Galau….1997


imageedit_3_2087174948

Kegalauan itu merasuk saat kau menginjak usia dewasa. Meninggalkan kota kelahiran Pemalang, untuk menggapai impian merantau ke Metropolitan Jakarta. Sebuah usia dimana kau mulai memikirkan dengan serius mengenai hidupmu pribadimu. Mengenai kebahagiaan yang ingin kau raih di usia ranum, tapi kau tak mendapatkan apapun. Satu-satunya yang kau dapatkan adalah sebuah kesadaran yang terlalu mengerikan dan menyedihkan untuk dijalani. Entah apakah kesadaran ini paripurna sifatnya atau masih mungkin diotak-atik hingga jadi sedikit berwarna dan lebih baik.

Aku banyak bergaul dengan orang orang. Akupun banyak mengenal teman temanku. Mereka ada yang menjadi pengusaha, ada yang menjadi profesional bahkan ada yang memilih tidak menjadi apa apa. Salah seorang temanku ada yang terjebak menjalani profesi yang tidak disenanginya . Itukah sebuah putusan eksistensialis ? Apakah ia menyesal kini setelah dirinya terbelunggu dalam rutinitas tetek bengek kerja yang monoton?; Adakah ia menyesal melepaskan kesempatan mereguk cita-citanya serta mimpi mimpi anggun menjadi seorang Jenderal Besar misalnya atau Sekjen PBB mungkin.

Waktu lain kutemui seorang teman yang sudah sepuh dan memutuskan untuk tak berharap lagi mengupas segala kegalauannya hidupnya. Bahkan menyentuhnya dan meraba dan mengungkit makna eksistensi enggan.

Kenapa?

Karena aku telah matang dan tak ada yang tersisa untukku selain menjadi manusia biasa. adalah sebuah Takdir Illahi yang tak perlu dipertanyakan. Tidak, tidak, aku tak mau menjadi orang lain dalam deret aritmetika profesi yang bodoh macam itu”, katanya.

Saat lain, kuingat diskusi dengan salah seorang teman, mengenai sesuatu yang ideal, menjadi manusia yang paripurna. Dalam suatu perbincangan saat makan malam, ia menceritakan padaku mengenai semuanya – pengalamannya menjadi seorang manusia, dari belia sampai uzur usianya menjelang pensiun. Dia berceritera dengan gagah berani menjadi manusia yang Paripurna adalah menjadi manusia 2 dimensi. Bukan sekedar manusia yang disibukkan oleh kegiatan rutinitas kemanusiaannya yg membosankan, tapi juga menjadi manusia dengan dimensi Sosial yang humanis.

Sulit. Sulit? Sulit! rasanya seperti sembelit….Sulit untuk menjadi manusia seperti yang diidamkan. Kami bertukar kata, saling menyampaikan pengalaman dan pandangan masing-masing.

Aku tak mau terjebak dalam diskusi tentang ini,” ujarnya sambil menyantap ayam bakar yang warnanya begitu mengkilap.

Ya, aku pun tahu kau akan berkata demikian. Kau pun aku sama dalam memandang makna menjadi manusia. Kami kemudian mempunyai persamaan pada suatu titik; sama-sama tak ingin cepat bertekuk lutut menjadi pengabdi sahaya. Menjadi manusia yang sering terlihat adalah akumulasi ketertundukan yang kehilangan dimensi kemanusianya. Manusia yang hanya terjebak dalam kegiatan repetitif administratif pagi – sore – siang – malam.

Tapi aku tak ingin diadu dengan kata-kata yang tak bermakna. Buktikan dengan tindakanmu barulah semuanya jelas. Baru aku dapat menilaimu apakah memang pantas aku menilanya sebagai manusia yang Paripurna. Sayangnya itu sulit sulit dan mustahil, hingga aku merasa seperti sembelit! kebelet ee…

Kupikir itu wajar saja. Kita adalah orang-orang yang percaya terhadap arti penting pencapaian sebuah mimpi. Mana mau kita dengan cepat menyandarkan diri dengan orang yang tak tepat dan lemah?”

Kubiarkan pikiranku mengelana entah kemana. Rasanya jauh dan begitu menyakitkan. Ada kesadaran yang tiba-tiba merasuk dan mesti kuungkapkan.

Kita tak bisa mengharapkan menjadi manusia yang paripurna. Tak ada kebahagiaan sepenuhnya abadipun. Coba kau bayangkan. Apakah dengan memilih menjalani kehidupan ini kau siap melepaskan semua mimpi-mimpimu”?

Iya, jika kau pada akhirnya menemukan kebahagiaan yang sempurna. Jika tidak? Atau kita telah berjalan terlalu jauh dan tenggelam ke dalam obsesi menuju mimpi-mimpi kita yang sendiri.

Ia mendengarkanku dengan seksama. Begitu serius dan hanyut ke dalam kata-kata yang kuucapkan disela-sela bibirku.

Iya, selalu ada yang mesti dikorbankan,” ucapnya dengan sedih.

Kegalauan menjalari seluruh tubuh dan pikiranku. Kesadaran mengenai kebahagiaan yang tak mungkin dicapai jelas membayangi. Manusia yang dapat berpikir, sungguh menakjubkan sekaligus menakutkan. Berpikir dan menyelami diri sendiri seolah bermain layaknya Tuhan. Berpikir mengantarkan pada pengetahuan baru yang begitu menakutkan untuk diselami. Ada kebenaran yang tersembunyi dan jarang terkuak dikehidupan sehari-hari.

====================================================

Catatan: 1997

Leave a comment