Silakupang; Sintren Lais dan Kuda Kepang di Pemalang


Dalam situs http://www.pekalongankab.go.id; Kesenian sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh masyarakat dan memiliki dua versi.

Versi pertama, berdasar pada legenda cerita percintaan Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (“sapu tangan”) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono.

Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami “trance” dan saat itu pula R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat sulasih “trance/kemasukan roh halus/kesurupan” ini yang disebut “Sintren”, dan pada saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai “balangan”. Dengan ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.

Versi kedua, sintren dilatar belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.

Tak lama terbetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup.

Karena kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.

Kesenian Sintren di Cikendung Pemalang

Silakupang merupakan kesenian khas dari Desa Cikendung, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pemalang. Silakupang merupakan gabungan dari kesenian sintren, lais, dan kuda kepang. Gabungan kesenian yang dipentaskan dalam durasi 20 menit hingga 1 jam ini memiliki fungsi berbeda-beda. Sintren merupakan tarian ritual meminta hujan pada saat musim kering oleh masyarakat setempat, sementara kuda kepang adalah tarian perang prajurit berkuda. Lais sendiri, merupakan bentuk lain sintren karena ditarikan oleh laki-laki.

Narasi Sintren secara garis besar menceritakan kisah percintaan yang tidak direstui antara Sulasih dan Sulandana. Kemudian dalam narasi, Sulasih berpura-pura menjadi penari sintren agar mereka bisa bertemu dengan Sulandana. Akhir ceritera percintaan mereka happy ending, karena akhirnya mereka bersama.

Kesenian Silakupang tidak ditarikan secara soliter, tetapi berkelompok. Dalam sebuah grup Silakupang terdapat 25 orang, peran mereka dibagi menjadi penari, penggendhing (pemain musik), dan pawang. Rentang usia anggotanya pun beragam, dari pelajar SMP hingga orang dewasa. Para pemain biasanya mengenakan kostum berwarna kuning, merah, dan biru; dibedakan berdasarkan perannya. Penari kuntulan mengenakan sepatu dan kudung, sintren mengenakan kostum tayub dengan selendang, dan kuda kepang mengenakan celana, rompi, dan sandal karet.

Selain  menampilkan keajaiban pergantian kostum dan riasan pemain sintren dan lais, Silakupang juga menyuguhkan aksi-aksi yang cukup mendebarkan bagi penontonnya. Salah satunya ketika pawang memainkan cemeti untuk menyuruh penari kuda lumping bergerak bebas dan liar tanpa irama. Kini Sikupang menjadi kesenian yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang Desa Cikendung. Kesenian ini pun tidak hanya dipertunjukkan saat kemarau panjang, karena kini ia telah menjadi produk wisata Pemalang yang bisa ditampilkan kapan pun

 

sintren3

sintren1

sintren 2

 

1 thought on “Silakupang; Sintren Lais dan Kuda Kepang di Pemalang

Leave a comment