Darubih dan Cilok


Di sebelah kanan Trans TV di jalan Tendean Jakarta, ada yang jualan Cilok. Bisnis cilok dianggap sebagai bisnis kuliner yg minimalis, karena hanya bermodalkan aci, tepung kanji, yang dicolok ke saos, langsung telan. Rasanya maknyus. Makanya banyak yg memlesetkan cilok sebagai produk 3M. Murah, Meriah dan Mencret….. kalau sambelnya kepedesen !

Hidup terkadang punya kejutannya sendiri. Ternyata Darubih sealmamater dengan saya. Alumni smansa pemalang dari daerah kidul. Doski cerita kalau dulu sering ke sekolah dilajo naik bis Lestari jurusan Purwokerto Pemalang. Setelah lulus SMANSA doski ikut omnya ke Ibukota. Dia bekerja di bengkel yang lumayan besar di daerah Pulo Gadung. sayangnya, nasib baik tak memeluknya. Tahun 2004 dia terpaksa pulang kampung dan mencoba bertahan kerja serabutan di daerahnya.

" Kenapa gak bertani aja Darubih ? ": tanyaku penasaran.


" Wah di kampung gak punya lahan Pak. Sawah di kampung sudah dibeli orang Jakarta, dialihfungsikan kalo gak pabrik ya tempat mangkal truk. Jadi buruh tani juga susah, dan tidak mensejahterakan. Kerjanya cape, penghasilan gak cukup buat makan. Yang menikmatin untung ya tuan tanah dan pedagang berasnya. Mendingan jualan Cilok Pak, meski untungnya tipis, tapi muter ya cepet. Yang penting berkah, dan dapur tetep ngebul bisa membesarkan anak di kampung " : kata mang Darubih simple..sambil melayani pembeli.

Darubih harus berjuang hidup membesarkan anak anaknya. Diapun merantau lagi ke ibukota untuk jualan Cilok.


" Modal saya gak lebih dari 60 ribu Pak. Kalo lagi rame, saya bisa dapat 200 ribu….

Sayang obrolan gak lama karena dagangan Darubih kemudian diserbu pembeli.

Hidup seperti sebuah laju arus kendaraan yang hanya dapat berhenti sejenak saat bertemu dengan lampu lalu lintas. Berhenti di tengah jalan berarti mati dan kita hilang eksistensi.

Membiarkan banyak hal menuntun tanpa pernah kita benar-benar memilih juga mengabaikan pilihan dan kehendak bebas yang kita punya, walau apa yang disebut kehendak bebas ini masih absurd.

Namun, dalam sebuah lintasan jalan raya, tidak semuanya memiliki kendaraan untuk melaju dengan cepat dan nyaman. Ada beragam jenis kendaraan yang hadir pun para pejalan kaki ikut terhitung di dalamnya. Demi apa kiranya kita bertaruh pada jalanan yang tak pernah lengang? Bertaruh pada hidup yang tak pernah berhenti dari alur waktu yang terus mendesak ke depan? Demi suatu tujuan.

Tujuan yang bisa jadi beragam bagi masing-masing kita.

Paling nggak, Darubih sudah move on dari kondisi dilematis di Pemalang, mencoba mengadu peruntungan melewati “jalan kehidupan” ini. Karena, kalo saja dia berhenti….. Berarti mati…ya..bagi beberapa orang, hidup tak menyisakan banyak pilihan.


Ada beribu Darubih, penjual Cilok, Polan, Wanyad, Darso, Japar, Dia, Kamu, Mereka, dan Kita…

Ketika Darubih kugodain lirih untuk menyemangatinyatinya, apa kamu gak nyalon jadi bupati Pemalang ?.

"Ah, saya minder Pak. Saya cuma remahan rengginang yang mencoba bertahan hidup!"

“Nggakpapa Darubih.

Untuk hidup gak perlu terlibat dalam narasi besar, termasuk ide ide semi nggedebus penyelamatan manusia. Minimal kamu bisa mandiri, dan kita bisa saling berkabar denganku !.

"Iya Pak, maturnuwun...

Cemungutt ya Darubih…

Leave a comment