Pride: Kisah Ceker Cah Pemalang


soto3

Subyektif mengukur nilai kebanggaan seseorang. Kebanggaan tak bernilai universal, dia melekat pada diri pribadi dan pengalaman keseharian seseorang. Artinya, sah sah saja jika seseorang mengklaim kebanggaan dari pengalaman yang diperoleh dan dilaluinya.

Adalah tetangga, sekitar 100 meter dari rumah di Bekasi. Berkumpul anak anak muda bersaudara asal Pemalang yang mengontrak rumah besar. Mereka adalah perantau dari Pemalang yang mencoba peruntungan di Jakarta. Jumlahnya totalnya ada 4 orang. Sudah 5 tahun mereka ngontrak disitu, tapi baru setahun terakhir, ada pemandangan yang berbeda. Sebuah mobil Innova beru dan kinclong terparkir di kontrakan tersebut.

Mereka adalah sekumpulan anak anak muda penjual Soto Ceker yang mangkal di daerah Komsen Bekasi. Soto ceker yang laris manis. Yono, sulung tertua yang usianya sekitar 28 tahun pernah cerita. Tak ada yang instan dalam berbisnis. Semua butuh proses. Berempat hanya lulusan SMP dan SD. Bermodal kerja keras, keuletan dan keberanian, mencoba peruntungan berjualan Soto Ceker.

Yono membuka rahasia itung itungan matematis keuntungan jualannya. Untuk bisnis Soto Ceker, menurutnya; dia butuh Brand “CEKER” sebagai pembeda bisnis mainstream sotonya. Dia sadar, bahan baku ceker mahal dan semakin susah didapat, tapi dia ngotot mempertahankan diferensiasi tersebut. Mereka menjual 1 mangkok Soto dan Ceker Rp 15.000. Dari harga tersebut, Yono cerita kalo bahan baku mentahnya per mangkok butuh 45% dari harga jual. Setelah dikurangi untuk bahan baku, biaya listrik, air, keuntungan net per mangkok sekitar Rp. 7.000. Karena dia gak perlu mengeluarkan cost promosi, ataupun menggaji karyawan, ke 4 bersaudara mengkonversikan biaya service ke saham bersama). Sementara untuk menambah value, dia jualan teh botol, gorengan, serta ceker crispi.

Tiap hari ada rata rata sekitar 250 pembeli sotonya (sekarang sudah 2 cabang). Dalam sebulan mereka punya penghasilan bersih Rp 60 juta.

Kenapa Yono memilih membeli Innova? kenapa bukan Xenia atau bahkan rumah?. Yono tidak membutuhkan jawaban logis untuk sebuah PRIDE. Dia memang Absurb. Sebuah kebanggaan tidak bisa dikonversikan secara nominal, apalagi dikompare dengan pajak kendaraan yang ia bayar 4 juta pertahun. Baginya, bisa membeli mobil adalah sebuah kebanggaan.

Yono naik kelas ke middle class. Kalau dalam teori kebutuhan Maslow, sekarang Yono sudah meloncat ke hirarki yang lebih tinggi dari sekedar memenuhi kebutuhan pokok; makan. Aktualitas diri bagi seorang Yono adalah mempunyai mobil yang dikampungnya bisa dihitung jari. itulah Pride, Kebanggaan. Dia tak peduli meski tak butuh jika ukurannya kegunaan atu mobilitas.

Kita harus memahami mereka berasal dari daerah miskin di pegunungan. Yono berceritera, di kampungnya, yang punya mobil masih jarang. Jika ada mobil yang lewat ke desanya, anak anak bergembira, mengejarnya……Sementara orang orang desa berkerumun saling berbisik…: ” itu masih keluargaku loh ” …

Jalan Yono masih panjang. Tapi dia sudah membuat “track”, membikin kerangka alur narasi yang bisa didengungkan masyarakat desanya…….. di usianya yang masih 28 tahun.

Gue cuma bisa bilang salut ke tetangga yang satu ini…

 

Yogi Hartono.

Leave a comment