ANTON LUCAS Dalam Sejarah Pemalang: Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Sosial atau Pemberontakan?


Peristiwa Tiga Daerah adalah sebuah peristiwa pergolakan yang timbul di awal bulan-bulan pertama sesudah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dikatakan Tiga Daerah karena peristiwa ini mencakup tiga wilayah atau daerah di Keresidenan Pekalongan, yakni Brebes, Pemalang, dan Tegal, yang disebut Tiga Daerah. Setelah terjadinya peristiwa ini, elit-elit birokrasi di Tiga Daerah tersebut akhirnya dapat disingkirkan.

Latar Belakang
Sebuah peristiwa tidak pernah terjadi dengan satu alasan tertentu, seringkali ada beberapa alasan yang menyeruak ke permukaan. Anton Lucas menilai awal peristiwa ini berasal dari keadaan sosio-ekonomis ketika pengaruh kapitalisme Barat masuk pada Abad ke-19. Tanaman tebu diperkenalkan dalam sebuah program tanam paksa dan dapat tumbuh dengan baik. Dapat dibayangkan pada saat itu hanya ada empat dari tujuh belas pabrik gula di seluruh wilayah keresidenan yang tidak terdapat di wilayah Tiga Daerah.

Pabrik gula pun melakukan investasi yang besar terhadap irigasi untuk menjamin terpasoknya air bagi tanaman tebu mereka. Disinilah mulai muncul konflik antara petani dan pabrik gula. Bentuk awal konflik ini biasanya berupa pembakaran ladang tebu yang dilakukan oleh para petani sebuah bentuk protes. Yang menjadi perhatian lain adalah di Keresidenan Pekalongan sendiri, beberapa tokoh PKI yang concern terhadap nasib petani juga adalah tokoh politik yang radikal. Maka tidak heran ketika tahun 1926 setelah terjadi pemberontakan yang dilakukan tokoh PKI dan nasionalis, banyak yang diantaranya dipenjara bahkan dibuang atau diasingkan ke Boven Digul, Irian Barat.

Ketika penjajahan Jepang, penderitaan para petani tidak juga berubah malah semakin terpukul melalui kebijakan ekonomi Jepang. Salah satu hal yang begitu memukul keadaan petani ialah dengan adanya kewajiban untuk memberikan separuh hasil panen padi di beberapa kawasan di Tiga Daerah. Selain itu adanya hubungan yang dekat antara Jepang dan elit birokrasi membuat keadaan tambah buruk.

Elit birokrasi juga ditempatkan sebagai tuan tanah, tempat mengumpulkan padi secara paksa dari petani untuk memenuhi jatah setoran, selain membantu kecamatannya untuk memenuhi jatah tenaga kerja. Tidak sedikit elit birokrasi yang korup dan justru menimbun semua barang-barang yang dikumpulkan dari petani.

Rakyat justru jatuh menderita. Akhir tahun 1944 dilaporkan banyak orang-orang yang terpaksa makan bekicot, bonggol pisang, dan tanaman hutan, bahkan tidak sedikit yang mati kelaparan di tengah jalan. Dapat dikatakan bahwa taraf hidup elit birokasi dan Peta menjadi makmur namun rakyat menjadi serba kekurangan.

Jalannya Peristiwa
Proklamasi membawa dua arah angin yang berbeda, di satu sisi rakyat
menanggapinya dengan penuh kegembiraan terutama di kalangan nasionalis namun di sisi lain disambut kebingungan oleh kalangan elite birokrasi dan Jepang. Akhirnya Proklamasi melahirkan dilema bagi para pejabat setempat dalam menentukan sikap terhadap pejabat sipil dan militer yang masih berkuasa di keresidenan tersebut.

Golongan rakyat yang revolusioner menanggapi proklamasi dengan kegembiraan sedangkan elite birokrasi sama sekali tidak mengetahuinya dan kebingungan semakin menjadi-jadi karena sumber informasi mereka yakni pejabat Jepang setempat, menolak membenarkan desas-desus proklamasi tersebut. Misalkan Bupati Brebes yang mengatakan bahwa Proklamasi tidak berarti apa-apa sampai penguasa Jepang di Keresidenan Pekalongan secara resmi menyerahkan kekuasaannya kepada pemerintah Republik setempat.

Ketika gerakan revolusioner ini terjadi banyak pejabat-pejabat elite birokrasi yang dibuat malu dengan dipecat oleh barisan Komite Nasional Pekalongan, misal di sebuah kecamatan di Tegal Selatan. Bahkan dalam tempo seminggu, revolusi sosial ini sudah melanda kawasan pedesaan Tiga Daerah.

Gelombang revolusional tersebut juga melabrak ibu-ibu kota Kabupaten Pemalang dan Tegal pada tanggal 19 Oktober dan 4 November, dan Brebes di antara kedua waktu itu. Banyak pejabat yang mencari perlindungan dari serbuan gerakan revolusioner ini, termasuk meminta saran kepada Komite Nasional setempat. Ketika elite birokrasi menjadi sasaran khusus, kekejaman kaum revolusioner tertuju pula kepada orang-orang Cina dan Indo-Eropa.

Tidak sedikit kekayaan orang-orang Cina dirampok atau diambil alih, begitu pun dengan orang-orang Indo-Eropa yang mendapat privilege sebagai penduduk asing dan menempati kedudukan ekonomi dengan hak-hak istimewa. Pada pertengahan bulan Oktober, lebih dari seratus orang Indo-Eropa, Ambon, dan Menado dibunuh di Tegal dan Brebes karena dianggap “pro-NICA” atau “mengkhianati revolusi nasional”.

Persepsi Revolusi 1945
Gerakan Tiga Daerah bertujuan untuk memecat elite birokrasi yang telah memerintah atas nama Belanda (dan juga Jepang). Dari persepsi revolusi di kawasan ini pada tahun 1945 dituangkan dalam istilah budaya yang khusus.

Sarjio seorang residen melakukan tindakan menghapus bentuk-bentuk dan sebutan-sebutan aristokrat di Pekalongan. Hal ini dipacu agar tata pemerintahan benar-benar “demokrasi dan semangat kekeluargaan”. Dalam tindakannya Sarjio menganjurkan untuk tidak usah menggunakan bahasa kromo namun harus menggunakan bahasa ngoko dan bahasa Indonesia. Dengan bertingkatnya bahasa yang dijunjung elite birokrasi sebelumnya ini memunculkan manipulasi dan politik pencitraan dalam penggunaan bahasa. Selain di bidang bahasa, Sarjio juga melakukan aksi-aksi yang berbau upacara agama yang dikenal dengan sebutan dombreng

Sumber: http://alzurjani.blogspot.com/2011/06/peristiwa-tiga-daerah-revolusi-sosial.html

Leave a comment