Etnis Arab di Pemalang dan Pengaruhnya Terhadap Kebudayaan Lokal


Bangsa Arab merupakan bangsa penjelajah, terbukti dengan dijumpainya berbagai kelompok etnis Arab di hampir seluruh benua di berbagai belahan dunia mulai dari Eropa, Asia, Amerika, Afrika dan Australia.

Kedatangan bangsa Arab ke Indonesia pertama kali dimulai pada sekitar abad 7 Masehi atas maksud berdagang dan syiar Islam. Bangsa Arab datang secara bergelombang, mereka umumnya menempati daerah pesisir-pesisir pantai dan pelabuhan-pelabuhan strategis seperti Aceh, Sunda Kelapa, Surabaya, Ujung Pandang, Ternate, dan lain-lain. Seperti halnya daerah pesisir pantai lainya, pantai utara Jawa di daerah karesidenan Pekalongan khususnya di kabupaten Pemalang yang berbatasan langsung dengan Laut Jawa juga tedapat kelompok pendatang etnis Arab yang bermukim di wilayah tersebut. Mereka membawa kebudayaan-kebudayaan yang mereka punyai ke wilayah yang mereka singgahi itu.

Menurut koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri dengan belajar. Perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut oleh Herskovits sebagai superorganic.

Apakah akibat dari pengaruh kebudayaan asing yang dibawa oleh etnis Arab terhadap kebudayan di Pemalang?

Secara administratif, kabupaten Pemalang termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Seperti wilayah Jawa pada umumnya, Penduduk pribumi Pemalang adalah etnis Jawa. Akan tetapi kenyataanya ada sebagian penduduk di kabupaten ini yang bukan termasuk etnis Jawa dan seringkali dijumpai etnis Arab mendiami wilayah tersebut dan sudah menjadi warga Pemalang. Hal ini menujukan bahwa bangsa Arab sudah lama memasuki wilayah itu.
Fakta yang dapat ditemukan adalah adanya pemukiman etnis Arab yang berlokasi di desa Mulyoharjo, kecamatan Pemalang dan di desa Banyumudal, kecamatan Moga, karena banyaknya etnis arab yang bermukim di wilayah tersebut sehingga wilayah tersebut dinamakan “Kampung Arab”. Di Pemalang, etnis Arab membentuk kolompok-kelompok berdasarkan hubungan familistik. Mereka menyebutnya dengan kata ‘fam’ (keluarga). Ada dua golongan besar yang mengklasifikasikan fam-fam tersebut, yaitu kelompok “Syeh” dan “Habaib”. Dari dua golongan itu dapat diuraikan beberapa fam, yang dapat melacak asal-usul nenek moyang mereka. fam-fam yang berasal dari golongan “Syeh” berasal dari negara Yaman, seperti fam dari Bin Sanad, bin Basunbul, bin An-Nahdi, bin Yazidi, bin Al-Khatiri, dan bin Niswir, sedangkan fam-fam yang berasal dari golongan “Habaib” menganggap diri mereka adalah keturunan Rasulullah dari Siti Fatimah, mereka berasal dari Iran dan Iraq, fam-fam tersebut adalah fam bin Alatas, bin Assegaf, bin Baalwi.

Etnis Arab di Pemalang membentuk kelompok dan bermukim di wilayah yang sama. Etnis Arab di Pemalang hanya mendiami wilayah perkotaan di kabupaten itu dan hampir tidak ditemui etnis Arab yang bermukim di wilayah pedesaan. Mereka umumnya mencari nafkah dengan cara berdagang, sebagain besar dari mereka membuka toko seperti mebel dan menjadi sangat familiar bahwa umumnya toko-toko mebel yang terkenal di Pemalang dimiliki oleh etnis Arab. jarang sekali dijumpai mereka bertani ataupun beternak. Etnis Jawa di Pemalang sebagian besar diantaranya bertani dan sebagian lainya menjadi pegawai swasta dan tidak jarang mereka menjadi pegawai negeri baik militer maupun sipil. Hampir tidak pernah dijumpai adanya etnis Arab yang menjadi pegawai negeri.

Kebudayaan Etnis Arab di Pemalang yang bisa dilihat adalah adanya tradisi ‘mauludan’ dan ‘syawalan’. Mauludan yaitu ritual memperingati kelahiran Rasulullah Muhammad SAW, sedangkan ‘syawalan’ yang dimaksud yaitu sebuah ritual tahunan pada bulan Syawal. Ritual ini diadakan dengan berkumpulnya seluruh anggota fam-fam etnis Arab di satu tempat, tepatnya di obyek wisata Pemandian Moga yang terletak di kecamatan Moga di bagian selatan Pemalang. Di sini mereka berkumpul dan memperkenalkan anggota keluarga yang satu dengan yang lain, umumnya ritual ini dimanfaatkan mereka sebagai ajang perjodohan masal.
Selain kebudayaan yang berbentuk ritual, di Pemalang, etnis Arab meneruskan kebiasaan yang dibawanya dari tanah nenek moyangnya dengan membuat berbagai jenis makanan khas seperti “roti Maryam”, “azid”, dan “nasi kebuli”. Ciri khas lain dari etnis Arab yang mencerminkan kebudayaan mereka adalah dalam hal berbahasa dan berpakaian. Wanita etnis Arab di Pemalang menggunakan “busana muslim” yaitu dengan menutup seluruh anggota tubuh kecuali muka dan telapak tangan, sedangkan yang laki-laki mengenakan “gamis”.

