banyak pejabat yang mencari perlindungan dari serbuan gerakan revolusioner ini, termasuk meminta saran kepada Komite Nasional setempat. Ketika elite birokrasi menjadi sasaran khusus, kekejaman kaum revolusioner tertuju pula kepada orang-orang Cina dan Indo-Eropa.

Tidak sedikit kekayaan orang-orang Cina dirampok atau diambil alih, begitu pun dengan orang-orang Indo-Eropa yang mendapat privilege sebagai penduduk asing dan menempati kedudukan ekonomi dengan hak-hak istimewa. Pada pertengahan bulan Oktober, lebih dari seratus orang Indo-Eropa, Ambon, dan Menado dibunuh di Tegal dan Brebes karena dianggap “pro-NICA” atau “mengkhianati revolusi nasional”.

Persepsi Revolusi 1945
Gerakan Tiga Daerah bertujuan untuk memecat elite birokrasi yang telah memerintah atas nama Belanda (dan juga Jepang). Dari persepsi revolusi di kawasan ini pada tahun 1945 dituangkan dalam istilah budaya yang khusus.

Sarjio seorang residen melakukan tindakan menghapus bentuk-bentuk dan sebutan-sebutan aristokrat di Pekalongan. Hal ini dipacu agar tata pemerintahan benar-benar “demokrasi dan semangat kekeluargaan”. Dalam tindakannya Sarjio menganjurkan untuk tidak usah menggunakan bahasa kromo namun harus menggunakan bahasa ngoko dan bahasa Indonesia. Dengan bertingkatnya bahasa yang dijunjung elite birokrasi sebelumnya ini memunculkan manipulasi dan politik pencitraan dalam penggunaan bahasa. Selain di bidang bahasa, Sarjio juga melakukan aksi-aksi yang berbau upacara agama yang dikenal dengan sebutan dombreng

Sumber: http://alzurjani.blogspot.com/2011/06/peristiwa-tiga-daerah-revolusi-sosial.html

Kenapa Dinamakan Pemalang


kaos-pemalang-0km-8436280

Mengenai dari mana nama Pemalang berasal,terdapat bermacam-macam legenda sebagai berikut:

  1. Nama Pemalang diambil dari kepribadian watak rakyat Pemalang yang bersemboyan:

– Benteng wareng ing payudan tan sinayudan.

– Banteng wareng ing sinonderan yang artinya, rakyat Pemalang jika sudah dilukai atau dijajah berani berjuang RAWE-RAWE RANTAS MALANG-MALANG PUTUNG BERANI BERKORBAN HABIS-HABISAN DEMI NUSA DAN BANGSA.

– Arti banteng wareng rakyat kecil payudaan : perang tan sinayudan : perang tidak dapat dicegah RAWE-RAWE RANTAS MALANG MALANG PUTUNG BANTENG WARENG SINONDERAN : Dalam melawan musuh sambil menari-nari, sinonderan biarpun sampai kalung usus takan pantang menyerah.

  1. Nama Pemalang diambil dari nama sungai me’malang’ yang membentang dari sebelah utara desa Kabunan membujur ke pelabuhan Pelawangan. Sungai tersebut sering digunakan untuk sarana angkutan, membawa barang-barang dari pusat Pemalang ke berbagai wilayah seperti Kabunan, Taman, Beji, Pedurungan (pada abad ke XIV di masa Majapahit berkuasa) saat itu penguasa Pemalang adalah Ki Gede Sambungyudha.
  2. Karena erosi akibat arus sungai yang membawa lumpur dari gunung ke laut diperkirakan per tahun terkikis lima-enam meter maka sungai MALANG berpindah ke utara dari Comal ke Asemdoyong, sungai itu melintang malang, tidak dari selatan gunung ke utara tetapi dari timur ke barat, sehingga membingungkan orang yang mau berbuat jahat. contohnya ketika patih Thalabuddin dari kesultanan Banten membawa keris Kyai tapak ia mendadak menjadi bingung ( keder ) sehingga mondar-mandir saja di Pemalang.

K ota Pemalang di pantai utara Jawa Tengah saat ini merupakan ibu kota Kabupaten Pemalang. Kota itu terletak di antara dua kota besar yang menjadi tetangganya, yaitu Pekalongan di sebelah timur dan Tegal di sebelah barat. Pemalang boleh dikatakan sebuah kota yang sudah tua umurnya sehingga kisahnya pantas dibanggakan.

Tanggal lahir Kabupaten Pemalang adalah 24 Januari 1575. Artinya, mulai saat itulah resmi ada pemerintahan kabupaten. Tentu saja jauh sebelumnya pasti sudah ada kehidupan masyarakat yang berpusat di daerah tersebut. Tidak mungkin suatu pemerintahan berdiri secara tiba-tiba.

