Gak Usah Malu Jadi Orang Pemalang


pemalang yanu

Sebut saja namanya Heri. Saat kecil adalah anak sederhana dari keluarga pas pasan yang sedikit nakal tapi kreatif. Di usianya yang 12 tahun kelas 1 SMP, dia sudah menghasilkan uang kecil kecilan dari usahanya mendirikan KEBON BINATANG di daerah Kebondalem Pemalang. Dia menyulap tanah milik orang tuanya dengan mengumpulkan koleksi bermacam binatang, tokek, kadal, kucing, anak anjing, cacing, burung merpati. Anak anak di sekitaran konteyan dan kebondalem yang menonton koleksi dipungut tiket (dari bungkus premen) sebesar 10 rp, saat itu.

Selepas lulus dari Jurusan Teknik Kimia Undip, si Heri meninggalkan kota kelahirannya menuju Jakarta untuk mencari pekerjaan. Menumpang hidup di Jakarta, si Heri kerap disebut sebagai Heri si Pemalang.

Suatu saat ketika menumpang bus ke Grogol, Heri terlibat pembicaraan dengan penumpang sebelahnya:

“Aslinya mana mas?”, tanya seseorang yang ada di bis jurusan Rawamangun-Grogol yang sedang duduk di sebelah Heri.

“Pemalang Pak!”, jawab Heri dengan tegas dan lugas.

Kemudian obrolan dilanjutakan dengan penuh semangat dengan sesekali meletus-letus kata-kata “Pemalang”.

Tidak diminta untuk menyebutkan asli daerahnya saja sudah otomatis keluar kata-kata Pemalang, apalagi ditanya dari mana asalnya, wah pasti nyrocos kesana kemari bercerita panjang lebar tentang Pemalang.

Kenyamanan dan kebanggaan untuk menyebut “Pemalang”, tidaklah muncul tiba-tiba, diawali ketika dia menginjakan kaki pertama kalinya di Jakarta, tahun 1991, kemudian berkembang menjadi kebiasaannya saat tinggal di Tangerang, Cilegon hingga sekarang ini di Ruwais, Abu Dhabi, UAE.

Kok bisa begitu? Bagaimana ceritanya?

Begini ceritanya. Syahdan ketika dia ikut sebuah sholat taraweh di Mushola Kabupaten Pemalang, dia lupa kapan itu terjadi, seorang pejabat kabupaten, bercerita tentang keheroikan pemuda-pemuda Pemalang saat membantu Mataram dalam mengusir penjajah Belanda di Batavia. Dua pemuda asal Pemalang, Solangjana dan Solangsari memimpin pasukannya untuk menyerbu dan memerangi prajurit-prajurit Batavia dengan gagah beraninya.

Dalam legenda, dua pemuda ini sangat dikagumi oleh para prajurit Mataram dan juga sangat ditakuti oleh para prajurit VOC di Batavia. Di saat yang sama, cerita tentang keberanian pemuda Pemalang ini juga terdengar ke seluruh pelosok Kerajaan Banten yang saat itu memang belum bergabung dengan Kerajaan Mataram Raya. Para Jawara Banten selalu waspada dan hati-hati kalau-kalau pasukan berani mati dari Pemalang juga ikut menyerbu Kerajaan Banten.

Singkat cerita, Pejabat Kabupaten Pemalang memberi kesimpulan bahwa pemuda-pemuda Pemalang tidak perlu minder, berkecil hati atau bahkan malu untuk menyebut jatidirinya dari Pemalang, karena sejak jaman Mataram, para prajurit dari Batavia dan bahkan jawara-jawara Banten, sudah mengakui keberanian dan kehebatan pemuda-pemuda Pemalang.

Nah, berbekal motivasi ini, pada tahun 1991 setelah lulus kuliah, Heri berangkat mencari kerja ke bumi Batavia dengan semangat yang menyala-nyala. Semangat penyerbuan Batavia selalu dia pantik didalam dadanya. “Raja Mataram bolehlah berubah, gubernur Batavia bolehlah berganti, tapi keberanian titisan “Solangjana dan Solangsari”, anak Pemalang, haruslah tetap ada di dadaku”. Begitulah semangatnya yang selalu bersemayam kapan dan dimanapun dia berada.

