Pak Tua Penjual Kitiran di Alun Alun Pemalang


imageedit_4_2843638341

Kesedihanmu mungkin hanya sebait dibandingkan prosa yang terus mengudara ditangan para pembesar kota ini….

Pak Tua pedagang mainan anak anak; kitiran, wayang kertas ini kerap terihat di Alun Alun Pemalang. Kitiran kertas warna warni yang dijualnya serasa merepresentasikan nasibnya yang kian terkoyak. Keberadaannya mungkin ditiadakan, mungkin juga tertenggelamkan. Pak Tua tak kuasa bertarung dengan Playstation atau Android. Tapi dia tetap tegar pantang mengemis.

Ada setumpuk kepedihan yang membayang. Namun, ia telah kebas. Kesedihan mungkin hanya sebatas luka yang mesti dihadapinya setiap hari hingga berakhirnya usia. Entah ia lupa atau bodoh, bahwa dunia yang sekarang; hiruk-pikuk volume kendaraan yang bertambah tiap harinya, sekian juta polusi udara membumbung ke angkasa, hilir mudik para pekerja yang tak lagi mengenal kepentingan bersama, telah berubah.

Dunia yang sekarang tidak lagi menggemari mainan tradisional anak anak. Kitiran kertas, wayang kertas, menandakan status sosial, menandakan derajat suatu kaum. Kitiran dan teman temannya berarti tidak kaya walaupun punya daya kreasi tinggi. Apalagi mainan yang dijajakan orang orang yang terkesan miskin itu. Mainan yang dijajakannya tak memiliki merek dan kualitas dari badan standarisasi yang berlaku di negeri ini.

Tidak, para pedagang mainan. Daganganmu tak akan lagi laku ketika zaman yang mesti kaulalui setiap hari dalam kesenduan lebih memilih playstasion, atau android game yang jauh memiliki merek dan derajat yang lebih tinggi.

Sementara itu daganganmu tak kunjung habis dibeli orang dan mereka membusuk, memilih mati cepat ketimbang direndahkan oleh zaman yang tak lagi mengenal kesejahteraan sebagai tujuan bersama.

Pak tua……Kau masih berdiri di Alun Alun hingga mentari menguap disebelah barat. Kulitmu menggosong, ronamu mengarang. Mungkinkah ada seseorang yang masih menunggumu pulang saat senja hari? Istrimu mungkin? Anak-anak bahkan cucu yang belum kau beri makan?

Dan suara perutmu mulai bergemuruh riuh rendah. Kau bertarung dengan rasa lapar. Mengaduh menahan dahaga. Kaki-tangan liatmu tak seperti dulu saat kau muda. Kini kau telah kehilangan usia dan dunia tetap tak peduli dengan sosokmu yang tiap hari duduk di Alun Alun Pemalang.

Kesedihanmu mungkin hanya sebait dibandingkan prosa yang terus mengudara dikota ini.

Leave a comment