Sejarah Pemalang dapat dikaitkan dengan Kerajaan Mataram Kuno yang berdiri pada tahun 700-an (abad ke-8) di Jawa Tengah. Kerajaan itu subur makmur loh jinawi; terbukti mampu membangun Candi Borobudur di Magelang dan candi-candi di dataran tinggi Dieng, dekat Wonosobo. Diperkirakan daerah Kedu yang memanjang dari Borobudur sampai Dieng merupakan wilayah inti kerajaan. Dihuni penduduk yang bertani dan berladang dengan penuh kebahagiaan.

Waktu itu belum dikenal nama Pemalang, tetapi tempat-tempat tertentu di daerah tersebut sudah dijadikan pelabuhan. Jadi, daerah Pemalang boleh dibayangkan sebagai pintu gerbang Mataram Kuno. Wajar, karena posisinya di bawah dataran tinggi Dieng. Namun, daerah itu belum sempat berkembang ketika terjadi keruntuhan Mataram Kuno.

Menurut sejarah, pada pertengahan tahun 900-an (abad ke-10) terjadilah perpindahan pusat kerajaan ke Jawa Timur, yaitu di aliran Sungai Brantas. Mungkin karena gempa bumi atau gunung meletus. Pada zaman itu, Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro masih menjadi gunung berapi yang ganas. Mungkin juga karena perang. Yang jelas, surutlah kekuasaan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Yang berkembang kemudian adalah Singosari, Kediri, dan Majapahit di Jawa Timur. Waktunya kira-kira dari abad ke-11 sampai akhir abad ke-15.

Kehidupan masyarakat yang tersisa di Jawa Tengah tetap berjalan terus, tetapi selama ratusan tahun tidak menghasilkan prestasi yang gemilang. Selama itu pula Pemalang merupakan daerah yang bebas dari kekuasaan mana pun. Mataram Kuno sudah runtuh, sedangkan kekuasaan baru di Jawa Timur sangat jauh jaraknya. Pemalang seperti “daerah tidak bertuan”.

Konon Pemalang pernah dimanfaatkan oleh Patih Gajah Mada sebagai pangkalan perang ke Sriwijaya. Dukungan orang Pemalang di bawah pimpinan Ki Buyut Jiwandono atau Ki Buyut Banjaransari membuahkan hasil gemilang. Karena itu, Pemalang dijadikan daerah perdikan. Artinya, suatu wilayah yang tidak dipungut pajak. Sebuah perdikan biasanya diberikan kepada tokoh yang berjasa besar.

Pemerintahan atau kekuasaan di Pemalang mulai berkembang pada akhir tahun 1350-an berkaitan dengan Majapahit. Kerajaan tersebut mencapai puncak kejayaan di bawah kekuasaan Maharaja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Wilayahnya meliputi seluruh Nusantara, dan pengaruhnya sampai ke Pulau Madagaskar di dekat Benua Afrika. Kejayaan itu tercapai berkat Sumpah Palapa Gajah Mada yang bertekad mempersatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah bendera Majapahit.

Penyatuan atau penaklukan itu ada yang berjalan secara damai dengan hubungan dagang dan pemerintahan (politik), tetapi ada juga yang harus dengan peperangan. Walaupun sudah menjangkau seluruh Nusantara, masih ada daerah-daerah tertentu yang terlewat. Salah satu kerajaan yang belum tunduk kepada Majapahit adalah Pajajaran di Pasundan (Jawa Barat).

Pajajaran memiliki kekuatan militer yang canggih, dukungan rakyat yang hebat, kekayaan alam yang berlimpah, keindahan alam yang menawan, dan gadis-gadis yang cantik. Seorang putrinya yang bernama Dyah Pitaloka bagaikan bidadari turun ke bumi. Keadaan itu membikin Gajah Mada merasa sayang untuk menaklukkan Pajajaran dengan peperangan. Lantas dicarilah siasat yang jitu agar Pajajaran dapat dikalahkan secara damai, bahkan dirangkul mesra. Singkat cerita, tersusunlah sebuah siasat untuk menguasai Pajajaran.

Pada mulanya, disiapkan pinangan atau lamaran Hayam Wuruk kepada putri Dyah Pitaloka dengan keyakinan pasti disambut hangat. Pinangan dari seorang maharaja berarti penghormatan. Kalau sampai ditolak berarti perlawanan. Ternyata benar, lamaran itu diterima baik-baik, bahkan di-sanggupi keberangkatan calon pengantin putri ke Majapahit.

Tetapi apakah yang terjadi kemudian?

Sampai di desa Bubat rombongan Pajajaran dihentikan. Kemudian diberi penjelasan bahwa calon pengantin putri harus dihadapkan sebagai persembahan atau upeti. Artinya, Pajajaran harus mengakui kekuasaan Majapahit. Tentu saja hal itu menimbulkan kekecewaan Pajajaran sehingga terjadilah perang yang seru.