Tinggal selama 5 tahun di Tangerang, rupanya banyak memberi wawasan tentang kiprah pemuda-pemuda Pemalang yang bekerja di kawasan tersebut. Pemuda Pemalang ternyata ada di mana-mana, hampir di semua penjuru Tangerang. Di Pasar Malabar Perumnas Tangerang, beberapa tukang becak yang biasa mangkal di depan pasar tersebut adalah pemuda asli Pemalang. Para penjual nasi goreng yang biasa lalu lalang masuk ke perumahan-perumahan di Tangerang juga dari Pemalang. Yang terakhir yang membuat dia terpaku dan bersemangat adalah ketika dia melihat banyak pemuda kurus kering berpeluh keringat menggali lubang kabel telkom di sepanjang pinggir jalan-jalan di Perumnas Tangerang, ternyata juga dari Pemalang. Mantab bro! Bravo Man!

Tahun 1996, dia berkesempatan interview di perusahaan londo (bukan VOC) di bumi Banten, tepatnya di Cilegon. Sang penginterview bernama John Ammos dari Inggris, sedang yang lainnya dari Jawara Banten. “Hahaha kecil! Prajurit asli Pemalang kok takut!”, begitu gumamnya.

“Tell me about yourself Heri”, Setelah memperkenalkan diri, kemudian John Ammos mulai menginterview Heri.

“I am 31 years old, married and originally from Pemalang, A nice city in Central Java Province. I am sure that you don’t know about Pemalang. If you don’t mind, let me explain little bit about Pemalang?”

“No…no…no Heri, about yourself please?”, John Ammos tidak ingin Heri bercerita panjang lebar tentang Pemalang.

“Mr. Amos, I can’t continue talking about myself, if you don’t know where I was born, where I grow and How I spent most of the time in that city……”, Heri bersikeras untuk minta diberi waktu menjelaskan Pemalang, namun cepat dipotongnya.

“Heri….I’m interviewer, just follow me!”, John Amos mulai berang.

Akhirnya interview dilanjutkan dengan suasana yang nyaman dan bersahabat.

Interview selanjutnya oleh para Jawara Banten tidak lah terlalu istimewa, karena Heri yakin bahwa prajurit Mataram, apalagi asli Pemalang pasti berani dan tidak takut kepada siapapun. Saat besalaman pun Heri sengaja memegang erat tangan mereka, sekedar hanya memberi pesan dan isyarat bahwa Heri adalah pemberani yang siap ditempatkan kapan saja. Maksa.com !

Satu bulan kemudian, Heri diterima di perusahaan asing tersebut, sebuah perusahaan multinasional yang dimiliki oleh penjajah Inggris dan Jepang yang berlokasi di Merak, Banten. Beberapa tahun kemudian, yang membuat Heri bangga adalah ketika John Ammos memintanya menjelaskan tentang Pemalang saat mereka berada di atas sebuah pesawat komersial yang sedang terbang mengunjungi pelanggan di Surabaya, dengan asyiknya mereka membicarakan Pemalang. Heri, sampai sekarang merasa masih memiliki hutang janji kepada John Amos untuk memperlihatkan tas kulit ular dan membawanya ke Watukumpul, salah satu kecamatan di Pemalang untuk memperlihatkan betapa kayanya Pemalang dengan berbagai macam jenis bebatuan.

Sekalipun hanya dikenal karena banyak tukang becaknya, kuli galiannya, penjual nasi gorengnya serta sekalipun hanya memiliki batu-batuan saja, namun Pemalang buat Heri adalah tanah air sesungguhnya, bukan Indonesia tanah airnya, tetapi Pemalang adalah tanah air dan tumpah darahnya. Cinta tanah air adalah sebagian dari imannya dan keimanannya adalah kepada Pemalang. Cinta adalah sebuah awal sebuah pembangunan. Tiada cinta bagaimana kita mau membangun?!

Ini adalah sekelumit contoh salah seorang yang sudah “mabuk kepayang” terhadap kota kelahirannya. Orang seperti dia bukanlah satu-satunya, ada banyak dan bahkan ribuan dengan variasi pendekatan dan gaya yang berbeda-beda. Hanya saja ,jika kontribusi berupa perhatian, pemikiran, aktifitas sosial maupun usaha, dari orang-orang seperti mereka berlangsung secara konsisten dan terus menerus, bukan tidak mustahil, gerakan extra parlementer dan pemerintahan ini, akan cukup signifikan untuk membangun kota kelahirannya.

Inisiatif memajukan kota kelahirannya tidak mesti harus dilakukan oleh Presiden, Gubernur atau Bupati saja, siapapun bisa, termasuk kita yang tinggal di suatu tempat nun jauh dari kota kelahirannya.

Ditulis oleh Heri Susyanto

Dan Heri  yang saat ini menjabat Presiden Masyarakat Indonesia di Uni Emirat Arab tidak malu menyebut dirinya Heri si Pemalang. Njuh rah kabeh, ojo isin ngaku wong Pemalang.

 

Leave a comment