Pemalang adalah sebuah kabupaten yang mempunyai dua karateristik geografis yang berlainan. Sebelah utara kabupaten ini berupa daerah pantai karena secara langsung berbatasan dengan Laut Jawa, sedangkan di bagian selatan kabupaten ini merupakan daerah pegunungan yang cukup tinggi dan merupakan daerah lereng Gunung Slamet. Berdasarkan teori ecocultural, yaitu ilmu yang mempelajari pengaruh timbal-balik dari lingkungan alam terdapat dan tingkah-laku makhluk-makhluk di suatu lokasi tertentu di muka bumi, dengan karakteristik keadaan alam yang sedemikian itulah kabupaten ini mempunyai keanekaragaman budaya tersendiri yang berbeda dengan daerah lain.

Budaya asli Pemalang pada umumnya sama seperti kebudayaan masyarakat Jawa pada umumnya, hanya agak sedikit berbeda pada keanekaragamanya. Di Pemalang terdapat dua kebudayaan yaitu kebudayaan masyarakat Jawa Pesisir utara dan kebudayaan masyarakat Jawa di daerah Pegunungan. Masyarakat Pemalang berbahasa Jawa dengan dialek Banyumas dan sebagian menggunakan dialek Pekalongan.

Adanya etnis Arab di Pemalang diawali dengan bermukimnya berbagai etnis Arab di Indramayu dan Brebes yang kemudian menyebar ke wilayah Tegal yang berbatasan langsung dengan Pemalang di sebelah barat. Bertambahnya jumlah etnis Arab di Tegal dan dorongan ekonomi untuk mencari penghidupan yang lebih layak, menyebabkan mereka menyebar ke arah timur yaitu Pekalongan dan melewati Pemalang. Di Pemalang sendiri, beberapa kelompok etnis Arab tersebut membuat pemukiman-pemukiman baru berdasarkan hubungan familistik, ada juga sebagian dari mereka yang bermukim secara terpisah dari kelompok yang tinggal di suatu pemukiman tertentu dan membaur dengan masyarakat pribumi Pemalang.

Etnis Arab yang tinggal berkelompok membawa dan melestarikan kebudayaan yang mereka punyai di wilayah yang baru tersebut. Sebagian besar dari mereka beradaptasi dengan belajar bahasa Jawa dan adat istiadat setempat, contoh nyata yang dapat dilihat adalah adanya sebagian etnis Arab yang membuat makanan asli Jawa seperti “samir”, yang oleh masyarakat Pemalang disebut “kamir”. Kegiatan ini bahkan menjadi mata pencaharian sebagian penduduk etnis Arab di perkampungan Arab di desa Mulyoharjo. Akibat dari pesatnya perkembangan industri pembuatan “kamir” tersebut di perkampungan Arab tersebut, sekarang, “kamir” menjadi oleh-oleh khas kuliner dari Pemalang dan masyarakat pribumi Pemalang menyebutnya dengan nama “kamir Arab”, karena memang yang membuat adalah orang Arab, walaupun itu adalah makanan asli masyarakat Jawa.

Masyarakat Pemalang pada umumnya sangat menerima keberadaan etnis Arab dan berbagai bentuk kebudayaan yang dibabawanya, terbukti dengan tidak adanya konflik SARA diantara mereka. Penduduk pribumi Pemalang dalam pergaulanya tidak membeda-bedakan etnis-etnis tertentu termasuk etnis Arab, mereka berinteraksi dengan baik dalam bisnis seperti berdagang maupun kegiatan sosial. Sebagai bentuk dari penerimaan yang baik terhadap bentuk kebudayaan etnis Arab di Pemalang, penduduk pribumi Pemalang yang beragama Islam sering mengikuti acara “mauludan” yang diadakan oleh etnis Arab, dan bahkan sekarang, di kalangan masyarakat pribumi Pemalang, “mauludan” sudah menjadi bagian dari ritual kebudayaan umat Islam di Pemalang.

Sering ditemukan hal-hal menjadi bukti bahwa Masyarakat Pemalang khususnya yang berada di wilayah Perkampungan etnis Arab, seperti pemakaian bahasa oleh masyarakat setempat. Menurut Kontjaraningrat (1990), adanya gerak migrasi dari bangsa-bangsa yang membawa unsur-unsur kebudayaan mereka untuk mempengaruhi kebudayaan-kebudayaan asli bangsa-bangsa yang mereka jumpai di daerah-daerah yang mereka lalui ketika bermigrasi, sengingga menyebabkan perubahan-perubahan dalam kebudayaan-kebudayaan itu (difusi). Jika dikaitkan dengan teori difusi tersebut, memang sangat beralasan sekali, bahwa di perkampungan Arab di desa Banyumudal, masyarakat pribumi pemalang terkadang menggunakan kosakata yang sering dipakai oleh etnis Arab di wilayah tersebut seperti kata ente untuk ‘kamu’, harim untuk ‘wanita’, fulus untuk ‘uang’, bahil untuk ‘pelit’, bahlul untuk ‘jahat’, dan masih banyak lagi.

Dapat disimpulkan bahwa etnis Arab dan kebudayaanya di Pemalang dapat diterima dengan baik di tengah penduduk pribumi Pemalang. Kebudayaan Arab di Pemalang tidak mempengaruhi dan mengubah kebudayaan yang sudah ada, namun hanya menambah khazanah kebudayaan yang ada. Budaya di suatu daerah bisa dikatakan dapat mempengaruhi daerah lain (baik segi bahasa maupun lainnya). Proses masuknya suatu budaya ke kebudayaan lain tergantung dari minoritas penduduk daerah yang dimasuki. Apakah mereka menerima adanya imigran, dan apakah daerah tersebut memperbolehkan masuknya imigran asing. Tapi hal ini juga tergantung dari siapakah dan apakah maksud imigran-imigran terdahulu itu masuk ke daerah mereka.

Sumber: Rudha Widagsa, Etnis Arab di Pemalang dan Pengaruhnya Terhadap Kebudayaan Setempat. 2010.

Leave a comment