Tahulah Gajah Mada bahwa rombongan tersebut bukan pasukan militer yang siap berperang. Mereka hanya rombongan calon pengantin putri. Mereka kaget, panik, dan berantakan menghadapi serangan yang mendadak. Raja Pajajaran terpaksa mengakui kekalahan dengan dendam yang berat.

Dendam pun melekat di hati Dyah Pitaloka yang merasa dikhianati. Sadarlah dia bahwa pinangan terhadapnya hanyalah siasat Majapahit menaklukkan Pajajaran. Setelah lolos dari kancah pertempuran, dia pun berniat kembali ke Pajajaran. Akan tetapi, di tengah perjalanan dia mengakhiri hidupnya dengan kerisnya sendiri.

Peristiwa tragis itu terjadi pada tahun 1348 di desa Bubat sehingga terkenal dengan nama Perang Bubat. Dalam berbagai cerita tidak dijelaskan di mana sebenarnya letak desa atau kota Bubat. Yang ada sekarang adalah kota Babat di Kabupaten Lamongan, pantai utara Jawa Timur. Bisa dibayangkan pada zaman kuno tempat itu merupakan salah satu gerbang masuk ke Majapahit. Apakah Bubat di zaman kuno sama dengan kota Babat sekarang merupakan kisah tersendiri.

Di sebelah barat Pemalang ada kota kecil Babadan. Namanya hampir sama dengan Bubat. Mungkin juga di situlah perang terjadi. Yang jelas, setelah perang berakhir banyak prajurit Majapahit yang tidak langsung kembali ke markasnya. Ada yang beralasan jenuh berperang, ingin merintis kehidupan baru, dan berguru kesaktian kepada para pendekar terkenal.

Waktu itu Ki Buyut Banjaransari di perdikan Pemalang sudah tersohor kesaktiannya. Wajar bila banyak orang berguru kepadanya. Di antaranya adalah Ki Bondan Lamatan yang telah

Sampai di Bubat, terjadilah perang yang seru sehingga Raja Pajajaran terpaksa mengaku kalah dengan dendam yang berat.

bertugas sebagai senopati atau komandan prajurit Majapahit dalam Perang Bubat.

Ki Bondan Lamatan tidak hanya memperoleh kesaktian, bahkan menjadi menantu gurunya. Dia menikah dengan Endangsih dan menurunkan sepasang anak lelaki, yaitu Raden Sambungyudha alias Joko Malang dan Raden Aburabur. Setelah dewasa, Raden Joko Malang berguru kepada Ki Tapel Wojo hingga tuntas dan diakui masyarakat sebagai pendekar yang hebat.

Hal itu sangat menyenangkan hati ayah dan kakeknya. Kebetulan Ki Buyut Banjaransari tidak sempat mengurus perdikan Pemalang karena kesibukan. Mestinya Ki Buyut Banjaransari melimpahkan kekuasaan perdikan itu kepada menantu Ki Bondan Lamatan. Tetapi Ki Bondan belum sanggup melaksanakan, bahkan memilih jadi pendekar di Gunung Slamet. Itulah sebabnya kekuasaan perdikan diwariskan ke tangan Raden Joko Malang atau Raden Sambungyudha.

Diperkirakan nama Pemalang berkaitan dengan nama tokoh tersebut. Kata pe atau pa dalam bahasa Jawa dapat menunjukkan tempat, sedangkan malang kebetulan menunjukkan nama orangnya. Jadi, Pemalang berarti ‘suatu tempat yang dimiliki atau dikuasai Raden Joko Malang’. Tidak lama kemudian, namanya menjadi Ki Gede Sambungyudha sesuai dengan kedudukannya sebagai penguasa.

Waktu itu bumi Pemalang masih dipenuhi semak belukar, hutan lebat, dan rawa-rawa. Penduduknya terpencar di sepanjang sungai-sungai yang menjadi sumber air dan sekaligus jalur perhubungan dengan perahu dan sampan. Jalan darat masih sangat terbatas karena terhalang hutan dan semak belukar. Sulitnya perhubungan darat mendorong Ki Gede Sambungyudha merintis pembangunan jalan dan jembatan di berbagai termpat. Tokoh yang besar jasanya dalam rintisan itu adalah Ki Patih Jiwanegara.

Selanjutnya, Pemalang diperintah oleh putranya yang bergelar Adipati Anom Windu Galbo, sedangkan patihnya masih tetap Ki Jiwanegara. Sayang sekali, perkembangannya tersendat karena terputus dengan pusat kekuasaan Majapahit yang runtuh pada akhir tahun 1400-an. Kebetulan muncullah kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah, yaitu Demak Bintoro yang berkedudukan di Demak.

