Pilkada Pemalang, Haruskah Aku Memilih Kucing Dalam Karung…..?


kucing-dalam-karung

Suatu saat, Hesiodus, sangat mendambakan dirinya untuk bisa pergi ke negeri Utopia.

“Aku sangat mendambakan negara, dimana manusianya tidak memiliki nafsu dina untuk memiliki, tidak ada ‘milikku’ dan ‘milikmu’, semuanya hidup senang dengan adil karena ada cukup barang bagi semua”

Banyak yang mendambakan, atau setidaknya berandai-andai untuk bisa pergi ke sana. Mulai Plato, Socrates, Aristoteles, Thomas Moore, sampai Karl Marx.

Lalu, banyak pertanyaan bermunculan:

“Plato, bagaimana dengan cara Utopia menjalankan sistem kenegaraan? Apakah mereka juga mengadakan pemilu? Apakah Utopia menganut sistem demokrasi?”

“Demokrasi sudah terlalu lama! Mereka menciptakan persaudaraan kolektif! Yang commune!” ucap Plato.

Begitulah, alkisah tentang negeri antah-berantah yang katanya digdaya, Utopia dielu-elukan tapi mulai sirna seiring berkembangnya zaman.

Utopia kemudian digantikan dengan neo kapitalismenya Amerika (Serikat), Utopia ditinggalkan dan meminjam istilah Francis Fukuyama dalam “the end of the world is capitalism”, diagungkan, meski ini cuma perspektif. Nah saya mafhum, jika kota kecil tercinta yang terpaut ribuan mil jauhnya dari si negeri utopia, yaitu Pemalang disuruh mencangkok demokrasi yang katanya universal, pasti akan sedikit compang camping itu he he he

Tapi gak papa, saat yang lain berjuang, yang pandirpun, hanya terlena dengan apa yang Pemalang telah berikan. Ada kalanya juga kita lalai untuk menyadari, bahwa sebenarnya ada yang telah mengebiri gagasan egaliter manusia yang menganggap “semua manusia itu sama, dan berhak mendapat perlakuan yang sama”, karena kepentingan uang semata.

Lagi lagi, seharusnya kita tidak perlu pesimis, jika golput atau tidaknya memilih pilkada atau pemilu di pemalang (idealnya) berkorelasi menjadikan Pemalang tidak selalu sama untuk tahun-tahun kedepannya (baca: berubah menjadi lebih baik).

Ingatkan dan yakinkan saya jika saya salah, dalam konteks yang lebih makro, negara sebagai sistem hanya membuat si kaya tidak mau membagi keadilannya pada si miskin, sedih, karena keadilan bagi negara tidak ubahnya rogohan kocek dalam kantong.

Kembali ke laptop Belakangan gema pemilihan kepala daerah di Pemalang kembali menghangat. Bangat yang ngomongin ini dan itu, begini dan begindang. Ya, aku kecil dan besar sampai SMA di Pemalang. Meski kemudian selepas SMA, kuliah dan bekerja di luar Pemalang, Jakarta tepatnya, tapi alam bawah sadarku tergelitik untuk ya, minimal sekedar mengamati ajang pilkada dari jauh… Lalu kenapa saya atau (kita) masih harus memilih pilkada ataupun pemilu? Apakah dengan keikut-sertaan saya dalam pilkada membuat Pemalang bisa berubah ke arah yang lebih baik?

Bisa ya bisa tidak.

Nah bagi mereka yang berkata “tidak” bisa jadi mereka dibisiki oleh bokapnya,

“Pemilu kada itu diselenggarakan dengan duit negara, duit rakyat, jika kamu menyia-nyiakan hak pilih tersebut, itu sama saja dengan kamu menyia-nyiakan duit kamu sendiri.”

Harus ada yang dikorbankan mas bro, Biaya Pilkada Pemalang itu tidak sedikit, itu uang yang banyak, sangat banyak. Karena itu saya berpikir, golput tidak akan membuat saya lebih baik dari para petani yang ditembaki, saya paham, tidak boleh ada pemborosan sekecil apapun di masa sekarang ini.

Katanya negara kita demokrasi, maka dari itu pemilu diadakan, demokrasi dengan sistem perwakilan. Makanya, bapak-bapak samping rumah saya niat banget untuk koar-koar untuk menghitung suara, demi terwakilnya suara kita.

Wuih…

Nah sekarang mau pilkada Pemalang, Yakin mereka yang mencalonkan diri pemimpin yang baik?
Tahu darimana? Pernah kita bertemu dengan mereka?

Apa yang membuat mereka bisa kita percaya?

Bisa yakin bisa tidak.

Gak perlu dijawab, tokh, the show most go on.. he he he he

Leave a comment