Hang Out Pemalang Jadul: Antara Sultan dan Indra


Image

Soal bioskop Sultan dan Indra aku juga punya banyak kenangan. Hampir separuh hariku pada masa kanak-kanak dan remaja, aku habiskan di dua bioskop ini. Pulang sekolah setelah makan, langsung kabur jalan kaki (karena rumahku kebetulan dekat dengan 2 tempat tsb) untuk nonton bioskop. Bahkan tidak jarang sehari bisa dua kali (yang main jam 2 siang dan jam 5 sore). Kegiatan membacapun ebih sering aku lakukan di bioskop, sebelum flim main (karena lampu masih terang), aku biasanya baca buku pelajaran atau novel Lima Sekawan dan Sapta Siaga, atau komik si Bob 123, napi yang bodohnya minta ampun, Lucky Luck, Tin-Tin serta buku Winnetou yang aku bawa dari rumah. Aku sangat menikmati membaca di bioskop karena sepi dan tidak ada yang mengusik.

Seingatku aku pertama kali nonton bioskop flimya berjudul “Ten Commandement” yang menceritakan tentang nabi Musa. Trus flim Haidi, kisah perjuangan gadis kecil dari pegunungan Alphen yang mengaharu biru, juga tak ketinggalan “the Sound of Music” yang kemudian diadaptasi dalam versi Indonesia dengan judul “Nakalnya Anak-anak” (kalau tidak salah bintangnya Ira Maya Sopha, Dina Mariana, Kiki, Maria Untu, dll). Flim “the Old Man in the Sea” yang merupakan adaptasi novel Ernest Hamingway juga aku tonton di bioskop dengan deretan kursi kayu yang disambung bambu (dan benar kata Uus, banyak kutu/tingginya).

Sedangkan film Indonesia, yang aku masih ingat judulnya “Samtidar” kisah anak yang kehilangan orang tuanya, atau si Bintang yang dibintangi Rano Karno kecil yang menceritakan durhakanya seorang anak, tentu saja “ratapan Anak Tiri”, dan “Timang-timang Anakku Sayang”., dan flim-flim yang dibintangi Adi Bing Slamet serta Chica Koeswoyo. Kebetulan waktu nonton flim ratapan anak tiri aku bareng-bareng sama temanku yang namanya Hikmah (sepupunya Gholib, anaknya Ibu Fatiyah, rumahnya depan Al Irsyad), hampir semua penonton yang menikmati flim ini waktu itu menangis tapi ya menangisnya paling tersedu-sedu atau brebes mili, tapi karena saking mengharukannya atau model nangisnya, temanku yang bernama Hikmah ini nangisnya kenceng sekali (bahasa pemalangnya kalau nggak salah “nggerung-nggerung”), sampai aku yang duduk disebelahnya ikut dipelototi banyak penonton yang terganggu dengan suara tangisannya.

Flim favoritku adalah  flim mandarin alias kungfu dari “Drugen Master sampai flim “First of Fury”nya Bruce Lee dan Tilung (yang suka bawa senjata cakra?) aku lalap di dua bioskop yang ada. Saking tergila-gilanya dengan flim kungfu aku lebih memilih dibelikan model sepatu bigboss (warnanya hitam, tipis) ketimbang sepatu cewek yang berbentuk fantovel. Gara-gara flim ini pula, hampir tiap hari kerjaanku berkelahi dengan teman-teman laki-laki (aku paling tidak suka berkelahi dengan perempuan). Nasir anaknya Haji Kulsum, Alif Fauzi (Onji) merupakan salah satu sparing patnerku dalam berkelahi, namun ketika Lukman Barizi (Biji) pindah ke sekolahku, aku mulai “keder” melanjutkan hobi mempraktekkan jurus-jurus kungfu-ku, soalnya kalau aku melawan dia lebih banyak kalahnya ketimbang menang. Bertemu lawan tangguh kayak Biji, aku tidak kehilangan akal. Aku mulai tekun ikut latihan karate dengan “Simpay” Brata (Bapaknya Roby Arya Brata), paling tidak hasil perkelahianku dengan Biji bisa seri dan muka nggak boyok-boyok amat.

Tapi yang paling berkesan kalau aku nonton di dua bioskop tersebut adalah waktu lebaran (biasanya flimnya kalau nggak Warkop ya flim dangdutnya Oma Irama). Sebenarnya aku nggak suka dengan genre dua flim tersebut, tapi aku merelakan hati nonton dengan teman-teman karena bisa njahilin penonton lainnya tanpa diketahui. Biasanya sebelum nonton kita akan cari bij gembang (buah pinang) yang keras minta ampun di kebun belakang kantor DPRD…fungsinya cuma satu, kalau pas adegan berkelahi (terutama waktu flim Oma Irama) sambil teriak-teriak mbelain “penjahatnya” (hee..he.. karena tujuannya usil kalau orang lain teriak mbelain “lakone” alias Oma Irama, kami justru melakukan hal sebaliknya), kami lemparin biji gembang tersebut ke penonton yang ada di depan kami….atau kulit pisang (he..he..jadi sory ya Yogi mungkin lembaran kulit pisang waktu itu salah satu praktek dari keusilan kami).
Namun kami pernah kena getahnya juga. Lain waktu, ketika kami nonton flim Oma Irama dengan modus operandi yang sama, kami diusir dari bioskop oleh bapak-bapak (kayaknya sih tentara atau polisi karena kumisnya kayak gatot kaca) yang kesal dengan ulah kami. Entah karena sadar akan kesalahan atau karena takut dengan kumis si Bapak tersebut…kami sepakat ngloyor pulang meski flim belum selesai dan biji gembang masih banyak di saku baju kami.

Sekarang, aku masih suka nonton flim. Karena perkembang teknologi, maka aku lebih banyak nonton flim di rumah (terutama flim-flim Indi, seperti Gobyee Lennin dan flim-flim non Hollywood seperti flim Perancis, flim Iran “Children of Heaven”, dsb). Sesekali aku nonton bioskop untuk flim-flim kolosal semacam Gladiator, Trilogi “The Lord of The Rings” atau “Golden Compass” . Hobiku nonton flim ternyata menular ke jagoanku…untungnya tidak seperti ibunya yang cuma bisa menikmati saja, anakku sekarang sudah mulai bikin flim, meski cuma flim dokumenter…

Film buat aku tidak sekedar gambar, tapi adalah produk kebudayaan. Film yang baik adalah film yang membuat aku bisa belajar banyak, membuka ruang dan perpektif berpikir yang lebih luas dalam memaknai suatu fenomena dan masalah yang ada disekeliling kita….Sayangnya, sinetron dan film yang dipertotonton pada kita lewat layar televisi maupun bioskop (khususnya produk nasional) lebih banyak film atau sinetron yang jauh dari karya mendidik. Kita tiap hari hanya disuguhkan adegan mistis (hantu, dll), kekerasan, caci maki. Pelajaran yang bisa kita petik dari tayangan TV kita adalah, bagaimana melakukan penghianatan, kejahatan, dan ketidaksenonohan (ayo Yogi, tolong dong kami diberikan tanyangan yang bermutu di TV tempat Anda bekerja). Mudah-mudahan ke depan akan muncul sineas-sineas muda yang memiliki visi untuk mencerdaskan bangsa lewat karyanya dan tidak hanya sekedar berhitung dengan ratting atau market semata…

 

Kisah ini diceritakan oleh Sri Yanuarti; Peneliti Politik dari LIPI

Leave a comment