Namun, Demak Bintoro tidak berpengaruh terhadap perkembangan Pemalang. Demak Bintoro belum sempat memikirkan wilayah yang jauh-jauh. Penguasaan ke barat hanya sampai daerah Semarang. Tidak lama kemudian, terjadilah perebutan takhta kekuasaan. Dalam waktu singkat, Demak pun runtuh dan kekuasaan berpindah ke Kesultanan Pajang di dekat Surakarta. Kebetulan Pajang pun hanya bertahan sebentar karena terjadi juga perebutan takhta kekuasaan. Yang menang adalah Raden Sutowijoyo yang mulai berkuasa di Mataram (sekarang Yogyakarta).

Runtuhnya Pajang mendorong para pemuda bangsawan dan priayi pergi mencari kehidupan baru yang lebih aman. Lebih baik hidup merdeka di kejauhan daripada ditindas kekuasaan lawan. Di antara mereka yang sampai ke Pemalang adalah Ki Gede Subayu dan Raden Sida Wini. Waktu itu Pemalang sedang komplang atau kehilangan kekuasaan. Artinya, tidak ada kekuasan yang kokoh. Sudah terputus dengan Majapahit yang runtuh, tetapi tidak terkait dengan Demak Bintoro, Pajang, dan Mataram.

Keadaan itu membuka peluang Raden Sida Wini menanamkan pengaruhnya di bidang pemerintahan. Pengalamannya sebagai bangsawan Pajang disambut hangat masyarakat Pemalang. Terbukti dia pun sempat berkuasa sebagai adipati Pemalang. Sementara itu, Ki Gede Subayu melanjutkan perjalanan ke barat dan berhasil merintis daerah baru yang kemudian bernama Tegal.

Pemerintahan yang dirintis Raden Sida Wini dilanjutkan oleh Kanjeng Jinogo Hanyokro Kusumo atau Darul Ambyah dengan semangat Islam. Pengangkatan dan pengakuan masyarakat Pemalang terhadap penguasa baru tersebut terjadi pada hari Kamis 24 Januari 1575 atau 2 Syawal 982 H. Karena itulah tanggal tersebut dijadikan sebagai tanggal kelahiran Kabupaten Pemalang.

Jelaslah riwayat Pemalang jauh lebih tua daripada Tegal dan Pekalongan. Kota tersebut sudah lahir pada zaman Majapahit, sedangkan Tegal dan Pekalongan tumbuh seratus tahun kemudian bersama kekuasaan Mataram.

Kesimpulan

Cerita ini memberi pelajaran kepada kita tentang kesadaran membangun pemerintahan yang kokoh demi kemakmuran rakyat. Suatu daerah yang tidak memiliki pemerintahan mudah dilanda kekacauan. Sebaliknya, pemerintahan yang tidak memikirkan kepentingan rakyat berarti mengkhianati tugas atau kodratnya.

Semangat Ki Gede Sambungyudha membangun jalan dan jembatan merupakan contoh kesadaran penguasa yang peduli terhadap kepentingan rakyat. Seharusnya, semangat itu dilanjutkan sepanjang zaman dengan selalu memihak kepentingan orang banyak.

#Diolah dari berbagai sumber

Asal Usul Pantai Widuri Pemalang ( Bahasa Jawa )


Ana ing abad XV, pesisir lor Jawa Tengah isih akeh alas lan rawa-rawa. warga kang manggon ana pesisir iku isih langka lan sethithik. Ing pesisir kang saiki dadi wilayah Kabupaten Pemalang urip wong lanang wadon kang jenenge Kaki lan Nyai Pedaringan. Pasangan iki beda banget. Kaki Pedaringan yuswane luwih saka setengah abad, nanging Nyai Pedaringan isih enom banget. Nanging ora dadi alangan wong loro kae ngrajut benang-benang tresna lan tali kasih urip rukun bebrayan kaya critane Rama Shinta ing epos Ramayana. Pegaweyane kaki lan nyai Pedaringan yaiku tani, ngolah sawah kang maune arupa raw-rawa sak dawane pesisir segara. Nandur palawija lan semangka.


Ing sakwijining dina, esuk-esuk nyai Pedaringan dhewekan ing gubuge, isih nyiapake sarapan, panganan kang paling disenengi kaki Pedaringan kang saiki ana ing sawah adoh saka omahe. Merga kaki Pedaringan isih gawe lahan anyar kang mengkone ditanduri palawija. Ora let suwe teka wong lanang kang bagus rupane. Dheweke njaluk pamit mlebu. Nyai Pedaringan kaget, dheweke isih mlongo sajake bingung banjur si nyai Pedaringan ngamati wong bagus mau saka dhuwur tekan ngisor awake. Ing lengen tengene ana getih ireng kenthel, getih kae katon nyata nanging ing gegere ana barang kang nyelip malah kaya gaman pusaka kerajaan, sajake sapa wong iki? Pitakon iki kang ana ing jero atine Nyai Pedaringan.


