Menanti Ajal Gulali


Setelah mengantar pemakaman Bapak di Makam Darmopraloyo Mulyoharjo Pemalang; saya mencoba bernapak tilas ke kota kecil ini. Dan di sudut kota ketemu penjual Gulali.

Mang Daim asli desa Glintang Pemalang. Usianya sebenarnya masih 50 tahun. Tapi beban berat hidupnya membuat raut wajahnya terlihat boros. Lebih tua 10 tahun dari usianya ! Jenggot yang tak terpotong rapi; terkolaborasi dengan kerut urat yang menonjol; seolah mengkonfirmasi kehidupannya yang begitu berat !

Jelas berat lah; maklum, Mang Daim jualan Gulali !! Semacam jajanan manis dari gula yang marak di era 90 an ! Jajanan yang sekarang dianggap gak keren dan moderen !

Tapi kenapa Mang Daim tetep jualan Gulali ?

“Ya; seandainya hidup itu bisa memilih Mas ! Dan pilihan hidup itu melekat pada orang orang yang merdeka; yang otonom. Keahlian saya cuma bikin Gulali dan memasarkannya !

“Lagian, urip kuwi mung numpang ngombe Mas! Aku jualan Gulali bertahan hidup untuk kehidupan kelak yang lebih kekal” !, nasehatnya ketika aku beli Gulalinya di sudut kota Pemalang.

“Aku adol Gulali mengalir saja. Sekarang susah jualan Gulali. Sudah hampir seharian cuma 1 orang anak kecil yang beli”.

Entah Daim culun atau kurang pinter (maaf ya). Saat pandemi Covid siapa yang mau beli jajanan yang ditiup pake muluuuut ! Apakah ini awal dihindarinya pedagang Gulali di era normal baru ??

Tapi aku bahagia tiap ngeliat anak anak yang menjilati Gulaliku. Tak peduli meski perutku melintir tak terisi”, katanya pelan.

“Anak anak sekarang lebih suka beli permen yang bungkusnya warna warni” ! lanjutnya.

Nasib Mang Daim terjepit ditengah pandemi Corona ! Dia tetap jualan di Pemalang yang tidak menerapkan PSBB. Tapi dagangannya tidak laku.

Sekarang Mang Daim harus tetap bertahan di era Kenormalan Baru ! Ya hidup normal saja sudah susah, apalagi normal yang baru !

Yuk teman teman di Pemalang; jika ngelihat Mang Daim jualan Gulali, monggo beli ya. Ini bukan semacam obituari, tapi kita bantu orang orang seperti Mang Daim bisa kuat bertahan.

Leave a comment