Ora let suwe pawongan mau ngenalake awake kanthi santun nyeritake asale muasale dheweke teka ing gubug nyai Pedaringan. Nyata bocah bagus mau yaiku pangeran Papak Purbaya. Punggawa saka kerajaan Mataram kang lagi ngemban tugas ngadhemake pamberontakan kang dipimpin dening Salingsingan saka Cirebon. Salingsingan pingin ngrebut lan nguasani Jawa Tengah saka Mataram.


Pungkasane Salingsingan bisa dikalahake lan pangeran Papak Purbaya bisa selamet. Ana ing dalan tumuju Mataram, pangeran Papak Purbaya weruh gubug, dheweke kepengin mampir lan njaluk tulung diobati larane. Banjur Nyai Pedaringan ngrewangi ngobati. Ora suwe wong loro mau dadi cedhak. Tekan awan, pangeran Purbaya pamit bali arep nerusake lakune. Pangeran Papak Purbaya nitipake kerise kanggo bebungah marang nyai Pedaringan. Si pangeran aweh pesen, yen keris mau diarani Simonglang iku dijaga lan diopeni. Uga dikarepake yen mengkone keris iku dadi pusaka dhaerah iku lan kang duwe hak nduweni sarta ngrawat keris iki yaiku kluwarga Pedaringan lan keturunane.


Sapa-sapa ora nduweni hak njupuk keris mau kajaba pangeran Papak Purbaya utawa wong sing kabeh driji tangane papak kaya duwene pangeran Papak Purbaya. Pangeran Papak Purbaya nerusake perjalananen marang kidul. Ing tengah-tengah lakune dheweke kudu ngliwati kali cilik saka arah wetan lan ngalir tumuju kulon kang lokasine cedhak karo segara (ing basa jawa: Malang) dheweke kaya entuk ilham utawa wangsit saka sing gawe urip kanggo menehi jeneng dhaerah iki “Pemalang”.


Kisahe, wis rada sore kaki Pedaringan nembe bali ngomah, Kaki Pedaringan rada getun lan gumun, biasane nyai Pedaringan nggawake panganan nanging nganti sore kaya iki si Nyai ora marani. Getun dadi cemburu merga kaki ngonangi nyai Pedaringan isih nyekeli keris kang dudu duweke Kaki Pedaringan. Banjur Nyai Pedaringan aweh penjelasan nerangake kepriye critane dheweke nyekel keris mau. Nanging kaki Pedaringan ora gelem nrima penjelasan saka nyai, malah dadi ribut.


Ing akhir tukarane, Nyai Pedaringan nyabut kerise kanggo mbuktike tresnane, keris mau dienggo ngiris drijine. Getih kang seger mau netes saka drijine kang lentik. Nyai Pedaringan sumpah menawa tetesan getih kang diolesake ing kembang widuri bisa ngowahi warnane (warna kembang widuri putih) nanging yen kembang widuri mau bisa dadi warna ungu, iku tandane tresnane isih suci. Ndeleng kedadeyan mau, kaki Pedaringan dadi gela lan njaluk pangapura marang nyai Pedaringan.


Kanggo nebus dosane kaki Pedaringan karo nyai Pedaringan arep nyusul lan nggoleti pangeran Papak Purbaya. Nanging nganti saiki kaki Pedaringan ora tau bali. Saiki nyai Pedaringan kang diarani “Nyai Widuri” urip dhewekan karo bayi kang isih ana ing wetenge. Nganti akhir umure, nyai widuri dadi randa. Saiki jeneng widuri diabadikake kanggo jeneng desa, merga nyai widuri tau urip ning kono.

Sumber

http://sastra-jawa007.blogspot.com/2009/12/asal-usul-pantai-widuri-ing-kutha.html

Pilkada Pemalang, Semoga Bukan Bar Ji Bar Beh,


Barjibarbeh, Bubar Siji Bubar Kabeh apa Silit Babi Abang Kabeh?

Pernah denger kalimat bar ji bar beh? Kalimat tersebut biasanya diteriakkan oleh anak kecil di Pemalang untuk mengakhiri dolanan atau permainan. Semacam  mantra kalimat penutup yang dilantunkan di akhir sebuah permainan.

So what gitu lho? Apa makna filosofis dibalik mantra bar ji bar beh tersebut?

Menurut narasumber budayawan mbeling  pemalang, Ki Ali Surahman, Bar ji bar beh adalah semacam simbol, sign dan penanda  solidarisme. Dialah penanda bentuk solidaritas untuk melakukan aktifitas bersama secara soliter sesuai dengan yang direncanakannya, dalam konteks ini adalah perintah untuk bubar bareng bareng bersamaan secara serentak.

Seperti aba aba komando, mantra bar ji bar beh merupakan “kesepakatan lisan” untuk bersama sama mengajak semua anggota kelompok, harus solider melakukannya. Jika ada yang tidak solid atau melakukan pemberontakan atau perlawanan terhadap mantra bar ji bar beh ini maka akan mendapatkan sangsi sosial dianggap keluar dari kelompok bermainnya? otoriter? tergantung dari perspektif mana kita melihat.

Dalam konteks politik , konsep barjibarbeh kemudian dipersonifikasikan terhadap praktek ajaran sama rasa sama rasa dan menghalalkan cara untuk mencapai tujuan namun sekaligus membencinya karena ‘rumongso’ sebagai bangsa timur solidaritas kita ini kuat. Satu sama lain adalah keluarga, berkelompok maka semua menjadi ‘brayat’ kerabat. Pada kita biasanya hanya guyub dan rukun kalau sama-sama susah, begitu ada kemungkinan untuk senang dan enak maka yang lain ditinggalkan.

Mengedepankan perasaan kolektif, kekerabatan membuat kita kerap berpikir jika satu dicubit maka semuanya akan terasa sakit. Padahal nyatanya kan tidak demikian. Prinsip satu dicubit semua sakit ini membuat banyak kejadian dampaknya lebih besar dari yang seharusnya. Seorang ketua partai ditangkap karena disangka korupsi maka seluruh anggota partainya meradang, seolah semua ikut ditangkap dan dinista oleh sang penangkapnya.

Prinsip Bubar Siji Bubar Kabeh kemudian menjadi lawan dari himbauan untuk berpolitik secara santun dan legowo andai terjadi apa-apa dengannya. Ketika tak ada persoalan memang kebanyakan orang dengan mudah mengatakan akan menerima keadaan apapun, kalau harus kalah ya tak akan menangis, kalau menang ya tak akan bersorak-sorai. Tapi lagi-lagi semua ini omong kosong belaka. Begitu ada persoalan hilanglah semua sopan santun, hilanglah sikap legowo untuk menerima kenyataan dengan lapang dada.

Pilkada Pemalang akan di laksanakan tanggal 9 Desember 2015. Kalah menang adalah hal biasa dalam sebuah kompetisi. Kita berharap jangan sampai ada istilah barjibarbeh pasca pilkada nanti..

 

Jangan sampai ada Bar Ji Bar Beh, diartikulasi menjadi Silit Babi Abang Kabeh….

Mantra Duk Duk Gleng; Dolanan Ala Pemalang


Hidup memelukan keberanian untuk mengambil resiko. Seorang Vivian Green pernah bilang: Hidup bukanlah kisah tentang menunggu badai yang akan berlalu. Tapi, hidup adalah  untuk belajar menari di tengah derasnya Hujan.

 

Masih inget Dolanan tradisional Duk Duk Gleng di Pemalang? Dolanan ini biasanya dilakukan oleh 3 atau 4 anak yang dilakukan diatas Pasir. Teknisnya adalah pasir dibuat gunung gunungan, nah diatas gunung itu kemudian ditancapkan semacam bendera kecil yang dibuat dari lidi (biting bhs jawa). Anak anak yang melingkari gunungan pasir dengan bendera dipuncaknya, kemudian melakukan ritual pembacaan mantra: sambil mengais ngais pasir dengan telunjuk. Masing masing pemain harus sportif mengais sambil menyanyi bareng mengikuti irama mantra. DUK DUK GLENG TAINE CELENG….DUK DUK GLENG TAINE CELENG……DUK DUK GLENG TAINE CELENG…sambil bergoyang layaknya Cesar dalam YKS

Image

Kaisan dan hentakan kecil pada  pasir secara repetitif dan berirama akan menjadikan gunungan menjadi longsor. Nah bendera biting di puncak  akan ikut jatuh dan mengarah ke salah satu peserta. Saat itulah permainan berakhir, siapa yang kejatuhan bendera, dialah yang kalah. Kemudian peserta yang kalah biasanya dihukum gendong, nyanyi atau yang lain tergantung kesepakatan.

Ada pelajaran dibalik permainan Dolanan asli Pemalangan, Duk Duk Gleng Taine Celeng. Permainan ini melatih keberanian pada si anak untuk mengambil resiko keberanian dan juga sportifitas selain strategi pengambilan keputusan. Logikanya jika  kita bermain mengais pasir mengikuti irama mantra niscaya akan selamat, beda jika kaisannya sporadis, kecenderungan bendera akan jatuh ke tempat kita.. Itu aturannya. Karena secara teknis gunungan pasir lebih stabil dan tingkat longsornya lebih kecil.

Sayang sekali di era sekarang agaknya Dolanan Duk Duk Gleng Taine Celeng g sudah mendekati punah di  bumi Pemalang.

Antara Bioskop Pemalang; Sultan dan Sri Indra


Kisah ini diceritakan oleh Sri Yanuarti; Peneliti Politik dari LIPI

Image

Soal bioskop Sultan dan Indra aku juga punya banyak kenangan. Hampir separuh hariku pada masa kanak-kanak dan remaja, aku habiskan di dua bioskop ini. Pulang sekolah setelah makan, langsung kabur jalan kaki (karena rumahku kebetulan dekat dengan 2 tempat tsb) untuk nonton bioskop. Bahkan tidak jarang sehari bisa dua kali (yang main jam 2 siang dan jam 5 sore). Kegiatan membacapun ebih sering aku lakukan di bioskop, sebelum flim main (karena lampu masih terang), aku biasanya baca buku pelajaran atau novel Lima Sekawan dan Sapta Siaga, atau komik si Bob 123, napi yang bodohnya minta ampun, Lucky Luck, Tin-Tin serta buku Winnetou yang aku bawa dari rumah. Aku sangat menikmati membaca di bioskop karena sepi dan tidak ada yang mengusik.

Seingatku aku pertama kali nonton bioskop flimya berjudul “Ten Commandement” yang menceritakan tentang nabi Musa. Trus flim Haidi, kisah perjuangan gadis kecil dari pegunungan Alphen yang mengaharu biru, juga tak ketinggalan “the Sound of Music” yang kemudian diadaptasi dalam versi Indonesia dengan judul “Nakalnya Anak-anak” (kalau tidak salah bintangnya Ira Maya Sopha, Dina Mariana, Kiki, Maria Untu, dll). Flim “the Old Man in the Sea” yang merupakan adaptasi novel Ernest Hamingway juga aku tonton di bioskop dengan deretan kursi kayu yang disambung bambu (dan benar kata Uus, banyak kutu/tingginya).

Sedangkan film Indonesia, yang aku masih ingat judulnya “Samtidar” kisah anak yang kehilangan orang tuanya, atau si Bintang yang dibintangi Rano Karno kecil yang menceritakan durhakanya seorang anak, tentu saja “ratapan Anak Tiri”, dan “Timang-timang Anakku Sayang”., dan flim-flim yang dibintangi Adi Bing Slamet serta Chica Koeswoyo. Kebetulan waktu nonton flim ratapan anak tiri aku bareng-bareng sama temanku yang namanya Hikmah (sepupunya Gholib, anaknya Ibu Fatiyah, rumahnya depan Al Irsyad), hampir semua penonton yang menikmati flim ini waktu itu menangis tapi ya menangisnya paling tersedu-sedu atau brebes mili, tapi karena saking mengharukannya atau model nangisnya, temanku yang bernama Hikmah ini nangisnya kenceng sekali (bahasa pemalangnya kalau nggak salah “nggerung-nggerung”), sampai aku yang duduk disebelahnya ikut dipelototi banyak penonton yang terganggu dengan suara tangisannya.

Flim favoritku adalah  flim mandarin alias kungfu dari “Drugen Master sampai flim “First of Fury”nya Bruce Lee dan Tilung (yang suka bawa senjata cakra?) aku lalap di dua bioskop yang ada. Saking tergila-gilanya dengan flim kungfu aku lebih memilih dibelikan model sepatu bigboss (warnanya hitam, tipis) ketimbang sepatu cewek yang berbentuk fantovel. Gara-gara flim ini pula, hampir tiap hari kerjaanku berkelahi dengan teman-teman laki-laki (aku paling tidak suka berkelahi dengan perempuan). Nasir anaknya Haji Kulsum, Alif Fauzi (Onji) merupakan salah satu sparing patnerku dalam berkelahi, namun ketika Lukman Barizi (Biji) pindah ke sekolahku, aku mulai “keder” melanjutkan hobi mempraktekkan jurus-jurus kungfu-ku, soalnya kalau aku melawan dia lebih banyak kalahnya ketimbang menang. Bertemu lawan tangguh kayak Biji, aku tidak kehilangan akal. Aku mulai tekun ikut latihan karate dengan “Simpay” Brata (Bapaknya Roby Arya Brata), paling tidak hasil perkelahianku dengan Biji bisa seri dan muka nggak boyok-boyok amat.

Tapi yang paling berkesan kalau aku nonton di dua bioskop tersebut adalah waktu lebaran (biasanya flimnya kalau nggak Warkop ya flim dangdutnya Oma Irama). Sebenarnya aku nggak suka dengan genre dua flim tersebut, tapi aku merelakan hati nonton dengan teman-teman karena bisa njahilin penonton lainnya tanpa diketahui. Biasanya sebelum nonton kita akan cari bij gembang (buah pinang) yang keras minta ampun di kebun belakang kantor DPRD…fungsinya cuma satu, kalau pas adegan berkelahi (terutama waktu flim Oma Irama) sambil teriak-teriak mbelain “penjahatnya” (hee..he.. karena tujuannya usil kalau orang lain teriak mbelain “lakone” alias Oma Irama, kami justru melakukan hal sebaliknya), kami lemparin biji gembang tersebut ke penonton yang ada di depan kami….atau kulit pisang (he..he..jadi sory ya Yogi mungkin lembaran kulit pisang waktu itu salah satu praktek dari keusilan kami).
Namun kami pernah kena getahnya juga. Lain waktu, ketika kami nonton flim Oma Irama dengan modus operandi yang sama, kami diusir dari bioskop oleh bapak-bapak (kayaknya sih tentara atau polisi karena kumisnya kayak gatot kaca) yang kesal dengan ulah kami. Entah karena sadar akan kesalahan atau karena takut dengan kumis si Bapak tersebut…kami sepakat ngloyor pulang meski flim belum selesai dan biji gembang masih banyak di saku baju kami.

Sekarang, aku masih suka nonton flim. Karena perkembang teknologi, maka aku lebih banyak nonton flim di rumah (terutama flim-flim Indi, seperti Gobyee Lennin dan flim-flim non Hollywood seperti flim Perancis, flim Iran “Children of Heaven”, dsb). Sesekali aku nonton bioskop untuk flim-flim kolosal semacam Gladiator, Trilogi “The Lord of The Rings” atau “Golden Compass” . Hobiku nonton flim ternyata menular ke jagoanku…untungnya tidak seperti ibunya yang cuma bisa menikmati saja, anakku sekarang sudah mulai bikin flim, meski cuma flim dokumenter…

Film buat aku tidak sekedar gambar, tapi adalah produk kebudayaan. Film yang baik adalah film yang membuat aku bisa belajar banyak, membuka ruang dan perpektif berpikir yang lebih luas dalam memaknai suatu fenomena dan masalah yang ada disekeliling kita….Sayangnya, sinetron dan film yang dipertotonton pada kita lewat layar televisi maupun bioskop (khususnya produk nasional) lebih banyak film atau sinetron yang jauh dari karya mendidik. Kita tiap hari hanya disuguhkan adegan mistis (hantu, dll), kekerasan, caci maki. Pelajaran yang bisa kita petik dari tayangan TV kita adalah, bagaimana melakukan penghianatan, kejahatan, dan ketidaksenonohan (ayo Yogi, tolong dong kami diberikan tanyangan yang bermutu di TV tempat Anda bekerja). Mudah-mudahan ke depan akan muncul sineas-sineas muda yang memiliki visi untuk mencerdaskan bangsa lewat karyanya dan tidak hanya sekedar berhitung dengan ratting atau market semata…

Kulitnya Kota, Jiwanya Ndeso….


ayam

Ini cerita Flashback, saat saat kuliah di Bandung. Biasanya tiap bulan pulang ke Pemalang naik Bis dari Cicaheum. Sekitar tahun 1996 di alun alun Pemalang berdiri waralaba California Fried Chieckend (CFC), sebuah junkfood; import dari Negeri Paman Sam. Secara filosofi; fast food merupakan layanan yang dihadirkan serba instan, disajikan cepat dan serta efisien. Dihadirkan sebagai anti tesis pelayanan makanan konvensional; Mengadopsi pelayanan masakan para pekerja Pabrik, yang mengantri ketika mengambil jatah makanan; dengan pola seragam; standar makanan; cepat saji; ringkas dan efisien. dalam konsep fast food; pelanggangpun dianggap sama; harus mengantri panjang untuk memesan makanan dan membayar di muka.

Ada pelajaran menarik dari gagalnya sebuah konsep waralaba CFC di Pemalang yang bertahan cuma setahun.

Pada awal2 dibukanya fast food; masyarakat (kelas menengah) Pemalang, berbondong bondong mengunjungi CFC di Alun alun untuk mencoba mencicipi makanan tersebut. Tapi secara kultur mereka belum siap menerima penetrasi budaya tersebut; Ada gap….so seperti pengalaman yang sudah2 mereka terbiasa makan di wateg, langsung duduk, ambil menu, makan dan mbayar. Atau kali lain makan di rumah makan konvensional, menunggu dengan harapan akan diservis dan dilayani bak raja.

Beda ketika mereka kesini. Duduk manis sambil main pager an (belum ada HP) gak pernah dilayani. Apa dinyana; akhirnya mereka menunggu dan kecewa; tidak dilayani oleh kru CFC layaknya di restoran konvensional. Klimaknya adalah sebuah surat pembaca yang dilayangkan ke rubrik Harian Surat Kabar Suara Merdeka yang menengarai pelayanan di CFC kurang profesional.

Cess Hameling adalah tokoh yang mengenalkan istilah Gagap Budaya; atau Gegar Budaya. Ia yang menelurkan teori Sinkronisasi Budaya (sincronism of culture); suatu era di masa globalisasi dimana budaya global di import secara linier dan masif searah dari negara maju/barat ke negara berkembang. Jargon yang terkenal dari sinkronisasi budaya adalah masuknya budaya 2MC; MTV; Mc Donald; dan Coca Cola ke negara berkembang.

Penetrasi budaya asing/barat masuk secara masih lewat media televisi tanpa filter; yang pada akhirnya menimbulkan GAGAP BUDAYA atau gegar budaya pada negara si penerima budaya.

Kulitnya Kota, Jiwanya Ndeso….